
Discretionary Power dan Paradoks Street-Level Bureaucracy di Indonesia
Kita barangkali keliru mencari akar masalah birokrasi. Kita menyalahkan sistem yang korup, peraturan yang berbelit, atau pejabat yang arogan.
Padahal, kekuatan terbesar yang menentukan nasib kebijakan publik kita—apakah KTP kita jadi hari ini atau minggu depan, apakah anak kita masuk sekolah favorit atau tidak, apakah klaim asuransi kita disetujui atau ditolak—ada di tangan seseorang yang namanya tak pernah kita dengar, dan wajahnya tak pernah muncul di berita: petugas loket.
Inilah fenomena yang oleh Michael Lipsky disebut sebagai street-level bureaucracy—birokrasi garis depan yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
Mereka adalah guru, polisi, petugas imigrasi, tenaga kesehatan, pegawai kelurahan, dan siapa pun yang menjadi “wajah negara” di mata rakyat. Dan inilah paradoksnya: dalam hierarki formal birokrasi, mereka ada di posisi paling bawah. Tapi dalam kenyataan, mereka memiliki kekuasaan yang bahkan tidak dimiliki menteri sekalipun.
Paradoks: Pegawai Rendah, Kuasa Tinggi
Surat edaran Menteri tegas: “Pelayanan maksimal 30 menit, semua dokumen harus diproses hari itu juga.” Tapi di loket kelurahan, petugas itu menatap kita dengan wajah datar, “Fotokopiannya kurang satu, Pak. Balik lagi besok.”
Ia tahu aturannya sebenarnya fleksibel. Ia tahu kita butuh surat itu hari ini. Ia juga tahu—dialah yang berkuasa atas nasib kita hari ini, bukan Menteri.
Kekuasaan ini muncul dari tiga kondisi struktural.
- Pertama, high discretion—petugas garis depan punya kebebasan luas dalam menginterpretasi aturan. Ketika seorang polisi lalu lintas menghentikan pengendara, keputusan untuk menilang atau sekadar menegur sepenuhnya ada di tangannya. Aturan lalu lintas jelas, tapi celah interpretasinya lebar.
- Kedua, low visibility—pekerjaan mereka sulit dimonitor secara ketat. Tidak ada CCTV yang merekam setiap interaksi petugas BPJS dengan pasien. Tidak ada atasan yang mendengar setiap percakapan guru dengan siswa. Mereka bekerja di ruang abu-abu yang jauh dari pengawasan hierarki.
- Ketiga, direct contact dengan masyarakat—mereka adalah titik temu antara kebijakan abstrak dan realitas konkret. Seorang petugas imigrasi di bandara memegang kekuasaan yang tidak dimiliki Direktur Jenderal Imigrasi: ia yang menentukan, di detik itu juga, apakah seseorang boleh masuk Indonesia atau tidak.
Mari ambil contoh konkret lainnya. Seorang guru di sekolah negeri memiliki kewenangan penilaian yang mencakup aspek subjektif: sikap, kerajinan, partisipasi.
Dua siswa dengan nilai ujian sama bisa mendapat rapor berbeda karena penilaian diskresi sang guru. Atau petugas puskesmas yang menentukan siapa dapat obat generik dan siapa “dicarikan alternatif yang lebih baik”—keputusan yang tidak tertulis di SOP mana pun.
Menteri membuat aturan, tapi petugas loket yang menentukan aturan mana yang diterapkan
Mengapa Fenomena Ini Terjadi?
Lalu mengapa diskresi ini muncul dan bertahan?
Bukan karena petugas nakal atau sistemnya rusak—meski kedua hal itu bisa memperburuk—tapi karena dilema struktural yang inheren dalam birokrasi publik.
Pertama, aturan terlalu kaku untuk realitas yang kompleks. Syarat pengurusan KTP menyebutkan “harus ada surat pengantar RT/RW.”
Bagaimana jika RT sedang di luar kota?
Bagaimana jika pemohon adalah korban KDRT yang tidak mungkin minta tanda tangan suami?
Aturan tidak pernah bisa mengantisipasi semua kemungkinan. Street-level bureaucrats terpaksa menggunakan judgment sendiri—dan di sinilah diskresi lahir.
