
Birokrasi di Indonesia pada awal tahun 2025 tengah mengalami masa yang sulit. Bahkan banyak yang menganggap kondisi yang terjadi lebih sulit daripada pada saat masa pandemik.
Sebab utamanya yaitu keluarnya Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Melalui kebijakan tersebut Presiden menginstruksikan penghematan APBN yang mencapai Rp306,69 triliun rupiah atau sekitar 200 miliar USD.
Pemangkasan tersebut akan digunakan untuk program prioritas presiden seperti Makan Bergizi Gratis dan akselerasi proyek nasional melalui BPI Danantara. Pemangkasan dengan jumlah nyaris 10% dari total alokasi APBN.
Saya tidak akan membahas terlalu jauh terkait hasil efisiensi dan penggunaannya.
Itu urusan presiden. Isu yang lebih menggelitik saya adalah mengapa penghimpunan dana untuk pembiayaan program prioritas dilakukan dengan pemangkasan secara tidak terencana.
Padahal pemangkasan ini, kalau tidak mau dibilang serampangan dan tebang pilih, mendisrupsi peran APBN yang berpotensi mempengaruhi kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Mengapa Birokrasi yang Menjadi Sasaran?
Mengapa birokrasi menjadi sasaran utama untuk menghimpun dana yang luar biasa besar dalam waktu singkat? Mengapa ASN umbi-umbian yang merasakan dampak luar biasa seperti sekarang?
Bekerja dalam kondisi panas, hybrid, dan tidak ideal, bahkan dirasa lebih buruk daripada pada masa Covid-19, bukan merupakan pernyataan yang bersifat isapan jempol semata.
Belum lagi soal target kinerja yang tetap meskipun anggaran terpangkas signifikan. Kami semua sepakat tentang efisiensi anggaran, namun harus dilakukan secara terencana dan substantif, tidak serampangan dan tebang pilih.
Sekali lagi, mengapa birokrasi yang menjadi sasaran? Masih banyak opsi lain untuk ‘hanya’ mendapatkan dana 200 miliar USD. Misalnya, dengan penguatan pajak dan PBNP, pengurangan subsidi, dan yang paling utama rampas semua aset hasil korupsi yang jumlahnya fantastis.
Dari opsi ketiga saja 2 kasus besar terakhir yaitu korupsi Timah mencapai 217 Triliun Rupiah dan Oplos Pertamax ditaksir mencapai 193,7 triliun rupiah. Hanya dari 2 kasus ini jumlahnya lebih dari 400 triliun rupiah.
Birokrasi dan Kekuasan
Hipotesis saya tentang pemilihan birokrasi sebagai sapi perah untuk menghasilkan dana instan ini berkaitan dengan relasi kuasa antara pejabat publik (birokrat) dengan pejabat politik.
Lebih luas lagi, birokrasi merupakan mesin kelas yang berkuasa. Birokrat tidak akan protes. ASN akan menerima (dengan nggerundel) walaupun harus bekerja dengan fasilitas yang minim, terpaksa mengurangi kegiatan yang tentu berdampak pada pelayanan ke masyarakat.
Inovasi dan kolaborasi seakan menjadi mantra sakti yang bisa mengatasi permasalahan minimnya anggaran kegiatan yang dihadapi.
Kondisi seperti ini menjadi momentum refleksi, apakah ASN bisa memiliki kesadaran politik kritis?
Pada saat bergabung menjadi CPNS 6 tahun yang lalu saya menulis di laman BM dengan judul Menumbuhkan Kesadaran Politik Kritis ASN Zaman Now. Pada intinya, saya menyerukan ASN untuk netral pada politik praktis akan tetapi tidak apolitis terhadap permasalahan bangsa.
ASN zaman now bukan lagi mesin yang bisa dijalankan sesuai dengan kepentingan politik pimpinan seperti pada zaman Orde Baru. ASN Zaman Now harus menunjukkan prinsip politik kritis sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitulah tulis saya, CPNS idealis yang gemar membaca buku-buku kritis.
Enam tahun kemudian dengan segala dinamikanya, dengan puncak awal tahun ini, apakah kesadaran politik kritis yang dibangun oleh ASN bisa disalurkan aspirasinya? Apakah Hasrat berserikat ASN bisa terwadahi, seperti yang disitir oleh Agung Wibowo di laman BM (25/02/25).
ASN dan Politik (kritis)
Relasi antara birokrasi dengan kekuasaan selalu menjadi perdebatan yang tidak berujung pangkal.
Ada perbedaan pendapat yang cukup ekstrim antara pengikut mazhab Max Weber dengan konsep Netralitas Birokrasi dengan mazhab kritis salah satunya dari James Ferguson yang menganggap birokrasi merupakan mesin anti-politik dan depolitisasi pembangunan.
Weber menekankan profesionalisme dan netralitas birokrasi. ASN dilarang berpolitik. Hanya menjadi pelaksana kebijakan dan pelayan publik. Titik.
Namun menurut Ferguson, ASN melalui kerja dari “Mesin Anti-Politik” telah menciptakan teknikalisasi kebijakan yang menyingkirkan aspek politik (terjadi depolitisasi) dalam setiap masalah yang ada, tulis resensi dari Novianto atas buku Ferguson.
