Keindahan Rasa Kopi yang Terlahir dari Penjajah

by | Jul 21, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Saya membuka pintu rumah untuk menapakkan kaki lagi ke tanah.
Cahaya matahari menyapu wajah yang tidak lupa saya poles.

Udara pagi yang tak murni lagi,
Bercampur asap tak berwarna, 
Mengganggu asupan nafas pagi hari.

Sesampainya di Gedung pencarian nafkah,
Saya buka buku pintar elektronik,
Saya melihat headline yang menyedihkan dari belahan dunia yang lain.

Menyadarkan saya bahwa bumi ini terlampau tua,
Dihancurkan oleh khalifahnya sendiri.
Pikiran ragu tentang masa depan ciptaan Tuhan ini, timbul begitu saja.

Dengan perangkat seadanya,
Saja racik cairan kesayangan.
Aroma harum semerbak dari secangkir kopi.

Aroma itu merasuk ke dalam sukma membuat saya bersyukur menemukan rasa seindah ini.
Bibir saya melontarkan senyum dan tidak berhenti memuja dalam hati.
Aroma dan rasa itu sekejap menghapus pikiran liar tentang kejamnya dunia.

Setiap seruputnya mengandung ragam rasa,
Seperti kehidupan manusia yang terlalu kompleks untuk dipahami.

Kenikmatan kopi ini mengingatkan saya dengan berbagai memori indah dalam hidup.
Setiap jengkal perjalanan yang tidak sabar ingin saya ulang.
Kepingan kenangan itu memunculkan semangat juang untuk menghabiskan hari.

Tuhan, ciptaan-Mu begitu berharga.
Hitamnya, aromanya, rasanya mengungkapkan kerumitan yang dibungkus menjadi sederhana.
Sesederhana minuman manis yang menggoda.

Bukan sekadar tanaman, bukan sekadar biji, juga bukan sekadar minuman.
Pada tanaman itu menuliskan kesuburan tanah Indonesia.

Pada biji itu melekat jerih payah petani.
Pada minuman itu menyimpan harapan keluarga si penyeduh.

“Selalu ada hal kecil untuk disyukuri, sesederhana meminum kopi”

Dari Tanah Ethiopia yang Mistis

Di balik aroma yang menggoda dan rasa yang membangkitkan semangat, kopi menyimpan kisah panjang yang melintasi benua dan zaman.

Minuman ini bukan sekadar cairan hitam yang mengisi cangkir pagi, melainkan warisan budaya yang telah membentuk peradaban, perdagangan, dan gaya hidup manusia selama berabad-abad.

Akan tetapi, apakah peminum dan pecinta kopi mengetahui perjalanan panjang kopi? Mari kita telusuri asal-usul kopi, memahami bagaimana ia tumbuh dari tanah, melintasi samudra, dan akhirnya menetap di hati jutaan pencintanya.

Nama latin kopi berasal dari bahasa Arab Qohwah yang artinya kekuatan atau yang membuat kenyang. Lalu diserap dalam Bahasa Turki menjadi Kahve karena kopi disebarkan pada masa Turki Usmani, disebarkan oleh Belanda dengan nama koffie, dan akhirnya diterima dalam bahasa Indonesia dengan nama kopi.

Kopi diyakini berasal dari Ethiopia, di mana tanaman ini pertama kali dibudidayakan pada abad ke-15. Kita pantas berterima kasih kepada Kaldi, seorang pengembala kambing di Ethiopia.

Kaldi memberi makan kambing-kambingnya buah beri merah. Kaldi pun penasaran untuk mencobanya, dia dapat terjaga semalaman.

Kaldi berbagi penemuannya dengan sebuah biara setempat, di mana para biarawan mulai memanggang dan menyeduh buah tersebut untuk membuat minuman yang dikenal sebagai “bunn”, yang dapat membantu mereka tetap terjaga saat berdoa dalam waktu yang lama.

Buah beri merah itu beranjak ke suku Galla di Afrika Timur. Mereka mengonsumsi dengan menghancurkannya, ditambah dengan minyak, dibuat adonan bulat lantas siap dimakan.

Jika orang-orang Afrika mengonsumsi buah beri merah
dengan memakan dan menyeduh buahnya begitu saja, orang-orang Yaman mengembangkan
buah beri merah dengan memanggang di panci tanah liat atau logam seperti yang sekarang kita tahu dalam pemanggangan rumahan di pelosok Indonesia.

Pada Abad ke-16, Dari Yaman, kopi diperkenalkan ke Eropa, di mana cepat menjadi populer. Kedai kopi yang pertama kali tercatat bernama Kiva Han di Turki yang dibuka tahun 1475. Kedai kopi mulai bermunculan di seluruh Turki, dan kopi menjadi bagian sentral dari budaya Turki.