Kedua, kelangkaan sumber daya. Seorang petugas kelurahan di Jakarta melayani puluhan orang per hari dengan waktu dan tenaga terbatas.
Ia harus memilah: siapa yang benar-benar mendesak? Siapa yang bisa ditunda? Siapa yang “kooperatif” dan siapa yang “rewel”? Proses triase ini—istilah medis untuk prioritisasi—menciptakan perlakuan berbeda meski aturan formalnya sama.
Ketiga, ambiguitas kebijakan itu sendiri. Apa artinya “pelayanan ramah”? Apa ukuran “kelengkapan dokumen”? Banyak regulasi yang multitafsir, dan di ruang abu-abu inilah diskresi tumbuh subur. Ketika aturan tidak jelas, interpretasi menjadi kekuasaan.
Keempat, tekanan dari berbagai arah. Atasan menuntut “taat aturan dan tidak ada pengecualian.” Klien memohon “tolong dipahami, ini kondisi khusus saya.” Rekan kerja membisikkan “jangan kasih kendor, nanti semua minta pengecualian.” Street-level bureaucrats berdiri di persimpangan tekanan ini, dan diskresi adalah cara mereka bertahan.
Dampak: Pisau Bermata Dua
Dampak negatifnya jelas dan sering kita rasakan. Ketidakadilan sistemik: dua warga dengan kondisi sama mendapat perlakuan berbeda hanya karena “mood” petugas atau seberapa pandai mereka memohon.
Korupsi terselubung: “Kalau mau cepat, ya kamu tahu sendiri”—kalimat yang lahir dari celah diskresi yang disalahgunakan. Inkonsistensi kebijakan: hari ini begini, minggu depan begitu, tergantung siapa yang jaga loket. Semua ini mengikis kepercayaan publik pada institusi negara.
Tapi ada sisi lain yang jarang kita sadari—dan ini penting untuk mencegah kita jatuh pada solusi simplisitik “hilangkan saja semua diskresi.”
Diskresi juga bisa menjadi alat humanisasi birokrasi. Ketika seorang petugas kelurahan “melonggarkan” syarat untuk korban kebakaran yang semua dokumennya habis terbakar, itu adalah diskresi.
Ketika guru memberikan nilai tambahan pada siswa miskin yang bekerja keras meski hasilnya pas-pasan, itu diskresi. Ketika petugas BPJS mempercepat layanan untuk pasien yang kondisinya kritis meski urutannya belum sampai, itu juga diskresi.
Diskresi membuat birokrasi responsif terhadap konteks lokal yang tidak pernah bisa ditangkap sepenuhnya oleh aturan yang dibuat di pusat. Petugas lapangan memahami nuansa yang tidak terlihat di meja perumus kebijakan. Mereka adalah problem solver kreatif yang menemukan solusi untuk kasus-kasus unik yang tidak terpikirkan oleh pembuat dan perancang undang-undang.
Diskresi adalah pisau bermata dua: bisa jadi solusi untuk keadilan substantif, atau pintu masuk untuk abuse of power
Digitalisasi: Solusi atau Ilusi?
“Digitalisasi semua layanan, otomasi prosesnya, hilangkan interaksi manusia!” begitu sering terdengar sebagai solusi. Tapi apakah mengdigitalkan loket benar-benar menghilangkan diskresi?
Realitanya: tidak. Digitalisasi hanya mengubah bentuk diskresi, bukan menghapusnya. Petugas tetap menjadi gatekeeper, hanya sekarang di balik layar komputer.
Mereka masih bisa berkata “sistem error, coba lagi besok”—siapa yang bisa verifikasi? Mereka masih menentukan prioritas verifikasi dokumen online: mana yang diproses hari ini, mana yang “tertunda” karena “perlu pengecekan lebih lanjut.”
Bahkan dengan algoritma sekalipun, tetap ada ruang diskresi. Siapa yang men-input data ke sistem? Siapa yang memutuskan ketika sistem memberikan hasil ambigu? Siapa yang mengkategorikan kasus sebagai “prioritas” atau “reguler”?