Apakah tugas pekerjaan yang dilakukan oleh Analis Kebijakan dan Peneliti
mengakibatkan teknikalisasi kebijakan dan terkadang menjadi instrumen untuk melegitimasi keputusan yang sudah dibuat sebelumnya atas tendensi politik?
“Mesin Anti-Politik” dalam perspektif Ferguson dilihat sebagai para aparat pembangunan yang melakukan diagnosis dan membuat resep kebijakan terhadap suatu masalah, dengan menghilangkan analisa politik walaupun masalah tersebut sebenarnya adalah masalah politik sekalipun (Novianto, 2015).
Pejabat Fungsional yang memiliki tusi analisis kebijakan dan penelitian kebijakan misalnya, dalam konteks kebijakan MBG, apakah berani memberikan analisis kritis atau berusaha melegitimasi kebijakan yang telah dibuat?
Dalam UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN, tugas dan fungsi ASN disimplifikasi menjadi Pelaksana Kebijakan Publik, Pelayan Publik dan Perekat dan Pemersatu Bangsa.
Implikasinya, terjadi pembatasan secara brutal bahwa ASN tidak boleh mengkritisi kebijakan. Kritikan akan dengan mudah dianggap sebagai perilaku kontra-produktif. Padahal ASN fungsinya hanya sebagai pelaksana kebijakan publik.
Pasal 10 UU ASN tersebut menjadi tertib sosial mutlak dan rawan digunakan untuk membatasi tumbuhnya kesadaran politik kritis ASN.
Mampukan ASN Berserikat?
Berkaitan dengan hasrat berserikat, Agung Wibowo menunjukkan munculnya hasrat tersebut di kalangan ASN milenial melalui menjamurnya komunitas-komunitas seperti seperti abdimuda.id, PNS Ababil, PNS_Garis_lucu, Negarawan.Id dan bahkan komunitas Birokrat Menulis.
Namun, bisakah komunitas-komunitas tersebut bertransformasi menjadi serikat ASN yang mampu menjadi wadah menyalurkan kepentingan politik kritis?
Depolitisasi birokrasi merupakan sejarah panjang pada perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Baru, PNS menjadi mesin politik penguasa. PNS dilarang berafiliasi dengan partai politik kecuali masuk dalam barisan Golongan Karya. Kemudian sebagai wadah tunggal PNS, presiden membentuk Korpri.
Banyak kalangan menilai Korpri bukan serikat pekerja. Tujuannya hanya sebatas memelihara kepatuhan ASN terhadap kode etik dan profesionalisme serta menumbuhkan jiwa korsa, bukan melindungi hak-hak para anggota sebagai pekerja selayaknya serikat pekerja.
Menteri PAN-RB sejak zaman Asman Abnur terus mengingatkan Korpri agar tidak menjadi serikat pekerja. Walaupun tidak dilarang secara langsung, apakah ASN bisa dan diperbolehkan berserikat di luar Korpri? Atau mungkinkan Korpri bertransformasi menjadi serikat pekerja di kemudian hari?
Lantas, apa yang bisa diperbuat oleh ASN? Apakah hanya bisa membebek kekuasaan? Atau bisa melakukan lompatan gebrakan untuk kemajuan bangsa?
What is to be done?
Tujuan utama tulisan ini dari awal sebagai refleksi diri sendiri (self reflection). Khususnya dalam menjawab pertanyaan saya sendiri 6 tahun silam. Dapatkah ASN terhindar dari sikap apatis dan apolitis?
Kondisi saat ini sudah jauh berbeda dengan masa Orde Baru.
Benih reformasi yang mulai tumbuh terasa sampai lingkup birokrasi. Setidaknya, di beberapa K/L/D budaya feodal yang sangat hirarkis dan budaya primordial yang sangat senioritas
sudah cukup luntur.
Egalitarianisme sudah tumbuh subur. Minimal ini bekal yang baik untuk menyemai dan terus memupuk kesadaran politik kritis ASN.
Dengan jumlah yang mencapai 4,4 juta ASN yang memahami kondisi birokrasi, kegiatan pemerintah, dan permasalahan yang dihadapi masyarakat, maka sangat besar potensinya ikut menjadi pendulum penjaga keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan.
ASN harus menjadi bagian dari mesin bangsa demi mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konkritnya, memunculkan komunitas epistemik seperti BM dan menjaga agar tumbuh subur menjadi penting. Media harus diimbangi dengan analisis-argumentasi kritis berdasarkan data yang dimiliki oleh ASN.
Jangan terjebak menjadi “mesin-anti politik” namun ASN perlu bertransformasi menjadi “mesin politik rakyat” penjaga Pancasila dan UUD 1945.
ASN harus bersuara jika terjadi ketidakadilan dan pelanggaran peraturan. ASN perlu terus berjejaring untuk memperkuat solidaritas dan saling menjaga agar konstitusi terus terjaga.
Mungkin agak klise, namun jika ASN apolitis maka tesis Ferguson semakin menguat bahwa tidaklah penting bagi “mesin anti-politik” apakah “pembangunan” itu berhasil atau gagal, yang terpenting adalah menguatnya cengkeraman kontrol politik pemerintah di tempat pembangunan dijalankan.
Apabila tidak bisa menjadi garda terdepan penghalau penindasan, minimal kita tidak menjadi bagian dari penindas, syukur-syukur bisa menjadi bagian dari perubahan.
Jangan lupa, ASN selalu birokrat punya banyak data yang berbahaya bagi politisi