Kemiskinan, (Bukan) Masalah Negara?

by Satya Laksana ◆ Active Writer | Mar 27, 2021 | Refleksi Birokrasi | 2 comments

four women carrying file of bananas

Beberapa hari ini saya mengerjakan tugas tambahan dari atasan di kantor: membantu tim menyusun sebuah dokumen perencanaan. Karena merupakan junior di unit kerja, saya kebagian menyiapkan draf BAB I dan II Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah (RPKD). BAB I berisi pendahuluan, sedangkan BAB II tentang gambaran umum kondisi daerah. 

Sepertinya, saya mendapat tugas yang paling sederhana. Sebab, pendahuluan biasanya sekadar basa basi pengantar formal yang template-nya sudah ada di berbagai jenis dokumen perencanaan yang ada di tempat saya bekerja. Begitu pula mengenai data gambaran umum daerah yang tinggal copy paste dari laptop. Bila diperlukan mengupdate data, tinggal searching laman instansi resmi di internet.

Tugas saya ini tidak terlalu berat, karena belum masuk ke bagian analisis dan penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan. Maka, di sela-sela mengerjakan tugas saya membaca laman https://birokratmenulis.org. Saya menemukan dua artikel yang menarik. Salah satunya dibahas juga di WhatsApp group (WAG) penulis Birokrat Menulis (BM). 

Relativitas Kemiskinan

Karena punya kebiasaan ‘buruk’ multitasking, akhirnya saya mengerjakan tugas menulis BAB I dan II sambil membaca artikel dan berdiskusi di WAG. Pertama, artikel tentang fenomena Syndrome Orang Kaya Baru (OKB). Karena saya sedang fokus menulis tentang kemiskinan, maka saya ikut berkomentar: 

Sepertinya di masa pandemi fenomena Orang Miskin Baru (OMB) lebih banyak daripada OKB. Cuma saking banyaknya jadi gak menarik. Orang lebih tertarik kepada fenomena yang ganjil di luar sebaran normal” Anggota WAG lain menimpali, “OKB diekspos di medsos jadinya viral, kalau OMB agak susah dibuat viral“.

Saya lalu merespons: “Ya mungkin OMB gak akan viral di medsos. Viralnya cuma di Dinsos atau Kemensos“.

Anggota WAG yang lain berkomentar bahwa baginya fenomena OMB tetap menarik. Karena sepertinya definisi miskin relatif. Bisa jadi orang yang secara perhitungan formal termasuk kategori miskin, mereka lebih bahagia karena merasa cukup (kaya) dibandingkan orang yang sepertinya kaya tapi merasa miskin sehingga korupsi.

Batasan kaya-miskin memang relatif. Meskipun lembaga resmi, baik nasional maupun internasional, mencoba memutlakkannya dengan standar kuantitatif, tetap saja standar tersebut berbeda satu dengan yang lain. Antara UNDP dengan Kementerian Sosial dan BPS, misalnya, standar kemiskinan berbeda. Belum lagi perbedaan terminologi. Ada yang disebut orang miskin, rumah tangga miskin, keluarga pra sejahtera, ada desil 1, desil 2, desil 3 dan seterusnya. 

Itu semua membuat saya harus banyak membaca. Ternyata, semakin banyak membaca semakin relatif dan kabur saja mata saya melihat apa itu sebenarnya miskin dan kemiskinan. Padahal, saya sedang membantu penyusunan perencanaan bagaimana pemerintah (daerah) mengelola kemiskinan. 

Saya sampai merasa putus asa bagaimana bisa membuat perencanaan yang bagus, sebab pengentasan kemiskinan itu bahasan dari zaman baheula. Yang semakin membuat bingung mengapa pemerintah belum berhasil mengelolanya.

Pencerahan 

Tampaknya kebingungan saya agak sedikit terjawab dengan artikel lain, masih di laman Birokrat Menulis (BM). Yaitu, sebuah catatan dari sebuah diskusi (bedah) buku. Buku itu berjudul:  The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Penulis buku ini, Tania Li, adalah seorang antropolog. Sehingga, ia melihat fenomena pembangunan Indonesia dari sudut pandang humaniora. Agak berbeda sudut pandang dengan ekonom apalagi ekonometrisian.