Platform digital menciptakan bentuk baru dari algorithmic discretion yang justru lebih sulit dilacak karena tersembunyi di balik “objektivitas” teknologi.
Kasus pengajuan izin usaha online adalah contoh nyata: formulir diisi digital, tapi verifikasi lapangan tetap manual. Dan di tahap verifikasi inilah diskresi kembali beroperasi—hanya saja sekarang dengan dalih “hasil survei digital” yang tidak transparan.
Solusi: Mengelola, Bukan Menghapus
Jika diskresi tidak bisa—dan bahkan tidak boleh—dihilangkan total, lantas apa yang harus dilakukan? Jawabannya bukan eliminasi, tapi manajemen yang bijak.
- Pertama, transparansi diskresi. Buat pedoman publik yang jelas: dalam kondisi apa petugas boleh fleksibel, dan dalam kondisi apa tidak. Jelaskan kepada masyarakat bahwa ada ruang judgment, tapi ruang itu punya batas. Dengan demikian, diskresi berubah dari kekuasaan tersembunyi menjadi fleksibilitas yang legitimate.
- Kedua, akuntabilitas terstruktur. Wajibkan petugas mencatat alasan di balik setiap keputusan diskresioner—tidak untuk menghukum, tapi untuk audit dan pembelajaran. Random check berkala untuk memastikan diskresi tidak disalahgunakan sistematis.
- Ketiga, pemberdayaan positif. Berikan training bukan hanya soal aturan teknis, tapi juga etika penggunaan diskresi. Reward untuk petugas yang menggunakan judgment secara tepat dan adil. Ciptakan budaya di mana diskresi dilihat sebagai tanggung jawab profesional, bukan celah untuk keuntungan pribadi.
- Keempat, berikan suara pada warga. Mekanisme komplain yang mudah, anonim, dan responsif. Survei kepuasan yang tidak sekadar bertanya “puas atau tidak” tapi spesifik menanyakan aspek-aspek diskresi: “Apakah petugas menjelaskan alasan keputusannya? Apakah perlakuan terasa adil?”
- Kelima—dan ini yang paling sering diabaikan—libatkan street-level bureaucrats dalam perumusan kebijakan. Mereka yang paling paham mana aturan yang implementable dan mana yang akan menciptakan loophole. Reformasi birokrasi yang tidak melibatkan suara dari garis depan adalah reformasi yang buta.
Penutup: Gerbang yang Menentukan Segalanya
Reformasi birokrasi yang mengabaikan street-level bureaucracy adalah seperti merenovasi istana tapi membiarkan gerbangnya bobrok. Karena sejatinya, gerbang itulah yang menentukan siapa masuk dan siapa tidak. Kebijakan publik tidak gagal di ruang rapat ber-AC, tapi di ruang tunggu loket yang pengap.
Hierarki organisasi memberi kita ilusi bahwa kekuasaan ada di puncak. Padahal dalam birokrasi publik, kekuasaan yang paling riil—yang paling langsung mempengaruhi hidup warga—justru ada di tingkat paling bawah. Seorang menteri bisa membuat kebijakan, tapi petugas loket yang menentukan apakah kebijakan itu benar-benar sampai ke tangan kita atau tidak.
Maka lain kali ketika kita frustrasi di loket pelayanan publik, ingatlah: orang di balik kaca itu bukan hanya sekadar “pegawai biasa.” Ia adalah penentu nasib kebijakan kita, ia adalah wajah sejati negara, ia adalah—mau tidak mau—pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.
Dan sampai kita benar-benar memahami dilema yang ia hadapi, sampai kita mengelola diskresi-nya dengan bijak alih-alih naif ingin menghapusnya, selama itu pula kesenjangan antara kebijakan di atas kertas dan realitas di lapangan akan terus menganga lebar.
Jadi, “birokrasi tingkat jalanan memegang kuasa” berarti merekalah yang sesungguhnya menjadi sutradara di panggung pelayanan publik sehari-hari. Mereka adalah para “Penjaga Gerbang” yang menentukan siapa yang boleh lewat, siapa yang harus menunggu, dan siapa yang harus berbalik arah.
Menohok dan menghujam dengan kejujurannya.