
Tulisan ini lahir dari pengalaman, pengalaman yang mendewasakan. Oleh karena itu, semoga bisa menjadi inspirasi.
Kecenderungan Pemimpin Baru
Ditunjuk oleh rakyat atau atasan untuk memimpin sebuah organisasi adalah sebuah kehormatan. Terlebih jika posisi tersebut lebih tinggi dari level sebelumnya. Posisi baru dengan jumlah subordinat yang lebih banyak membuat kebanggaan itu muncul. Kebanggaan yang pada satu titik menjadi kesombongan.
Kesombongan inilah yang meninabobokan, yang membuat sang empunya jabatan baru tersebut merasa lebih baik dari manusia lainnya. Perasaan lebih baik tersebut membuat dia meremehkan siapapun. Bahkan para pendahulunya.
Maka, dalam setiap kesempatan,
dia berusaha menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari pendahulunya. Ia memproklamirkan kepada bawahannya bahwa dirinya lebih baik. Sebagian mengemukakannya dengan eksplisit, mengatakan secara terbuka.
Sebagian lebih tertutup, lebih elegan. Alih -alih berbicara lantang, ia hanya tersenyum sinis dengan kelebihan pendahulunya dan membongkar aibnya tanpa menyebut nama.
Pemimpin baru ini, dalam setiap kesempatan, di berbagai media, mengemukakan berbagai ide dan gagasan untuk menunjukkan kecerdasan berpikir dirinya. Maka kata “seharusnya” seakan kaset rusak yang diulang-ulang.
Seolah ia benar-benar berpikir dan prihatin dengan kondisi organisasi yang dipimpinnya. Seolah ia benar-benar peduli tentang ketertinggalan mereka selama ini. Padahal dari lubuk sanubarinya, pekat sebuah kesombongan tentang dirinya yang lebih baik dari “yang sebelumnya”.
Pada jabatan politik lebih parah, posisi sebagai lawan politik bahkan menimbulkan kebencian. Sehingga semua yang berbau masa lalu harus disingkirkan. Jangankan para pengusungnya bahkan hanya sebatas jargon tentang mereka pun harus dihapuskan.
Faktanya
Pemimpin baru itu belum berbuat apapun selain konsep dan gagasan, selain rencana dan semoga. Persepsi tentang dirinya yang lebih baik itu hanya ada dalam benaknya dan belum menjadi kenyataan.
Belum ada satu gagasanpun yang terealisasi, karena waktu belum memungkinkan itu terjadi. Belum ada satu idepun yang tereksekusi karena kesempatan yang belum disediakan.
Sementara itu, pemimpin lama dengan berbagai kekurangannya, sesungguhnya telah berbuat. Terlepas dari besar dan kecilnya kontribusi mereka, pemimpin lama telah melakukan sesuatu karena waktu yang mereka telah habiskan memungkinkan hal itu terjadi.
Gagasan mereka telah mewujud karena alam telah memberi mereka kesempatan. Ide mereka telah nyata karena semesta telah memberi mereka ruang.
Jikapun mereka mendapatkan nilai 3 dari 10 selama masa kerja mereka maka sesungguhnya sementara waktu pemimpin baru itu baru mendapat nilai 1 selama masa kerjanya yang belum tuntas.
Di garis finis, tidak ada yang tahu apakah pemimpin baru itu bisa mendapatkan nilai melebihi pemimpin sebelumnya. Bisa jadi benar bisa jadi tidak.
Manusia Makhluk yang Sempurna karena Ketidaksempurnaannya
Tuhan memilih Manusia untuk menjadi pemimpin di muka bumi bukan karena ia lebih sempurna dalam kebenaran dibandingkan malaikat. Bukan juga karena lebih sempurna dalam kesalahan seperti setan. Tuhan memilih manusia untuk menjadi pemimpin di dunia karena ia sempurna dengan ketidaksempurnaannya.
Adalah sebuah kepastian bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada bagian tertentu ia mungkin lebih tapi pasti di satu bagian ia kurang. Plot twist-nya adalah banyak yang mengetahui kekurangan orang lain dan sedikit yang mengetahui kekurangan dirinya sendiri.
Sebaliknya, banyak yang mengetahui atau merasa tahu kelebihan dirinya dan tidak mengetahui kelebihan orang lain.