Salah satu kesimpulan bedah buku yang dirangkum penulis artikel itu, bahwa tujuan pembangunan Indonesia menyejahterakan rakyat, yang tampak tulus dan baik itu, ibarat jauh panggang dari api dalam hal pencapaiannya. Di antara penyebabnya menurut sang penulis buku adalah “teknikalisasi permasalahan”, yaitu upaya mereduksi dan meringkas persoalan-persoalan menjadi sehimpunan variabel yang mudah dipahami, terukur, dan secara teknis dapat direkayasa.

Masalah dan gejala

Meskipun sudah agak tercerahkan tetapi saya masih belum puas. Ketidakpuasan ini membuat saya berkontemplasi. Timbul sebuah pertanyaan: jangan-jangan kemiskinan bukan sebuah masalah? Dalam dunia kesehatan ada yang disebut penyakit dan ada yang namanya gejala.

Di bidang sosial ada yang dikategorikan masalah dan ada yang dianggap symptom. Masalah adalah perbedaan antara das sein (kondisi yang seharusnya) dengan das sollen (kondisi kenyataan). Adanya suatu masalah disertai dengan tanda-tandanya (symptom). Adanya sebuah penyakit disertai gejalanya.

Logika sederhananya: penyakit tidak akan sembuh bila yang diterapi cuma gejalanya saja. Penyakit TBC, salah satu gejalanya batuk-batuk. Tentu tidak akan sembuh penyakitnya bila cuma diterapi dengan obat batuk. Ini adalah salah satu analogi yang memudahkan pengertian.

Kembali ke soal kemiskinan, apakah ia sebuah penyakit atau gejala? Sebuah masalah atau symptom?

Perenungan

Pertanyaan di atas membuat saya merenung. Setelah merenungi berbagai perspektif hasil pencerahan sang antropolog, hasil perenungan yang muncul di benak saya saya adalah: kemiskinan itu merupakan gejala alamiah. Sebuah condito sine quoanon kehidupan. Atau suatu sunnatullah

Miskin dan kaya itu laksana malam dan siang. Seperti tua dan muda.  Bang Haji Rhoma Irama menulis dalam salah satu lagunya, “Perbedaan miskin kaya membuat dunia berputar”. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Bahkan, seorang ulama mengatakan, “Orang kaya lebih membutuhkan keberadaan orang miskin dalam kehidupannya, daripada sebaliknya”.

Kemiskinan bukan sebuah masalah. Bahkan, untuk golongan tertentu bisa jadi adalah sebuah pilihan. Manusia pengemban risalah Tuhan, seperti Sidharta Gautama, Yesus (Nabi Isa), dan Kanjeng Nabi Muhammad “memilih gaya hidup” dalam kemiskinan. Karena doa nabi pasti dikabulkan Tuhan, tentu sangat mudah untuk memilih “gaya hidup” sebaliknya seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.

Dalam kepercayaan agama Islam, salah satu dari tanda-tanda kiamat adalah hilangnya kemiskinan di muka bumi. Sehingga, Nabi Muhammad mengamanatkan kepada umatnya untuk senantiasa bersedekah. Mumpung masih ada waktu. Jangan sampai tiba masanya seseorang membawa emas untuk disedekahkan, tapi tidak ada yang menerimanya karena semuanya sudah kaya. Tidak ada orang miskin maka salah satu rukun Islam hilang, yaitu zakat.

Masalahnya apa?

Bila kemiskinan ialah sebuah keniscayaan, bila das sein adalah ada kemiskinan, dan das sollen-nya juga demikian, lantas masalahnya apa? Apakah tidak perlu program pengentasan kemiskinan? Apakah indikator tingkat kemiskinan (poverty rate) harus dihilangkan dari indikator (prestasi) pembangunan ekonomi? 

Apakah tidak diperlukan menyusun dokumen Rencana Penanggulangan Kemiskinan, baik di tingkat nasional maupun daerah? Agar kiamat tidak segera terjadi, apakah perlu dibubarkan saja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional dan Daerah?

Hasil pengajian saya selanjutnya menyimpulkan bahwa kemiskinan (poverty) bukan masalah, ia hanya gejala normal kehidupan. Yang justru menjadi masalah adalah pemiskinan (impoverishment). Pemiskinan bisa berwujud sebagai eksploitasi sumber daya alam secara rakus, tidak memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan untuk generasi selanjutnya. 

Pemiskinan bisa tercipta karena mekanisme ekonomi yang tidak sehat akibat praktik monopoli, oligopoli, kartel, atau asymmetric information antara produsen dan konsumen tanpa adanya peraturan perlindungan konsumen. 

