
“Tanpa pengetahuan dan pendidikan, kemerdekaan hanyalah kata kosong.”
Kutipan dari Tan Malaka ini seharusnya menggema di setiap hati anak bangsa, terutama ketika bulan Agustus tiba. Sayangnya, sering kali kita memahami kemerdekaan hanya sebatas pada pesta rakyat, perlombaan, pengibaran bendera, atau sekadar seremoni di kalender tahunan.
Padahal, makna sejati kemerdekaan jauh lebih dalam daripada sekadar gegap gempita perayaan. Kemerdekaan adalah ruang dan kesempatan untuk mengisi kehidupan dengan martabat, kesejahteraan, serta kecerdasan. Dan jalan utama menuju hal itu adalah pendidikan.
Kemerdekaan Bukan Titik Akhir
Sejarah mencatat bahwa 17 Agustus 1945 adalah puncak perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik. Namun, para pendiri bangsa tidak pernah menganggap hari itu sebagai garis akhir. Justru itulah titik awal perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan.
Soekarno pernah berkata bahwa perjuangan beliau
dan para pahlawan melawan penjajah adalah perjuangan yang mudah, sedangkan perjuangan generasi berikutnya akan lebih sulit: melawan bangsa sendiri, melawan kebodohan, melawan kemiskinan, dan melawan ketidakadilan.
Dengan kata lain, merdeka secara politik memang sudah kita raih, tetapi merdeka secara sosial, ekonomi, dan intelektual masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Pendidikan sebagai Nafas Kemerdekaan
Tan Malaka menekankan bahwa tanpa pendidikan, kemerdekaan akan kosong makna. Hal ini karena pendidikanlah yang membentuk manusia merdeka seutuhnya: manusia yang mampu berpikir kritis, mengambil keputusan dengan bijak, serta berkontribusi bagi bangsa. Tanpa pendidikan, rakyat hanya akan menjadi objek pembangunan, bukan subjek yang berdaya.
Kita bisa melihat contoh konkret dari negara-negara maju.
- Jepang, setelah hancur akibat Perang Dunia II, bangkit dengan menaruh pendidikan sebagai prioritas utama.
- Korea Selatan, yang dulu pada 1950-an kondisinya hampir sama dengan Indonesia, kini menjelma menjadi negara maju dengan investasi besar dalam pendidikan dan riset.
Mereka membuktikan bahwa pendidikan bukan sekadar alat menaikkan status sosial, melainkan kunci utama dalam menciptakan bangsa yang kuat, berdaulat, dan makmur.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kita memang sudah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, tetapi ketimpangan masih sangat nyata. Di kota besar, anak-anak dapat belajar dengan fasilitas lengkap, sementara di pelosok negeri masih ada sekolah reyot tanpa guru tetap.
Selama kesenjangan ini tidak ditangani, kemerdekaan belum benar-benar menyentuh seluruh rakyat.
Memerangi Kebodohan sebagai Wujud Perjuangan Baru
Jika dahulu para pahlawan mengangkat senjata melawan penjajah, kini perjuangan kita adalah melawan kebodohan. Kebodohan adalah musuh yang tidak kasat mata, tetapi dampaknya bisa jauh lebih berbahaya daripada penjajah bersenjata.
Kebodohan membuat bangsa mudah dipecah belah, mudah diperdaya, dan sulit mencapai kesejahteraan. Kemerdekaan yang tidak diisi dengan upaya serius memerangi kebodohan akan berakhir menjadi slogan kosong.
Upaya ini tentu tidak bisa hanya diserahkan pada pemerintah. Peran orang tua, guru, masyarakat, dan seluruh elemen bangsa sangatlah penting. Membaca buku di rumah, mendukung anak-anak agar tidak putus sekolah, hingga membangun budaya literasi di lingkungan sekitar adalah langkah kecil yang berdampak besar.
Kebodohan tidak hanya berarti tidak tahu cara membaca atau menulis. Kebodohan juga bisa berupa ketidakmampuan memahami informasi, sikap apatis terhadap persoalan bangsa, atau keengganan berpikir kritis.
Inilah yang membuat hoaks, intoleransi, dan korupsi begitu mudah tumbuh di negeri ini. Maka, perjuangan melawan kebodohan adalah perjuangan melawan segala bentuk penghalang bagi bangsa untuk maju.
