Kearifan Lokal: Warisan atau Sekadar Kostum Politik?

by | May 24, 2025 | Politik | 0 comments

Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap politik Indonesia semakin dipenuhi oleh figur-figur populis yang tampil dengan gaya membumi, sederhana, dan dekat dengan masyarakat akar rumput. 

Fenomena ini tentu bukan hal baru, namun kini mendapatkan warna yang lebih kental ketika dikaitkan dengan simbol dan nilai-nilai budaya lokal. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah sosok Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat terpilih untuk periode 2025–2030.

Dengan identitas nyunda yang begitu kuat, Dedi tampil beda. Ia mengenakan iket Sunda, bersarung, dan berbicara dengan bahasa daerah dalam berbagai kunjungan dan aktivitas kesehariannya. 

Tak hanya itu, ia secara konsisten menyelipkan narasi tentang leluhur atau karuhun dalam setiap pesan yang disampaikan, baik secara langsung kepada masyarakat maupun melalui kanal media sosialnya yang sangat aktif. 

Narasi ini menyentuh lapisan emosi dan identitas warga Jawa Barat yang selama ini sering merasa identitas budayanya terpinggirkan oleh narasi nasional yang lebih dominan.

Budaya dalam Panggung Politik Populis

Mengangkat budaya lokal sebagai bagian dari strategi politik bukanlah praktik baru di Indonesia. Dari era Orde Lama hingga reformasi, kita telah melihat bagaimana simbol-simbol kultural digunakan untuk membangun narasi kepemimpinan. 

Presiden Soekarno kerap tampil dengan blangkon dan sorban
dalam upaya menghubungkan diri dengan akar budaya nusantara. Di masa yang lebih modern, Presiden Joko Widodo dengan gayanya yang sederhana dan rajin blusukan
membangun citra sebagai pemimpin rakyat kecil.

Dalam konteks kontemporer, figur seperti Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo juga memanfaatkan kedekatan budaya sebagai penguat citra. Ridwan Kamil, misalnya, mengangkat nilai-nilai urban dan kekinian dalam balutan budaya Sunda, sementara Ganjar dikenal sebagai sosok Jawa yang tegas namun tetap membumi.

Namun, jika melihat Dedi Mulyadi, ada dimensi yang tampak lebih dalam. Ia tidak hanya menjadikan budaya Sunda sebagai pelengkap tampilan, tetapi sebagai bagian inti dari identitas politiknya. 

Ini terlihat dalam berbagai kebijakan dan pernyataan publik yang sering menempatkan budaya sebagai fondasi berpikir dan bertindak. Contohnya adalah ketika ia mengusulkan kebijakan berpakaian adat di instansi publik, memugar situs-situs budaya, dan mengadakan kegiatan budaya di tingkat desa secara rutin.

Dalam ranah komunikasi politik, pendekatan seperti ini sangat efektif. Branding yang bersumber dari budaya lokal membuat sosok politikus terasa lebih akrab dan sejiwa dengan masyarakat. 

Di tengah kejenuhan publik terhadap jargon-jargon teknokratis dan program-program yang tidak menyentuh realitas sehari-hari, pendekatan berbasis nilai lokal menjadi oase yang menyegarkan.

Antara Identitas Otentik dan Kostum Elektoral

Penelitian juga mendukung efektivitas strategi ini. Studi oleh Fatmawati (2018) tentang political branding menunjukkan bahwa identitas budaya yang dikemas secara konsisten dan emosional mampu meningkatkan elektabilitas secara signifikan karena membangun rasa kepemilikan dan kedekatan antara pemimpin dan masyarakat (Fatmawati, 2018). 

Ini diperkuat dengan temuan Azizi (2014) yang membahas bagaimana mediaisasi dan simbol budaya mampu mengkonstruksi citra politik dalam Pilgub Jatim melalui narasi yang berakar dari budaya lokal (Azizi, 2014).