Plot twist ini yang sering mengelabui pemimpin baru, seolah Ia mengetahui bahwa dirinya mampu berbuat lebih dari pendahulunya karena pendahulunya banyak kekurangan dan dirinya banyak kelebihan. Padahal, hei! Itu hanya ada dalam persepsi dirinya sendiri. Belum terbukti.
Alarm Bahaya:
Jika pembaca berada dalam posisi ini, maka dengarkan perkataan penulis
karena penulis pernah mengalaminya. Dengarkanlah! Berhenti renungkan
dan melangkahlah perlahan. Karena di dalam kesombongan seperti itu
menyelinap bahaya yang sangat besar.
Kesulitan merangkul dukungan bawahan
Seorang pemimpin bukanlah apa-apa tanpa yang dipimpinnya. Oleh karena itu, dukungan dari bawahan sangatlah penting untuk keberhasilan memimpin. Mengumbar aib pemimpin sebelumnya akan melukai sebagian pendukung yang mungkin saja fanatik dengan pemimpin lama.
Jika hal ini terjadi maka sikap apriori bahkan benci bisa bersemai di hati bawahan yang dipimpin. Jika bawahan yang dipimpin sudah bersikap seperti itu maka organisasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Ia akan menghambat roda organisasi.
Permasalahannya kita tidak pernah tahu seberapa besar fanatisme ini dan semakin besar fanatisme itu semakin besar hambatan yang ada.
Kesulitan Membedakan Baik dan Buruk
Saat manusia membenci manusia lain, maka ia akan cenderung subjektif. Ia akan merubah apapun yang bernilai lama tanpa melihat baik buruknya nilai itu.
Padahal, jika saja ia bisa objektif maka nilai yang baik akan dilanjutkan untuk berkembang lebih baik lagi. Sementara itu, nilai yang buruk akan diperbaiki untuk menjadi baik.
Tidak perlulah penulis menyebutkan kasus perkasus di negeri kita ini, yang lahir karena kegagalan pemimpin untuk melihat sesuatu secara objektif.
- Peralihan dari orde lama ke orde baru menghapus semua nilai baik di orde lama itu.
- Begitupun pergantian dari orde baru ke orde reformasi seakan menghilangkan semua yang baik di orde pembangunan tersebut.
Walhasil kita jalan di tempat. Selamanya menjadi negara berkembang tanpa pernah menyentuh kemajuan. Semua itu karena pemimpin baru merasa lebih baik dari yang sebelumnya.
Meskipun akhirnya kita sadar ada nilai baik yang perlu dipertahankan, ternyata semuanya sudah terlambat.
Kesalahan dalam Melangkah
Penilaian yang salah atas benar dan salah akan membuat pemimpin baru melangkah dengan salah. Langkah pertama yang salah jika diteruskan akan menjadi puluhan langkah dan ribuan langkah yang salah.
Jika itu terjadi, maka optimisme atas pemimpin baru yang lebih baik dari pendahulu tersebut bukan hanya sebuah angan akan tetapi lebih dari itu ia adalah antitesis.
Walhasil, pemimpin baru itu bukan hanya tidak lebih baik melainkan lebih buruk dari pendahulunya.
Pembelajaran
Perasaan lebih baik dari pendahulu adalah sesuatu yang berbahaya. Maka, jika pembaca berada dalam posisi itu, bernafaslah sejenak dan ingatlah nilai yang selalu diajarkan oleh orang tua kita tentang padi yang semakin berisi semakin merunduk.
Diam, mendengarkan dan belajar, jauh lebih baik daripada berbicara yang tidak perlu. Kenyataannya, pemimpin baru banyak tidak tahunya ketimbang sebaliknya.
Ia tidak tahu apa yang terjadi dalam organisasi itu selama ini. Apakah ide dan gagasan yang ada di pemimpin baru itu pernah dicoba tapi tidak berhasil? Atau apakah memang belum dicoba? Ia belum tahu hal itu.
Dengan diam dan memperhatikan, pemimpin baru akan mampu menyimpulkan perjalanan organisasi selama ini sebelum ada dia. Dengan mendengarkan ia akan tahu apa saja yang pernah dilakukan dan belum. Ia dapat mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi untuk melangkah.
Langkah pertama penting dan ia tidak seharusnya lahir dari kesombongan bahwa diri sendiri lebih baik dari yang sebelumnya, melainkan dari informasi dan pemikiran objektif yang matang, yaitu sebuah kebijaksanaan.
0 Comments