Masuknya Kopi ke Indonesia

Pada abad ke-17, budaya minum kopi menjamur di Italia, Inggris, Prancis dan Jerman. Orang-orang Eropa melakukannya di kedai sambil membicarakan politik, filsafat, bisnis dan sastra. Kemudian negara-negara Eropa menanam kopi di tanah negara jajahannya, seperti Jamaika, Brazil dan Indonesia.

Tahun 1658, Belanda membuka kebun pertama di Ceylon (sekarang Sri Lanka). VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang memperkenalkan kopi ke Indonesia. Kopi pertama ditanam di Kedawung, daerah dekat Batavia yang sekarang Jakarta.

Penanaman kopi oleh Belanda dikembangkan di Priangan, Jawa Barat dengan Sistem Preanger Stelsel. Preanger Stelsel adalah sistem tanam paksa kopi yang mewajibkan penduduk setempat untuk menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada VOC melalui para penguasa daerah, sampai menjadi komoditas terpenting di Hindia Belanda.

Pada abad ke-18, produksi kopi di Indonesia mulai meningkat pesat. Belanda menyebarkan penanaman kopi ke pulau-pulau lain di Indonesia seperti Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua.

Pada abad ke-19 Belanda mengekspor kopi-kopi Indonesia ke penjuru dunia. Indonesia dikenal sebagai produsen kopi terkemuka sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan kemakmuran.

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, perkebunan kopi bekas penjajahan Belanda diambil alih oleh Pemerintah Indonesia. Budidaya kopi di dalam negeri dan ekspor kopi ke luar negeri melonjak tanpa adanya sistem tanam paksa.

Namun, negara penghasil kopi terbesar di dunia adalah Brasil. Brasil telah menjadi produsen kopi terkemuka selama 150 tahun terakhir dan menghasilkan sekitar sepertiga dari pasokan kopi dunia. Disusul peringkat dua dan seterusnya adalah Vietnam, Kolombia, Indonesia dan Ethiopia. 

“Morning Coffee for Morning Glory”

Bagaimana Kopi menjadi Gaya Hidup dan Tren?

Bagi banyak keluarga di Indonesia, kopi bukan sekadar minuman. Ia adalah bagian dari rutinitas, simbol kehangatan, dan warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Setiap pagi, aroma kopi yang diseduh tanpa teknik khusus, hanya bubuk kopi dan air panas, menjadi pembuka hari para orang tua dan kakek nenek di Indonesia. Tak jarang, kopi menjadi suguhan utama saat berkunjung ke rumah kerabat atau teman lama. 

Kebiasaan ini pun diwariskan kepada anak-anak, bahkan sebelum mereka benar-benar memahami kenikmatan kopi. Banyak dari kita yang mulai mengenal kopi saat remaja, menjadikannya teman belajar hingga larut malam.

Saat itu kopi bukan soal gaya hidup atau tren, melainkan kebutuhan yang tumbuh dari kebiasaan. Dua cangkir sehari bisa menjadi rutinitas, bahkan lebih.

Meski sadar akan dampaknya, kita belajar untuk membatasi tanpa harus menghilangkan sepenuhnya. Bagi sebagian orang, kopi adalah “obat” pereda kantuk, penambah energi, dan sumber inspirasi. 

Kekayaan Jenis Kopi Nusantara

Seiring waktu, kecintaan terhadap kopi berkembang. Kita mulai mengenal berbagai jenis kopi dari berbagai daerah, termasuk dari Nusa Tenggara Timur yang menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi.

Salah satu yang paling berkesan adalah Juria dari Pulau Flores. Kopi ini dikenal dengan cita rasa kompleks, cokelat, melon, kacang, dan manis yang seimbang. Namun bagi penikmat sejati, Juria adalah rasa yang tak tertandingi, perpaduan pahit, asam, sepet, manis, dan gurih dalam takaran yang pas.

Minum kopi kini bukan hanya soal kebutuhan kafein,
tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Kopi menjadi ritual pagi, siang dan malam hari yang tak tergantikan. Proses menyeduh dan menikmati kopi menjadi momen refleksi, relaksasi,
atau menguatkan mental dalam beraktivitas.

Kecintaan terhadap kopi tak berhenti di rasa. Banyak dari kita menjadikan kunjungan ke kedai kopi sebagai hobi. Coffee shop bukan hanya tempat minum kopi, tapi ruang untuk menikmati suasana, pemandangan, dan pengalaman.