Namun, di balik keampuhan pendekatan ini, muncul pertanyaan penting: apakah budaya hanya dijadikan properti politik? Ketika sebuah nilai yang sakral dan historis diolah sedemikian rupa untuk membangun elektabilitas, maka ada risiko bahwa budaya tidak lagi dipahami sebagai sistem hidup, tetapi hanya sebagai kostum politik.

Budaya bukanlah sekadar tampilan luar. Ia adalah kumpulan nilai, cara pandang, dan sistem hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ketika seorang politisi menggunakan simbol budaya, publik berhak bertanya: 

  • Apakah simbol itu juga hidup dalam kebijakan? 
  • Ataukah hanya muncul ketika kamera menyala dan masa kampanye tiba?

Inilah ujian yang harus dihadapi Dedi Mulyadi dan politisi lainnya yang mengusung budaya sebagai identitas politik. Apabila komitmen itu hanya berhenti di simbolik—berfoto di depan rumah adat, memakai iket saat kampanye, atau membagikan konten viral di media sosial—maka pelestarian budaya tidak pernah terjadi. Yang ada hanyalah romantisme budaya yang dimanipulasi demi elektoral.

Untuk menjadikan pelestarian budaya sebagai praktik yang otentik, harus ada langkah konkret: pendidikan budaya yang masuk dalam kurikulum sekolah, penguatan komunitas adat melalui anggaran daerah, insentif kepada seniman lokal, hingga pemanfaatan teknologi digital untuk dokumentasi dan revitalisasi budaya tradisional.

Tanpa langkah-langkah tersebut, penggunaan budaya dalam politik hanya akan menjadi “teater rakyat”—panggung tempat para politisi memainkan peran demi mendapatkan suara, bukan demi memperjuangkan nilai.

Epilog: Dari Simbol Ke Substansi

Dalam demokrasi, masyarakat memegang peran penting sebagai penentu. Namun bukan hanya itu, publik juga adalah penilai moral atas tindakan pemimpin. Media sosial yang awalnya diharapkan menjadi ruang partisipasi kini berubah menjadi panggung pencitraan. 

Figur-figur politik bersaing dalam konten dan visualisasi, sementara esensi kebijakan kerap tenggelam dalam lautan unggahan viral.

Oleh karena itu, publik perlu mengembangkan kesadaran baru: kritis terhadap simbol dan selektif terhadap substansi. Terkesan pada pemimpin yang berani tampil dengan simbol budaya sah-sah saja, namun harus dibarengi dengan evaluasi atas tindakan dan dampaknya. 

  • Apakah simbol-simbol itu diwujudkan dalam regulasi dan penguatan masyarakat adat?
  • Ataukah sekadar menjadi materi kampanye untuk membentuk “kedekatan semu”?

Jika masyarakat tidak mampu membedakan antara substansi dan pencitraan, maka demokrasi akan semakin dikuasai oleh aktor-aktor yang lebih piawai berperan, bukan oleh pemimpin yang benar-benar membangun.

Kearifan lokal bisa menjadi kekuatan politik yang luar biasa jika digunakan dengan niat yang tulus dan keberlanjutan yang terukur. Ketika budaya dijadikan alat untuk membangun identitas, maka nilai-nilai dalam budaya itu sendiri harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Pemimpin boleh tampil nyunda, nyantri, nyawiji, atau apa pun bentuknya. Tapi rakyat, sebagai pemilik kedaulatan, harus tetap nyadar bahwa politik bukan sekadar panggung kostum, melainkan ruang keputusan. Di sinilah tempat di mana budaya harus hidup, bukan hanya ditampilkan.

0
0
Julianda Boang Manalu ♥ Active Writer

Julianda Boang Manalu ♥ Active Writer

Author

Kepala Bagian Hukum dan Persidangan Sekretariat DPRD Kota Subulussalam. Pegiat isu-isu politik, hukum, pemerintahan, pendidikan, kebijakan publik, dan hubungan internasional.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post