Pada tanggal 27-28 Mei 2021 yang lalu, bertempat di salah satu hotel di Kab. Tulungagung, telah diselenggarakan kegiatan sosialisasi dan fasilitasi budaya kerja. Acara ini diperuntukkan bagi perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota se-Jawa Timur dan diselenggarakan oleh salah satu biro di lingkungan Pemprov Jatim.
Sebenarnya sudah sejak lama penulis menyimpan pemikiran ini, bahwa kegiatan yang diselenggarakan di hotel secara matematis tidak (akan pernah) efektif, efisien, apalagi ekonomis. Terlebih lagi jika kegiatan tersebut hanya terjadwal selama 2 hari 1 malam. Apapun alasannya.
Setidaknya, terdapat 3 alasan yang melandasi pemikiran itu. Di antaranya yaitu ketidakefektifan transfer materi yang diberikan penyelenggara kepada peserta, ketidakefisienan penggunaan anggaran -baik oleh pihak penyelenggara maupun peserta kegiatan, dan kemajuan teknologi informasi khususnya dengan bantuan internet di sisi lain menawarkan alternatif untuk pelaksanaan pertemuan virtual di masa pandemi Covid-19.
Ketidakefektifan Transfer Materi
Bagi kegiatan yang dijadwalkan selama 2 hari 1 malam oleh pihak penyelenggara tentunya dapat diduga apabila efektifitas penggunaan waktunya hanya akan terjadi pada hari ke-2. Ilustrasinya begini, sebutlah tempat penyelenggaraan tersebut berada di Kab. Tulungagung, maka kami yang berasal dari Kab. Lumajang tentunya harus menempuh perjalanan jauh dan lama, karena:
- Jarak Lumajang – Tulungagung, jika dilihat dengan aplikasi google maps, adalah ±145 km,
- Tidak ada jalan tol, sehingga waktu tempuh perjalanan tidak bisa dipangkas.
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan kami selaku peserta akan mengalami kelelahan karena menempuh perjalanan jauh. Kalaupun kami dari Lumajang tidak terlambat sampai di Tulungagung, sangat mungkin kami kelelahan sehingga tidak bisa secara optimal fokus pada acara hari pertama.
Hal ini tentu dapat diduga jika hari pertama tidak akan sesuai dengan titel/tema kegiatannya. Karenanya, hari pertama tersebut akan digunakan untuk penyampaian laporan dan pembukaan acara secara seremonial oleh pimpinan pihak penyelenggara. Umumnya, dilaksanakan setelah jam makan malam.
Jadi, bisa dikatakan bahwa hari pertama hanya kegiatan tanpa makna dan keluar dari tujuan hakiki sebuah kegiatan. Tak mengherankan jika bagi penulis kata yang tepat untuk menggambarkan aktifitas hari pertama tersebut adalah ZONK!
Mari berlanjut ke hari kedua pelaksanaan kegiatan. Bisa diduga bahwa kegiatan akan dilaksanakan dalam durasi paling lama 4 jam, yakni mulai jam 08.00 s.d 12.00 WIB. Mengapa demikian? Karena batasan jam maksimal peserta harus check-out adalah jam 12.00 WIB, sehingga mau tidak mau, selesai tidak selesai kegiatan harus diakhiri.
Apakah waktu pelaksanaan acara inti selama 4 jam tersebut efektif? Kemungkinannya fifty-fifty. Biasanya pada hari kedua ini, secara psikologis, pikiran peserta yang berasal dari luar kota “sudah” berada di kota asalnya. Dengan demikian, kemungkinan terjadi ZONK! untuk kedua kalinya, mengulang ZONK! pada hari pertama.
Ketidakefisienan Penggunaan Anggaran: Penyelenggara
Jika menyimak penjabaran sebelumnya, tentunya dapat diduga bahwa penggunaan anggaran, baik oleh pihak penyelenggara maupun peserta kegiatan tidak akan efisien, sebab penggunaan anggaran atas kegiatan itu tidak memiliki ukuran output apalagi outcome.
(Mungkin) memang tidak terjadi penyelewengan anggaran, misalnya korupsi, tetapi pemborosan tetap saja terjadi. Sebab, kegiatan tersebut tidak menghasilkan output apalagi outcome. Kegiatan tersebut diselenggarakan hanya untuk penyerapan anggaran.
Padahal, jika kita kembalikan pada konsepnya dalam konteks akuntabilitas kinerja, ukuran keberhasilan kegiatan adalah menghasilkan output atau outcome, bukan tingginya persentase penyerapan anggaran.
Untuk sebuah kegiatan yang diselenggarakan di hotel dengan model fullboard, seluruh akomodasi peserta (penginapan dan konsumsi) akan ditanggung oleh pihak penyelenggara. Pengalaman penulis yang pernah 1 (satu) kali menyelenggarakan kegiatan di hotel, perhitungannya adalah per pax alias per orang. Besaran biaya per-pax-nya tergantung kelas hotel tersebut.
Ilustrasikan saja besaran per-pax-nya adalah Rp. 400.000,00. Jika jumlah peserta yang harus ditanggung akomodasinya ada 100 orang (sudah termasuk peserta + pihak penyelenggara), maka besaran yang harus dibayarkan oleh pihak penyelenggara kepada pihak hotel adalah Rp. 40.000.000,00.