Pendidikan untuk Kemakmuran Bersama
Kemerdekaan sejati tidak hanya bermakna bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari kemiskinan. Dan kemiskinan hanya bisa diberantas dengan pengetahuan.
Seorang petani yang berpendidikan akan mampu mengolah lahan dengan teknologi tepat guna, seorang nelayan yang melek sains akan tahu cara menjaga keberlanjutan laut, dan seorang wirausaha yang paham literasi digital akan mampu bersaing di era global.
Dengan kata lain, pendidikan adalah pintu menuju kemakmuran bersama. Bukan hanya untuk segelintir orang yang mampu membayar mahal biaya sekolah, melainkan untuk semua warga bangsa.
Inilah makna kebersamaan dalam mengisi kemerdekaan: memastikan setiap anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, mendapat kesempatan belajar yang sama.
Pendidikan juga harus membentuk karakter, bukan hanya kecerdasan intelektual. Kita tidak ingin melahirkan generasi pintar tetapi culas, pandai tetapi korup, cerdas tetapi egois.
Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang memerdekakan pikiran dan hati, membentuk manusia berintegritas, serta menjadikan ilmu sebagai jalan untuk mengabdi, bukan sekadar mengejar kepentingan pribadi.
Peran Semua Pihak dalam Mengisi Kemerdekaan
Kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun harus menjadi momentum refleksi: apakah kita sudah benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Jawabannya bergantung pada sejauh mana kita serius memperjuangkan pendidikan.
- Pemerintah harus memastikan akses pendidikan merata, anggaran pendidikan benar-benar tepat sasaran, dan kurikulum selaras dengan tantangan zaman.
- Guru dan tenaga pendidik harus menjadi ujung tombak yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai, inspirasi, dan semangat.
- Orang tua harus hadir sebagai pendidik pertama di rumah, memberi teladan tentang semangat belajar dan sikap hidup yang benar.
- Masyarakat luas harus membangun budaya membaca, berdiskusi, dan mendukung anak-anak sekitar untuk terus bersekolah.
Ketika semua pihak terlibat, pendidikan tidak lagi sekadar urusan sekolah, tetapi menjadi gerakan nasional.
Mengubah Cara Kita Memaknai Kemerdekaan
Selama ini, setiap Agustus kita larut dalam euforia: lomba panjat pinang, balap karung, karnaval, atau pesta rakyat. Itu semua sah-sah saja sebagai ekspresi kebahagiaan. Namun, jangan sampai perayaan hanya berhenti di situ.
Kemerdekaan sejati harus dimaknai sebagai ajakan untuk bekerja keras, berdisiplin, dan bahu-membahu membangun bangsa. Jika setiap tahun kita hanya berhenti pada pesta tanpa diikuti perubahan nyata, maka benar apa kata Tan Malaka: kemerdekaan hanyalah kata kosong.
Kita harus berani menilai diri sendiri: apakah kita sudah menurunkan angka buta huruf? Apakah kita sudah menekan angka putus sekolah? Apakah kita sudah menyiapkan generasi yang cerdas menghadapi revolusi industri 5.0? Jika jawabannya masih jauh, maka kita belum sepenuhnya merdeka.
Penutup
Kemerdekaan adalah amanah besar yang diwariskan para pahlawan. Mereka berkorban darah dan nyawa agar kita hidup dalam kebebasan. Namun, kebebasan itu tidak boleh berhenti pada upacara dan seremoni. Kebebasan itu harus kita isi dengan perjuangan tanpa henti melawan kebodohan, ketidakadilan, dan kemiskinan.
“Tanpa pengetahuan dan pendidikan, kemerdekaan hanyalah kata kosong.”
Kalimat Tan Malaka ini seharusnya menjadi pengingat setiap kali kita merayakan ulang tahun kemerdekaan. Tugas kita bukan hanya mengibarkan bendera, tetapi juga mengibarkan semangat belajar, membaca, berpikir kritis, dan berbagi pengetahuan.
Dengan pendidikan, kita membangun bangsa yang benar-benar berdaulat. Dengan ilmu, kita mengisi kemerdekaan dengan kemakmuran bersama. Dengan pengetahuan, kita menjaga agar Indonesia tidak hanya merdeka secara politik, tetapi juga merdeka secara intelektual, sosial, dan ekonomi.
Hanya dengan begitu, perayaan kemerdekaan tidak akan pernah menjadi kosong, tetapi selalu penuh makna. Selamat Hari Ulang Tahun ke- 80 Republik Indonesia.
0 Comments