
Ketika di tahun 2010, The Karate Kid versi Jaden Smith sukses meraih tanggapan positif para kritikus film, terselip satu pertanyaan menggelitik di balik bayang-bayang keindahan seni bela diri yang diperagakan Dre Parker, sang tokoh utama.
Mengapa film tersebut berjudul “The Karate Kid”, bukankah jurus-jurus yang diperlihatkan dalam hampir keseluruhan adegan adalah gerakan bela diri kungfu? Kesan sebagai film kungfu pun semakin kuat dengan kehadiran Jackie Chan, aktor legendaris yang dikenal sebagai ikon film-film kungfu.
15 tahun kemudian, pertanyaan itu pun akhirnya terjawab. Lewat Karate Kid: Legends, benang merah antara kungfu dan karate coba dipertemukan melalui penggalan adegan pembuka yang diambil dari The Karate Kid tahun 1984 versi Ralph Macchio.
Dalam segmen tersebut, Mr. Miyagi (Pat Morita) guru Daniel LaRusso (Ralph Macchio), menceritakan tentang asal usul aliran karate yang diwariskan kepadanya. Ia menuturkan bahwa nenek moyangnya mempelajari bela diri dari orang-orang Tiongkok, yang diadaptasi dan dibawa ke Okinawa menjadi karate.
Berangkat dari narasi tersebut, Karate Kid: Legends ingin menghubungkan antara The Karate Kid versi Ralph Macchio dan The Karate Kid versi Jaden Smith melalui persahabatan yang terjalin antara keluarga Mr. Miyagi dan keluarga Mr. Han (diperankan oleh Jackie Chan).
Karakter Mr. Han pertama kali muncul dalam The Karate Kid versi Jaden, di mana Mr. Han adalah mentor bagi Dre Parker.
Li Fong: Pemuda Gen Z Pecinta Kungfu
Konflik dalam Karate Kid: Legends terbilang klasik. Dasar cerita berpusat pada kebimbangan seorang anak muda dalam menentukan pilihan terbaik bagi kehidupannya. Tema semacam itu juga ditemukan dalam waralaba The Karate Kid sejak era Ralph Macchio.
Meski demikian, ada sisi menarik dari Karate Kid: Legends ditinjau dari konteks kekinian, yaitu konflik yang dialami oleh seorang generasi Z (gen Z) bernama Li Fong.
Li Fong diperankan oleh Ben Wang, aktor yang sukses menarik simpati
dalam aktingnya sebagai Jin Wang di serial American Born Chinese. Li Fong bersama kakak laki-lakinya adalah murid Mr. Han yang cukup berbakat. Mereka berdua memiliki hubungan dekat dengan Mr. Han, pola interaksi yang lebih mirip hubungan keluarga
ketimbang hubungan antara guru dan murid.
Namun, kehangatan tersebut seolah lenyap, saat kakak Li Fong mengalami insiden pengeroyokan pasca pertandingan kungfu, yang menyebabkan kematiannya.
Ibunda Li Fong, yang berprofesi sebagai dokter, merasa khawatir dengan kegemaran putranya berlatih kungfu. Selaku orang tua tunggal, ia tidak ingin kehilangan buah hati yang disayanginya untuk kedua kalinya. Ibunda Li memiliki harapan besar agar Li fokus pada capaian akademiknya.
Li yang semula tinggal di Tiongkok, dibawa ibunya pindah ke Amerika untuk memulai kehidupan baru yang dianggap lebih mendukung dalam pencapaian cita-cita keluarga Li. Kepindahan ke Amerika membawa konsekuensi, Li semakin jauh dengan dunia kungfu yang dicintainya.
Di tengah kegalauan yang menyelimuti, Li mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru di Amerika. Ia berupaya menghapus keterkaitannya dengan dunia kungfu. Akan tetapi, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, lingkungan baru Li membawanya pada perseteruan dengan seorang pelaku perundungan bernama Conor Day, yang merupakan siswa di sekolah yang sama dengan Li.
Conor ternyata adalah seorang atlet karate yang cukup kesohor dengan atribut sebagai juara bertahan dalam turnamen Five Boroughs.
Rivalitas antara Li dan Conor berujung pada pilihan penyelesaian masalah yang selama ini ingin dihindari Li, yaitu arena pertarungan. Li tidak mampu mengelak untuk mencari jalan keluar sesuatu yang amat tidak disukai oleh ibundanya.
Conor telah memaksa Li sampai pada batasan yang membuatnya mau tidak mau harus menempuh jalan solusi tersebut. Mereka berdua harus beradu keahlian dalam ajang Five Boroughs yang biasa diikuti Conor.
Dua Cabang dari Satu Pohon yang Sama
Pergulatan batin Li Fong juga dirasakan oleh sang guru. Li berharap Mr. Han dapat memberinya petunjuk jalan manakah yang harus ditempuh. Mr. Han meyakinkan Li dan ibunya bahwa mengikuti turnamen merupakan fase kehidupan yang harus dilalui, agar Li terbebas dari beban yang membelenggu dirinya.
