Kebangkitan Sekolah Rakyat: Sebuah Kritik Sistem Pendidikan

by | Oct 18, 2025 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Di berbagai pelosok Indonesia, pola yang sama terus berulang: masyarakat mengumpulkan dana seadanya, mendirikan bangunan sederhana, dan merekrut siapa saja yang bersedia mengajar—sering tanpa imbalan memadai.

Mereka menyebutnya sekolah rakyat, sekolah komunitas, atau sekolah alternatif. Kehadiran mereka menyiratkan hal yang sama: kurangnya akses terhadap pendidikan formal yang menjadi hak konstitusional setiap anak Indonesia.

Di Kampung Kosarek, Yahukimo, Papua, 2018 lalu, sepasang aktivis muda mendirikan Rumah Belajar yang menjadi satu-satunya tempat bagi puluhan anak untuk mengenyam pendidikan. Kisah-kisah serupa tersebar dari Aceh hingga Papua, dari pesisir Maluku hingga pedalaman Kalimantan.

Fenomena ini bukan cerita baru. Yang mengkhawatirkan adalah persistensinya—bahkan setelah delapan dekade kemerdekaan dan di tengah klaim pemerintah bahwa anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN.

Sementara retorika pembangunan pendidikan terus digaungkan,
ribuan anak di wilayah terpencil masih bergantung pada inisiatif swadaya masyarakat.
Yang lebih ironis: sekolah-sekolah ini sering dipuja sebagai bukti gotong-royong
dan kemandirian masyarakat.

Padahal, kemunculan mereka justru menyingkap kegagalan mendasar negara dalam memenuhi janjinya: pendidikan untuk semua.

Sekolah Rakyat: Gejala, Bukan Solusi

Sekolah rakyat bukanlah fenomena baru. Sejak era kolonial, ketika akses pendidikan bagi pribumi sangat terbatas, masyarakat telah mendirikan lembaga pendidikan secara mandiri. Tradisi ini berlanjut hingga pasca-kemerdekaan, terutama di wilayah yang tidak terjangkau ekspansi sistem pendidikan formal.

Data menunjukkan kesenjangan akses pendidikan masih menjadi masalah serius. Wilayah Indonesia Timur, daerah perbatasan, kepulauan terluar, dan pedalaman masih menghadapi keterbatasan signifikan dalam ketersediaan sekolah formal.

Jarak tempuh yang jauh, medan geografis sulit, dan minimnya infrastruktur transportasi menjadi penghalang nyata.

Di situlah sekolah rakyat mengisi kekosongan. Namun kehadiran mereka seharusnya tidak dirayakan sebagai kisah sukses, melainkan dibaca sebagai indikator kegagalan sistem.

Ketika masyarakat yang secara ekonomi sudah marginal harus menanggung beban ganda dengan membiayai pendidikan anak-anak mereka sendiri, ada yang salah dengan distribusi tanggung jawab negara. Ini bukan tentang semangat kemandirian; ini tentang ketidakmerataan.

Dimensi Kegagalan Sistemik

Pertama, kesenjangan infrastruktur yang struktural.

Konsentrasi sekolah dengan fasilitas memadai masih terpusat di wilayah urban, khususnya Jawa dan sebagian Sumatera. Wilayah di luar poros pembangunan utama menghadapi defisit infrastruktur pendidikan yang akut. Tidak jarang anak-anak desa harus menempuh puluhan kilometer untuk mencapai sekolah terdekat.

Kesenjangan ini bukan semata akibat tantangan geografis. Kompleksitas geografis seharusnya menjadi justifikasi untuk kebijakan afirmatif yang lebih agresif, bukan pembenaran atas keterbatasan negara.

Persoalannya terletak pada pilihan politik pembangunan yang masih bias kepada wilayah yang sudah maju, menciptakan siklus ketimpangan yang sulit diputus.

Kedua, kebijakan yang tidak kontekstual.

Pemerintah menerapkan standarisasi untuk akreditasi dan operasional sekolah: rasio guru-murid, kelengkapan sarana prasarana, kualifikasi pendidik minimum. Standar-standar ini, meski terdengar ideal, menjadi beban berat—bahkan mustahil dipenuhi—oleh sekolah di daerah marginal.

Bagaimana mungkin sekolah di wilayah terpencil memenuhi standar guru berkualifikasi S1 ketika tidak ada guru yang bersedia ditempatkan di sana? Tunjangan khusus yang ditawarkan sering tidak cukup menarik dibandingkan isolasi geografis dan minimnya fasilitas hidup.

Hasilnya: banyak sekolah terpaksa merekrut tenaga pengajar seadanya—lulusan SMA lokal, tokoh masyarakat, atau siapa pun yang bersedia.