Coba kita bandingkan dengan BST. Besaran tersebut jika diganti dengan kegiatan pemberian bantuan sosial tunai (BST) yang besarannya Rp. 300.000,00 per Kepala Keluarga (KK), tentunya akan ada ± 133 paket bagi ± 133 KK.
Jika dilihat dari output tentunya lebih tampak kegiatan pemberian BST. Istilah yang digunakan penulis untuk mengilustrasikan perbandingan kegiatan tersebut adalah, “Kinerja pemberian BST lebih ber-akuntabilitas kinerja daripada penyelenggaraan kegiatan di hotel”.
Ketidakefisienan Penggunaan Anggaran: Peserta
Perhitungan di atas baru dari sisi pihak penyelenggara, belum lagi dari sisi peserta yang juga dapat dihitung ketidakefisiennya. Hitung saja HANYA uang hariannya, maka sesuai lampiran I Perpres No. 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional (SHSR), perhitungannya adalah hari ke-1 akan diberikan Rp. 410.000,00, dan hari ke-2 akan diberikan Rp. 140.000,00.
Jadi total yang harus dikeluarkan oleh daerah yang “memberangkatkan” pejabat / stafnya adalah Rp. 550.000,00. Itu belum biaya perjalanan dinas daratnya, misalnya belanja BBM atau perjalanan dinas darat yang tidak menggunakan kendaraan dinas.
Padahal, 4 prinsip sebagaimana tertuang dalam lampiran 1 Perpres No, 33 tahun 2020, yaitu:
- Selektif, yaitu hanya untuk kepentingan yang sangat tinggi dan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah;
- Ketersediaan anggaran dan kesesuaian dengan pencapaian kinerja SKPD;
- Efisiensi penggunaan belanja daerah; dan
- Akuntabilitas pemberian perintah pelaksanaan perjalanan dinas dan pembebanan perjalanan dinas.
Maka menurut hemat saya, baik pihak penyelenggara maupun peserta kegiatan hendaknya mencermati kembali 4 (empat) prinsip di atas agar kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan memang secara nyata menghasilkan output maupun outcome, bukan melulu hanya mengedepankan penyerapan anggaran.
Perkembangan IT: Penggunaan Internet untuk Pertemuan Virtual
Perkembangan teknologi informasi, termasuk di dalamnya penggunaan internet, saat ini sangat pesat, terlebih jika dibandingkan dengan ketika pertama kali diprakarsai oleh Departemen Pertahanan AS di tahun 1969.
Salah satu terobosan penting, khususnya ketika dunia dilanda pandemi Covid-19, adalah mekanisme kerja menggunakan pertemuan secara virtual.
Ramai-ramai seluruh instansi, baik pemerintah dan swasta, menerapkan kebijakan WFH (Work From Home) dan membiasakan pertemuan secara virtual dengan beragam aplikasi, misalnya Zoom Cloud Meeting, Microsoft Teams atau Google Meet (setidaknya itu yang diketahui oleh penulis).
Aktivitas pertemuan virtual yang telah “dipaksakan” kepada seluruh instansi, karena adanya pandemi Covid-19 ini, semestinya menjadi budaya baru bagi setiap instansi. Sepanjang tahun 2020, metode pertemuan virtual ini telah dibiasakan, sehingga di tahun 2021 kita semestinya melakukan pelembagaan atas kebiasaan baru tersebut dalam dunia kerja.
Sebagai contoh, perlu dibuat kebijakan misalnya tidak ada lagi penyelenggaraan rapat secara tatap muka, tidak ada lagi penyelenggaraan rapat di hotel. Sebagai gantinya, penggunaan internet untuk pertemuan secara virtual perlu dioptimalkan.
Jika hal ini disusun regulasinya, niscaya akan meminimalisir terjadinya pemborosan anggaran. Dana yang tersedia bisa dialihkan untuk kegiatan lain yang memang secara nyata memiliki output maupun outcome.
Epilog
Setidaknya ini yang bisa penulis sampaikan untuk menuangkan pemikiran dan kegelisahannya. Dan, ini murni merupakan pemikiran subyektif berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis (meski hanya 1 kali) dalam mengikuti maupun menyelenggarakan kegiatan di hotel.
Tidak ada maksud untuk menyinggung siapapun apalagi bersikap nyinyir. Tujuan penulis adalah agar penggunaan belanja daerah memang benar-benar untuk kemaslahatan masyarakat. Jelas ukuran kinerjanya, entah yang bersifat output atau outcome. Terimakasih.
ASN pada Bagian Organisasi, Setda Kabupaten Lumajang, Jawa Timur
Terimakasih atas tulisannya, hal yang sama yang suka saya tanyakan..kenapa pas Covid semua bisa dilakukan secara virtual tetapi ketika new normal justru kembali ke setelan awal. Ini semua tentang mindset dan budaya, sudah saatnya juga sistem penggunaan anggaran diubah yang fokusnya tidak hanya serapan tetapi dampak yang dihasilkan.