Pemiskinan bisa terjelma dari aktivitas ekonomi dengan eksploitasi anak, perempuan, dan difabel tanpa ada peraturan perlindungan pekerja. Pemiskinan adalah topeng investasi asing/ foreign direct investment (FDI) yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia berupah murah tanpa memperhatikan hak masyarakat adat. 

Pemiskinan dapat terjadi bila pendidikan berkualitas hanya bisa diakses orang yang mampu. Sehingga, menutup mobilitas vertikal ekonomi orang kurang mampu untuk meningkatkan status ekonomi generasi berikutnya. Dan masih banyak contoh indikator impoverishment yang berkeliaran di benak saya. 

Saya merenung, mungkin ini peranan pemerintah yang seharusnya dilakukan: mencegah pemiskinan bukan mengeksploitasi kemiskinan. Pemerintah tidak perlu mengurus kemiskinan. Biarlah itu tugasnya organisasi keagamaan, lembaga sosial, lembaga masyarakat, dan organisasi filantropi. Apalagi sekarang orang bisa saling bantu sesamanya yang terkena musibah melalui platform media sosial. Itu lebih efektif daripada mengadu ke dinas sosial. 

Saya merasa kemiskinan telah disalahgunakan menjadi komoditas. Ya. Sepertinya kemiskinan sudah menjadi komoditas instansi pemerintah. Tidak heran banyak pejabat yang tertangkap tangan korupsi menyalahgunakan program bansos untuk si miskin. Mulai dari Menteri Sosial sampai Bupati. 

Fenomena ini menggelikan. Ternyata bukan saya saja yang kegelian. Seorang auditor di sebuah lembaga pengawasan di pemerintah daerah, yang juga kontributor BM, merasakan hal yang sama. Tulisannya tentang karut marut paradigma pengambilan keputusan saya kutip di sini sebagai opini pendukung saya.  

Sang auditor menulis: “Salah satu contoh yang “menggelikan”, terdapat program pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan dengan memberikan bantuan natura seperti mie instan, gula pasir, telur, minyak goreng, beras, dan bahan kebutuhan pokok lainnya. ….tidak berbeda dengan kegiatan-kegiatan bakti sosial yang biasa dilakukan oleh kelompok atau komunitas paguyuban, majelis taklim, ataupun para calon legislatif.”

Epilog

Tetapi kemudian perenungan saya terhenti, ketika sebuah pesan WA masuk ke gawai saya. Atasan saya menanyakan: “Kang.. draft BAB I dan BAB II  sudah sampai mana ya, bisa saya lihat?”  Saya jawab: “Sedang dilengkapi pak, segera saya kirim via WA kalau sudah lengkap datanya”.

Saya kembali ke laptop. Mengerjakan tugas rutin. Rasanya tidak mungkin menuliskan hasil perenungan saya dalam dokumen perencanaan yang ditugaskan. Biarlah isinya seperti biasanya laporan formal yang mungkin sedikit juga orang yang berminat membacanya. Hasil perenungan saya, akan saya kirim ke redaksi birokratmenulis.org. 

Mungkin akan lebih banyak yang berminat membaca dan ikut merenungkannya. Termasuk Anda. Syukur-syukur jika menjadi bahan diskusi untuk saling berbagi pandangan.

9
0
Satya Laksana ◆ Active Writer

Fungsional Perencana Muda di Pemerintah Daerah. Berlatar pendidikan Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Publik.

Satya Laksana ◆ Active Writer

Satya Laksana ◆ Active Writer

Author

Fungsional Perencana Muda di Pemerintah Daerah. Berlatar pendidikan Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Publik.

2 Comments

  1. Avatar

    Sepertinya konsep pemiskinan ini berlawanan dengan stigma yang beredar di masyrakat bahwa Rezeki tidak akan tertukar.

    Reply
    • Avatar

      Menurut saya tidak bertentangan atau tidak bisa dipertentangkan. “Rejeki  tidak akan tertukar” bukan stigma tapi kepercayaan, keyakinan, akidah. Sama halnya dengan kepercayaan: kematian tidak akan tertukar. Bila tiba kematian tidak bisa dimajukan atau ditunda waktunya. Subjeknya Tuhan.

      Sedangkan pemiskinan itu sama dengan pembunuhan, teror bom, atau penyebaran pandemi karena perilaku manusia abai prokes. Subjeknya manusia.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post