Mekanisme akses terhadap program bantuan pemerintah juga problematis. Dana Alokasi Khusus mensyaratkan proposal rumit. Daerah dengan kapasitas birokrasi terbatas—yang ironisnya paling membutuhkan bantuan—justru kesulitan mengakses dana tersebut.

Lebih jauh, sekolah rakyat sering beroperasi dalam wilayah abu-abu regulasi. Banyak yang tidak memiliki izin operasional resmi karena tidak memenuhi standar formal.

Konsekuensinya: lulusan mereka kesulitan melanjutkan pendidikan, guru tidak bisa mengakses program pengembangan profesional, dan sekolah jarang mendapat subsidi pemerintah. Mereka menjalankan fungsi pendidikan yang terabaikan negara, tetapi negara tidak mengakui eksistensi mereka.

Paradoks yang Harus Diakhiri

Mengakui perjuangan komunitas yang mendirikan sekolah rakyat adalah penting. Mereka membuktikan bahwa hasrat untuk belajar dan mengajar bisa melampaui keterbatasan material. Beberapa sekolah rakyat bahkan menghasilkan praktik pedagogis inovatif, kurikulum relevan dengan konteks lokal, dan metode pembelajaran partisipatif.

Namun, penghargaan terhadap perjuangan ini tidak boleh berubah menjadi legitimasi atas ketidakadilan. Narasi “kemandirian masyarakat” yang sering direproduksi media sesungguhnya menyembunyikan kegagalan struktural.

Kemandirian yang dipaksakan oleh ketiadaan alternatif bukanlah pemberdayaan sejati—itu adalah pembiaran. Masyarakat miskin di daerah terpencil seharusnya tidak harus “mandiri” untuk mendapatkan hak dasar yang dijamin konstitusi.

Ada risiko besar meromantisasi sekolah rakyat ketika pemerintah menganggap keberadaan mereka sebagai solusi alami. Jika tren ini dibiarkan, kita akan mewariskan sistem pendidikan berkasta: sekolah berkualitas untuk anak elite di kota besar, dan sekolah darurat untuk anak rakyat miskin di pinggiran.

Program Sekolah Rakyat Pemerintah: Terobosan atau Jebakan?

Pemerintah meluncurkan program “Sekolah Rakyat” yang dikelola Kementerian Sosial—sekolah berasrama gratis untuk anak dari keluarga miskin ekstrem. Program ini menjanjikan fasilitas lengkap, guru berkualitas, dan kurikulum yang menekankan pembentukan karakter serta keterampilan vokasi untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi.

  • Argumen pendukung menekankan: Ini adalah intervensi negara yang langsung dan terukur. Dengan sistem berasrama penuh, anak-anak dari keluarga miskin mendapat akses tidak hanya pada pendidikan, tetapi juga nutrisi, tempat tinggal layak, dan lingkungan belajar kondusif.
    Program ini berpotensi menciptakan model percontohan dan menargetkan jelas pada keluarga miskin ekstrem berdasarkan DTSEN.
  • Namun, kritik terhadap program ini tajam: Pertama, Sekolah Rakyat bisa menjadi alibi bagi negara untuk tidak memperbaiki sistem pendidikan secara menyeluruh.
    Alih-alih mengatasi akar masalah, pemerintah menciptakan program enklave yang hanya menjangkau sebagian kecil anak miskin. Pertanyaannya: bagaimana dengan ribuan anak lain yang tidak masuk kuota Sekolah Rakyat?

Kedua, model berasrama penuh mengandung risiko pencabutan akar budaya. Anak-anak dipisahkan dari keluarga dan komunitas dalam waktu lama, bisa mengikis ikatan dengan kearifan lokal, bahasa ibu, dan nilai-nilai komunitas asal.

Lulusan sering mengalami alienasi ketika kembali ke kampung halaman—mereka menjadi “terlalu terdidik” untuk diterima sepenuhnya, namun tidak cukup terhubung untuk berkontribusi efektif.

Ketiga, ada kekhawatiran tentang keberlanjutan dan politisasi. Program yang bergantung pada komitmen politik satu rezim berisiko tidak berkelanjutan. 

Keempat, program ini tidak mengatasi masalah geografis mendasar—anak-anak harus datang ke lokasi terpusat, bukan membawa pendidikan lebih dekat ke tempat mereka tinggal.

Kelima, biaya per siswa sangat tinggi. Dengan anggaran sama, pemerintah bisa membangun puluhan sekolah reguler di berbagai daerah terpencil, menjangkau lebih banyak anak.

Pertanyaan efisiensi dan trade-off ini penting untuk diajukan: apakah lebih baik memberikan pendidikan sangat baik untuk segelintir anak, atau pendidikan cukup baik untuk banyak anak?