Beban traumatis yang dibawanya bersama sang ibu atas wafatnya sang kakak, juga beban yang ia derita dalam relasi sosial di lingkungan barunya. Arena Five Boroughs merupakan momentum berharga bagi Li, untuk membuktikan bahwa dirinya mampu mengatasi semua beban itu.
Melihat aturan Five Boroughs yang berbasis pada bela diri karate, Mr. Han mengajak Daniel LaRusso untuk bersama melatih Li Fong agar anak didiknya itu lebih siap berlaga dalam turnamen tersebut. Mr. Han mengetahui bahwa Mr. Miyagi mempunyai seorang murid yang meneruskan ajaran karate keluarganya.
Mr. Han merasa cocok dengan filosofi yang ditanamkan karate Miyagi, yang kini dipraktikkan LaRusso. Kesamaan visi itulah yang membuat Mr. Han percaya bahwa Li Fong layak dilatih oleh LaRusso.
Kungfu Mr. Han dan karate keluarga Miyagi memiliki kesamaan
dalam menempatkan relevansi filosofi bela diri dengan realita kehidupan.
Keduanya ibarat “dua cabang dari pohon yang sama”,
serupa dalam cara pandang bahwa bela diri merupakan “jalan” yang memandu praktisinya untuk hidup beretika, mengasihi sesama, pantang menyerah, dan bersikap positif dalam menyikapi problematika yang terjadi.
“Kau tidak bisa mengendalikan kapan kehidupan membuatmu terjatuh, tapi kau bisa mengendalikan dirimu untuk bangkit kembali,” demikian nasihat Mr. Han yang disampaikannya kepada Li Fong.
Dunia karate mengenal tradisi Budo, sebuah istilah yang menunjuk seperangkat metode pengembangan diri melalui pelatihan bela diri. Budo dapat diartikan sebagai “jalan kesatria”, nilai-nilai keperwiraan yang terefleksi dalam pikiran, sikap maupun perilaku.
Bagi masyarakat Jepang, cara hidup Budo tercermin dalam aktivitas keseharian, baik dalam keadaan berbaring, duduk, berdiri, atau melakukan suatu perbuatan.
Demikian halnya dalam tradisi kungfu, yang lekat dengan ajaran Taoisme. Filosofi kungfu menekankan pada keharmonisan, keseimbangan dimensi internal maupun eksternal manusia.
Aspek internal mencakup keselarasan antara pikiran, jiwa, dan tubuh. Adapun aspek eksternal mengandung makna bahwa seorang manusia harus membangun harmoni dengan manusia lainnya serta alam raya ini.
Seni Bela Diri dan Sikap Mental Tidak Menyerah
Singkat cerita, di bawah bimbingan Mr. Han dan Daniel LaRusso, Li Fong tidak hanya semakin terampil dalam ilmu bela diri, tetapi juga kian matang dalam merespon hal-hal negatif di sekitar dirinya. Li berhasil mengalahkan Conor, tetapi hal itu bukan satu-satunya kemenangan yang ia raih.
Li juga berhasil mengalahkan keraguan, menepis kekhawatiran ibundanya, dan meraih kepercayaan orang-orang di sekelilingnya.
Li mampu membuktikan bahwa ilmu bela diri bukanlah olah fisik semata tanpa olah mental. Li menunjukkan nilai esensial tersebut ketika mengakhiri pertarungannya dengan Conor melalui cara yang elegan penuh persahabatan.
Dalam perspektif psikologi, mental manusia secara alami akan bereaksi ketika menghadapi masalah.
Manusia akan menimbang untuk mengambil keputusan di antara dua bentuk pertahanan diri, hadapi atau lari dari masalah. Dalam banyak hal, menghindar dari masalah bukanlah keputusan terbaik karena sumber masalah akan tetap ada. Mencoba menyelesaikan masalah hingga tuntas menandakan bahwa orang tersebut memiliki kesiapan mental untuk berjuang dan tidak kenal menyerah.
Karate Kid: Legends, mengandung pesan bahwa ilmu bela diri pada dasarnya bertujuan untuk membentuk karakter manusia agar menjadi lebih baik. Ilmu bela diri tidak untuk menyakiti atau merusak melainkan digunakan untuk menjaga martabat kemanusiaan itu sendiri.
Spirit kebaikan sebagai intisari ilmu bela diri, berlaku abadi sepanjang masa. Penokohan seperti Mr. Han, Daniel LaRusso, dan Li Fong, setidaknya mewakili semangat zamannya masing-masing. Wejangan yang melintas dari generasi ke generasi, mengalir dalam alunan nafas dinamika kehidupan manusia, sejak dulu hingga hari ini.














Salam Karateka ossh