Setiap tempat menawarkan nuansa berbeda, dari lantai atas gedung bertingkat dengan pemandangan kota, hingga kedai di tepi laut, danau, sungai, sawah atau pegunungan.

Interior klasik, tradisional, atau bergaya kuno menambah kesan mendalam. Momen-momen ini menjadi kenangan yang melekat, yang sering kali terlintas saat kita menikmati kopi di kantor atau di rumah.

Kedai kopi sudah menjadi bagian dari sejarah budaya minum kopi di Eropa dan timur tengah. Budaya tersebut dipertajam dengan munculnya jaringan kedai kopi global seperti Starbucks, Mccafe, Dunkin’ dan Gloria Jeans Coffee.

Tidak kalah dengan merek internasional, pengusaha lokal juga ikut mendirikan kedai kopi independen yang estetik dan nyaman, mengubah cara orang memandang kopi.

Kedai kopi menjadi simbol gaya hidup urban dan modern. Interior yang instagramable, menu yang beragam, dan suasana yang mendukung produktivitas menjadikan kopi bagian dari identitas sosial.

Kedai Kopi: Cerminan Status Sosial

Seiring waktu, kopi menjadi media sosial, yang berarti tempat orang berkumpul, berdiskusi, tempat kerja, belajar, atau bahkan berkencan. Kedai kopi menjadi ruang publik yang nyaman dan inklusif, bukan hanya tempat minum kopi, tapi juga tempat membangun relasi dan komunitas. 

Kopi sangat visual dan cocok untuk media sosial. Foto kopi, ulasan kedai, dan konten brewing menjadi tren di Instagram, TikTok, dan YouTube. Ini memperkuat citra kopi sebagai bagian dari gaya hidup yang bisa dibagikan dan dirayakan. Influencer kopi, barista konten kreator, dan komunitas digital turut membentuk persepsi kopi sebagai simbol gaya hidup.

Kedai kopi bisa menjadi cerminan status sosial karena sering kali berkaitan dengan pendapatan, dan identitas sosial seseorang.

Kedai kopi lokal/tradisional biasanya lebih murah dan mudah diakses oleh masyarakat umum. Tempat ini sering dikunjungi oleh pekerja, mahasiswa, atau komunitas lokal. Konsumen di kedai ini mungkin lebih fokus pada fungsi dan efisiensi biaya.

Kedai kopi premium/internasional seperti Starbucks atau kedai artisan, harganya lebih tinggi dan sering dikunjungi oleh kalangan menengah ke atas, profesional, atau mereka yang ingin menunjukkan gaya hidup tertentu.

Konsumen di kedai ini mungkin mencari networking professional, prestise, kenyamanan dan pelayanan premium. Ini menciptakan kesan eksklusif dan modern. Kopi single origin, fine blended dan decaf premium dari seluruh dunia dan alat seduh beragam menjadi komponen dari kedai tersebut. Orang awam dan pecinta kopi akan membayar lebih untuk kualitas dan pengalaman. 

Kopi juga mempertemukan orang. Komunitas pecinta kopi tumbuh di mana-mana, dari barista profesional hingga home brewer. Festival kopi, workshop seduh manual, dan cupping session menjadi ajang berbagi ilmu dan rasa.

Bukan Hanya Soal Rasa

Ketika banyak orang mengetahui tentang kerumitan asal-usul biji kopi, metode penyeduhan yang beragam, dan cita rasa yang unik, kopi menjadi minuman yang sangat dihargai. Ini menciptakan budaya baru, pecinta kopi sebagai penikmat seni dan ilmu.

Orang mulai belajar tentang V60, AeroPress, cupping, dan profil rasa, menjadikan kopi sebagai hobi dan gaya hidup.

Kopi bukan hanya soal rasa, tapi juga soal cerita. Ia menghubungkan masa lalu dan masa kini, menghidupkan kenangan, dan membuka jalan untuk eksplorasi rasa yang tak ada habisnya. Dan dalam setiap tegukan, kita menemukan semangat baru untuk menjalani hari.

Kita juga menghargai perjalanan kopi yang panjang dan berliku. Kita sedang menyesap warisan, memaknai kerja keras begitu banyak insan, dan kehidupan itu sendiri, yang pahit, agak asam, hangat, dan juga tentunya menguatkan.

“Kopi bukan sekadar minuman, ia adalah percakapan yang belum selesai.”

2
0
Merga Ayuningtyas Betary ♥ Associate Writer

Merga Ayuningtyas Betary ♥ Associate Writer

Author

Seorang ASN yang baru belajar menulis sebagai "jalan ninja" agar tetap awet muda.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post