Jalan Tengah: Mengintegrasikan, Bukan Menggantikan

Perdebatan ini tidak harus berujung pada pilihan dikotomis: pro atau kontra Sekolah Rakyat pemerintah. Yang dibutuhkan adalah pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan berbagai strategi.

  • Pertama, pemerintah harus mengintegrasikan sekolah rakyat yang sudah ada. Pemerintah perlu memberikan subsidi operasional, dan akses pelatihan untuk guru. Sekolah-sekolah ini sudah memiliki legitimasi di komunitas, memahami konteks lokal, dan telah membuktikan komitmen mereka. Yang mereka butuhkan adalah dukungan, bukan penggantian.
  • Kedua, desentralisasi pembangunan sekolah dengan afirmasi anggaran. Prioritas harus diberikan pada pembangunan sekolah-sekolah kecil yang tersebar di berbagai kampung terpencil, bukan hanya sekolah besar terpusat. Formula anggaran harus berbasis indeks kesenjangan, memberikan alokasi jauh lebih besar untuk daerah dengan akses pendidikan rendah dan tantangan geografis tinggi.
  • Ketiga, reformasi kebijakan yang kontekstual. Standar nasional pendidikan perlu dibedakan berdasarkan kondisi wilayah. Untuk daerah dengan akses ekstrem, standar tertentu bisa dilonggarkan, tetapi diimbangi dengan dukungan alternatif: program guru kunjung, pembelajaran jarak jauh yang difasilitasi negara, atau model multi-grade teaching yang efisien untuk wilayah dengan populasi siswa kecil.
  • Keempat, Sekolah Rakyat pemerintah bisa berfungsi sebagai suplemen, bukan substitusi. Program ini sangat layak dan penting untuk dilanjutkan untuk segmen tertentu—misalnya anak-anak dengan potensi akademik tinggi dari keluarga miskin yang membutuhkan lingkungan intensif. Namun, ini tidak boleh menggantikan tanggung jawab negara untuk menyediakan akses pendidikan dasar yang merata di seluruh wilayah.
  • Kelima, transparansi dan akuntabilitas. Jika program Sekolah Rakyat terus dikembangkan, harus ada mekanisme evaluasi independen yang terbuka untuk publik. Data tentang hasil pembelajaran, tingkat drop-out, adaptasi lulusan, dan efisiensi anggaran harus dipublikasikan secara berkala. Masyarakat berhak tahu apakah program ini benar-benar efektif.

Negara Harus Hadir, Bukan Sekadar Terlihat Hadir

Anak-anak di pelosok Indonesia tidak bermimpi tentang sekolah megah. Mereka hanya ingin sekolah yang tidak bocor saat hujan, guru yang hadir setiap hari, dan buku yang tidak harus dipinjam bergantian. Mimpi sederhana ini seharusnya tidak terlalu mahal untuk negara yang mengaku beradab.

Kehadiran negara diukur dari keterjangkauan dan keadilan akses. Negara sejati bukan yang membangun satu sekolah mewah dan menjadikannya proyek mercusuar, melainkan yang memastikan setiap kampung—tidak peduli seberapa terpencil—memiliki akses pada pendidikan berkualitas.

Jika sepuluh tahun dari sekarang sekolah rakyat swadaya masih terus bermunculan, itu bukanlah bukti kemandirian bangsa. Itu adalah monumen kegagalan kolektif kita sebagai negara.

Saatnya kita berhenti meromantisasi perjuangan
yang seharusnya tidak perlu terjadi, dan mulai menuntut negara untuk hadir—bukan sebagai penonton dalam perayaan swadaya, melainkan sebagai aktor yang bertanggung jawab penuh
atas janji konstitusional.

Program Sekolah Rakyat pemerintah bisa menjadi bagian dari solusi, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya solusi. Yang dibutuhkan adalah ekosistem pendidikan yang adil, di mana setiap anak memiliki akses yang sama terhadap masa depan yang lebih baik.

3
0
Irsyadinnas ♥ Active Writer

Irsyadinnas ♥ Active Writer

Author

Seorang birokrat muda yang menempa dirinya di garis depan transformasi digital pemerintahan. Perjalanan intelektualnya dimulai dari dunia angka dan data di Statistika IPB University, berlanjut menjelajahi perspektif global melalui program pendidikan singkat di University of Sydney, hingga mendalami seluk-beluk inovasi regional di Universitas Padjadjaran. Sejak 2010, ia mengabdikan dirinya sebagai ASN di Belitung Timur—sebuah pulau kecil dengan potensi besar. Dari Bappeda hingga kini memimpin Bidang Keamanan Informasi, Persandian dan Statistik di Diskominfo. Terpesona oleh kompleksitas birokrasi dan dinamika kebijakan publik, dan mulai tertarik membagikan pikirannya dalam format tulisan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post