Kekeliruan Berpikir dalam Persepsi Publik: Presiden Bukan Simbol Negara Berdasarkan Hukum

by | May 15, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Dalam konteks kehidupan bernegara, kesesatan berpikir (logical fallacy) kerap kali secara tidak disadari merambah ke dalam wacana publik. Salah satu bentuk kekeliruan yang cukup signifikan namun terus berulang adalah persepsi bahwa Presiden merupakan simbol negara. 

Meskipun secara kasat mata narasi ini tampak sahih, apabila diuji melalui pendekatan hukum positif dan ditelaah berdasarkan logika konstitusional, asumsi tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Bahkan, kekeliruan ini berpotensi menimbulkan implikasi negatif terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional yang dianut dalam sistem ketatanegaraan.

Penegasan mengenai unsur-unsur simbol negara secara jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. 

Undang-undang tersebut secara eksplisit menetapkan bahwa yang termasuk sebagai simbol negara Republik Indonesia hanyalah: (1) Bendera Negara Sang Merah Putih, (2) Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, (3) Lambang Negara Garuda Pancasila, dan (4) Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”. 

Dalam logika hukum dan konstitusi, jabatan presiden adalah fungsi administratif dan politis, bukan simbolis dalam arti kenegaraan. Tidak terdapat satu pun norma dalam ketentuan tersebut yang menempatkan Presiden, baik sebagai lembaga negara maupun sebagai individu, ke dalam kategori simbol negara. 

Memaknai Jabatan Publik

Kekeliruan dalam memposisikan Presiden sebagai simbol negara tidak hanya berdampak pada aspek teoritis, tetapi juga membawa konsekuensi sosial dan politik yang nyata.

Di ruang publik, pandangan ini dapat menumbuhkan kecenderungan untuk menganggap bahwa kritik terhadap Presiden sebagai bentuk penghinaan terhadap negara itu sendiri. 

Akibatnya, ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi semakin sempit, karena kritik yang semestinya merupakan bagian dari mekanisme demokrasi justru dianggap sebagai ancaman terhadap kehormatan negara. 

Selain itu, pemaknaan simbolik terhadap Presiden berpotensi menjaga iklim budaya politik yang sentralistik dan personalistik, di mana figur pemimpin dipuja secara berlebihan dan sulit dipertanggungjawabkan. 

Dalam jangka panjang, hal ini bisa melemahkan daya kritis masyarakat, menghambat partisipasi publik yang sehat, serta merusak sistem checks and balances yang esensial dalam negara demokratis.

Hal paling utama untuk dipahami adalah dalam negara hukum
jabatan publik tidak kebal terhadap kritik. Apabila jabatan publik dalam hal ini presiden disakralkan maka praktik demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan berubah dan digantikan dengan praktik budaya feodal. 

Sejarah kerap mengingatkan bahkan lebih parah akan mengulang bahwa pemujaan terhadap figur akan membawa praktik yang berujung kepada otoritarian bukan pada demokrasi yang bertumbuh.

Konsekuensi Logika Hukum

Kesalahan pemaknaan ini tidak hanya soal dalam akurasi terminologis, melainkan memiliki dampak sistemik. Dapat dibayangkan, ketika presiden diposisikan sebagai simbol negara, maka setiap kritik kepada presiden rawan dipersepsikan sebagai penghinaan terhadap diri pribadinya. 

Bahkan, lebih parah, dapat diasosiasikan sebagai penyerangan terhadap harkat martabat individu. Padahal, presiden jelas bukan ranah personal tetapi presiden adalah jabatan publik yang tidak bisa dilekatkan dan dipersamakan dengan diri pribadi itu sendiri. 

Dapat dikatakan bahwa, hal ini merupakan jebakan logika berbahaya. Dalam sistem demokrasi modern, presiden adalah pejabat publik yang harus tunduk pada prinsip akuntabilitas dan keterbukaan terhadap kritik. 

Menganggap kritik terhadap presiden sebagai penghinaan terhadap harkat martabat diri pribadi akan mereduksi dan mempersempit ruang demokrasi dan membuka jalan bagi represi atas nama nasionalisme semu. 

Konteks Forum Internasional

Dalam konteks hubungan dengan negara lain presiden bertindak mewakili negara. Dalam hal ini, hubungan luar negeri yang dilaksanakan oleh presiden seolah membangun argumen bahwa presiden adalah wakil negara, khususnya dalam forum internasional kerap dijadikan dasar untuk memperkuat kekeliruan ini. 

Namun demikian, representasi ini tidak dapat mengubah status presiden menjadi simbol negara. Presiden adalah pejabat yang melaksanakan tugas berdasarkan mandat peraturan perundang-undangan. Presiden bukan entitas bebas dari kritik dan tidak dalam posisi disakralkan.

Sebagai ilustrasi negara lain adalah Amerika Serikat dimana Presiden adalah dan Head of State dan Commander in Chief namun tetap diposisikan sebagai pejabat publik yang setiap tindak-tanduknya terbuka terhadap kritik. 

Dalam sistem hukum modern saat ini, tidak ditemukan satu sistem pun yang menganggap atau bahkan menempatkan setidaknya presiden sebagai simbol negara dalam pengertian yang sama dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Membangun Kekritisan

Sebagai penutup, sebuah keharusan kepada masyarakat untuk terus meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman tentang hukum. Setiap klaim mengenai simbolisme negara sebaiknya diuji dengan norma hukum, bukan hanya melalui retorika emosional atau politik identitas. 

Presiden dan bahkan apapun jabatan publik lainnya tetaplah seorang manusia dengan tanggung jawab yang besar bukan sebagai simbol negara yang kebal terhadap kritik. Membangun sebuah bangsa bukan soal memberikan penghormatan dan fanatisme buta. 

Lebih penting adalah membangun dan mencerdaskan kehidupan bangsa akan kesadaran kritis yang berlandaskan pada akal sehat dan hukum yang adil. Sebuah negara yang kuat tidak dibangun melalui pengkultusan individu, melainkan dengan menghormati prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan pola pikir yang sehat.

3
0
Veri Mei Hafnizal ♥ Associate Writer

Veri Mei Hafnizal ♥ Associate Writer

Author

Penulis adalah seorang Widyaiswara Ahli Pertama pada Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Kinerja (P2SKMK) Lembaga Administrasi Negara, merupakan lulusan Magister Ilmu Hukum pada Universitas Syiah Kuala, Aceh.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post