Bayangkan ini: Anda duduk nyaman di depan komputer, menjelajahi internet untuk keperluan kerja atau sekadar hiburan. Tiba-tiba, layar Anda membeku.
Sebuah pesan muncul, meminta tebusan dalam bentuk cryptocurrency jika Anda ingin kembali mengakses data penting Anda. Ini bukan adegan dari film fiksi ilmiah; ini adalah kenyataan yang banyak orang hadapi setiap hari.
Dalam dunia yang semakin terkoneksi, ancaman siber menjadi semakin nyata. Namun, banyak dari kita merasa bahwa hal ini jauh dari kehidupan sehari-hari. Kita berpikir bahwa hanya perusahaan besar atau instansi pemerintah yang menjadi target serangan.
Akan tetapi kenyataannya, siapa saja bisa menjadi korban. Maka, mari kita coba membuka mata kita terhadap kenyataan bahwa ancaman ini tak memandang siapa kita atau di mana kita berada.
Serangan Siber: Begitu Dekat dan Nyata
Kira-kira pertengahan tahun lalu, kita dikejutkan oleh sebuah insiden yang menghantam salah satu bank syariah terbesar di Indonesia. Kebetulan, saya salah satu nasabahnya. Sebagai nasabah, saya merasakan betul kekhawatiran yang muncul saat mengetahui bahwa data pribadi saya mungkin telah bocor.
Selama berhari-hari, layanan perbankan lumpuh total. Akses ke rekening, transaksi, dan bahkan ATM semuanya terhenti akibat serangan siber. Kita kemudian tahu bahwa ransomware jenis LockBit 3.0 adalah biang keladinya.
Kelompok hacker ini berhasil mencuri sekitar 15 juta data nasabah, termasuk nomor rekening, nama, dan informasi keuangan lainnya, lalu mengancam akan mempublikasikan data tersebut di dark web jika bank tersebut tidak membayar tebusan.
Masih teringat jelas rasa panik yang menyelimuti ketika rekening saya, yang merupakan tabungan utama yang sengaja untuk menjauhi riba, tiba-tiba tidak bisa diakses. Di balik ketakutan saya, ada keheningan panjang—dan saat itu hanya bisa menunggu. Ternyata, serangan ransomware tidak mengenal batas.
Ini tidak hanya tentang bank, tetapi juga tentang bagaimana kehidupan kita sehari-hari bisa terganggu oleh ancaman yang tak terlihat. Benar adanya, serangan ini tidak berhenti di dunia perbankan. Baru-baru ini, Pusat Data Nasional (PDN) juga menjadi korban.
Lebih dari 210 instansi pemerintah dan layanan publik terganggu akibat serangan yang sama. Serangan ke PDN bahkan mengakibatkan permintaan tebusan sebesar 8 juta dolar AS. Layanan publik yang kita anggap sepele—seperti imigrasi—ikut terkena dampaknya, memperlihatkan betapa rentannya sistem yang seharusnya melindungi kita.
Serangan siber ini mengingatkan kita bahwa ancaman ini bukan lagi sekadar headline berita yang bisa kita abaikan. Di era digital ini, keamanan berada di ujung jari kita, tapi begitu pula ancaman yang mengintai.
Serangan Siber: Bukan Hanya Soal Teknologi
Menurut data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sepanjang tahun 2023 saja, tercatat lebih dari 404 juta anomali lalu lintas jaringan di Indonesia. Serangan siber yang semula lebih teknis, seperti peretasan sistem menggunakan celah perangkat lunak, kini berkembang menjadi lebih canggih.
Banyak ransomware tidak lagi hanya mengandalkan eksploitasi teknis, tetapi masuk melalui jalan yang tak terduga: bocornya user dan password. Kebocoran data semacam ini sering kali berasal dari hal-hal sederhana, seperti penggunaan kata sandi yang sama di banyak situs atau ceroboh dalam menjaga perangkat pribadi.
Sekali hacker berhasil mendapatkan akses melalui satu pintu,
mereka bisa menyebar seperti api liar di jaringan kita, mencuri data, memantau aktivitas,
dan bahkan mengendalikan sistem tanpa Anda sadari.
Lalu, bagaimana ransomware bisa menyebar? Cukup mengejutkan bahwa sebagian besar kasus ransomware saat ini dimulai dari user dan password yang bocor. Setelah itu, ransomware menyebar melalui jaringan, mencuri data sensitif, dan bahkan memantau semua yang kita ketik di keyboard.
Tentu saja, banyak dari kita merasa aman karena kita memasang antivirus atau firewall. Sayangnya, ancaman siber saat ini jauh lebih canggih. Serangan tidak hanya terjadi melalui celah teknis, tetapi juga memanfaatkan kelengahan manusia.
Darknet dan Nation-State Attacker
Pernahkah Anda mendengar tentang darknet? Ini adalah bagian dari internet yang tidak dapat diakses melalui mesin pencari biasa seperti Google. Di sana, kredensial akun, data pribadi, dan bahkan informasi sensitif dari organisasi dapat diperjualbelikan secara bebas.
Pada tahun 2023, tim Cyber Threat Intelligence BSSN mencatat 347 dugaan insiden siber, termasuk kebocoran data, ransomware, hingga serangan DDoS. Banyak dari insiden ini melibatkan eksposur data di darknet, di mana hacker bisa membeli informasi yang bocor dengan harga murah.
Jika kita berpikir bahwa teknologi canggih dapat melindungi kita sepenuhnya, pikirkan lagi. Zero-day vulnerability adalah salah satu contoh celah keamanan yang sangat berbahaya.
Ini adalah celah pada perangkat lunak yang belum diketahui oleh pembuatnya, dan karenanya belum memiliki patch atau perbaikan. Artinya, hacker bisa menyerang sistem yang terlihat aman tanpa Anda sadari hingga semuanya sudah terlambat.
Tidak hanya itu, ancaman siber juga datang dari apa yang disebut nation-state attacker, di mana suatu negara menggunakan sumber daya teknologi yang sangat besar untuk meretas sistem negara lain. Jika bahkan perusahaan besar dan pemerintah rentan terhadap serangan semacam ini, bagaimana dengan kita?
Ancaman dari Dalam: Faktor Manusia yang Tak Terduga
Namun, teknologi hanyalah satu sisi dari cerita. Faktor manusia sering kali menjadi titik lemah yang paling mudah dieksploitasi. Pegawai yang ceroboh, tekanan hidup ekonomi, atau bahkan kehilangan gadget dapat menyebabkan kebocoran data yang fatal.
Sebagai contoh, sebuah laptop yang hilang dengan password yang tidak dilindungi dapat menjadi pintu gerbang bagi hacker untuk masuk ke sistem kita.
Kita sering mengabaikan hal-hal kecil, seperti menggunakan kata sandi yang sama di banyak platform, mengakses situs yang tidak aman, atau menggunakan perangkat lunak bajakan yang sering kali disusupi malware. Padahal, semua tindakan ini dapat membuka pintu bagi serangan siber.
Belum lagi, adanya social engineering,
metode penipuan di mana penyerang memanipulasi orang
untuk memberikan informasi rahasia atau mengakses sistem. Teknik ini sangat berbahaya
karena memanfaatkan kepercayaan dan kelengahan individu,
bukannya meretas teknologi secara langsung.
Misalnya, pelaku bisa berpura-pura menjadi rekan kerja atau lembaga resmi melalui email, panggilan telepon, atau bahkan interaksi langsung, dengan tujuan mencuri password, data pribadi, atau bahkan akses ke sistem organisasi.
Serangan ini bisa sangat efektif karena orang sering kali menjadi mata rantai terlemah dalam sistem keamanan. Di era digital yang makin terhubung, ancaman dari social engineering menjadi lebih nyata, apalagi dengan teknik yang kian canggih seperti phishing atau pretexting.
Bagaimana Kita Bisa Melindungi Diri?
Langkah pertama untuk melindungi diri dari serangan siber adalah kesadaran. Menyadari bahwa ancaman siber itu nyata dan bisa menyerang siapa saja adalah kunci untuk mulai melindungi diri. Beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan antara lain:
- Selalu gunakan software versi terbaru. Pembaruan perangkat lunak sering kali mengandung perbaikan keamanan. Mengabaikan update sama saja dengan membiarkan pintu terbuka untuk hacker.
- Gunakan password yang kuat dan berbeda untuk setiap akun. Hindari menggunakan password yang sama di berbagai platform. Kombinasi karakter yang kuat dapat membuat peretas kesulitan menebak.
- Aktifkan otentikasi dua faktor (MFA). Ini akan memberikan lapisan perlindungan ekstra yang membuat akses ke akun kita lebih sulit diambil alih oleh orang lain.
- Hindari berbagi data pribadi secara sembarangan. Data seperti password atau informasi keuangan harus dijaga dengan hati-hati.
- Waspada terhadap phishing. Serangan phishing sering kali dimulai dari email atau pesan yang terlihat sah tetapi bertujuan mencuri informasi kita.
Anda mungkin bertanya-tanya, “Mengapa saya perlu peduli dengan serangan siber? Saya hanya pengguna biasa.” Namun, serangan siber tidak mengenal batas. Sebuah organisasi bisa lumpuh hanya karena kecerobohan satu orang.
Jika kita bekerja dalam tim atau perusahaan, setiap tindakan yang kita ambil dalam menjaga keamanan digital berdampak pada seluruh organisasi. Bahkan jika kita bukan bagian dari organisasi besar, serangan siber bisa menguras tabungan, merusak reputasi, atau bahkan menyebabkan kehilangan data penting yang tak tergantikan.
Ancaman siber bukan lagi hal yang bisa diabaikan. Ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi setiap hari. Kita semua memiliki peran dalam menjaga keamanan dunia digital yang kita tinggali. Dengan langkah-langkah sederhana, kita bisa melindungi diri dan orang-orang di sekitar kita dari ancaman yang tak terlihat namun sangat berbahaya ini.
Ingatlah, serangan siber bukan hanya tentang teknologi—ini tentang manusia. Dan seperti semua masalah manusia, solusinya dimulai dari kesadaran. Mari kita mulai dari diri kita sendiri, sebelum semuanya terlambat.
*Terinspirasi dari paparan Moch. Fahrudin (Chief of Digital Transformation Officer BPKP) dalam sharing session Library Cafe bertajuk “Mengelola Risiko Serangan Siber” tanggal 27 September 2024
(Selengkapnya di: https://youtu.be/uqJJkTRUn-k)
Seorang pekerja sektor publik yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal.
Ringan, bernas