Out of The Blue
Apa itu Kanban? Mungkin pembaca penasaran. Rasa penasaran yang sama juga saya alami saat pertama kali membaca kata itu di Twitter. Pada suatu dini hari, di tanggal 29 Mei 2020, tiba-tiba, out of the blue, kata itu muncul di twit Professor Raul Pacheco-Vega, salah seorang akademisi prominen yang saya follow. Curiosity menuntun saya ke buku-buku dan artikel tentang Kanban.
Sejak itu, sebagai seorang perencana, saya terobsesi mengenai penerapan filosofi Kanban, dalam manajemen kinerja sektor publik di Indonesia, agar pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan menjadi lebih mudah dan optimal.
Kanban, secara harfiah berarti kartu atau sign board, adalah instruksi yang dibungkus dengan plastik bening yang mengomunikasikan informasi ringkas mengenai parts yang dibutuhkan di jalur perakitan mobil Toyota.
Dikembangkan oleh Taiichi Ohno, Kanban merupakan salah satu elemen penting yang menjaga sistem produksi Toyota berjalan lancar. Kanban menjadi sebuah kontrol visual untuk menahan atau mencegah produksi parts yang berlebihan. Untuk mengetahui bagaimana kanban berfungsi, kita perlu memahami filosofi sistem produksi Toyota.
Sistem Produksi Toyota: Just-in-time dan Jidoka
Perbedaan mendasar sistem produksi Toyota, dengan sistem produksi massal Eropa dan Amerika, adalah bahwa Toyota memproduksi banyak model dalam jumlah yang sedikit untuk mengakomodasi preferensi konsumen akan keragaman produk.
Agar mampu bersaing dengan industri otomotif Eropa dan Amerika Serikat, basis dari sistem produksi Toyota adalah penghapusan pemborosan secara total pada proses dan aktivitas produksi. Untuk mendukung sistem produksi tersebut dua pilar yang dibutuhkan adalah just-in-time, dan autonomation atau jidoka dalam Bahasa Jepang.
Pilar pertama, just-in-time, pada dasarnya, adalah menghasilkan produk yang diperlukan, dalam jumlah yang diperlukan, dan pada waktu yang diperlukan. Dalam produksi mobil, material diproses oleh mesin menjadi suku cadang. Suku cadang tersebut kemudian dirakit dengan suku cadang yang lain menjadi unit. Proses ini lalu mengalir menuju jalur perakitan akhir.
Dalam sistem kendali produksi biasa, yang menganut push system, proses pembuatan suku cadang serta jalur perakitan akhir mengikuti jadwalnya masing-masing, dengan metode proses sebelumnya menyuplai ke proses berikutnya hingga perakitan akhir.
Berbeda dengan sistem kendali produksi konvensional, just-in-time menganut pull system. Karena hanya jalur perakitan akhirlah yang dapat secara akurat mengetahui waktu dan jumlah komponen yang diperlukan, maka jalur perakitan akhir meminta ke proses produksi untuk mendapatkan suku cadang yang diperlukan, dalam jumlah yang diperlukan, dan pada saat diperlukan, yang akan dirakit menjadi sebuah mobil.
Jidoka: Autonomation, Automation with a Human Mind
Pilar kedua dalam sistem produksi Toyota, jidoka, berarti kontrol otomatis terhadap kerusakan. Berbeda dengan jidoka biasa yang setara dengan “automation”, jidoka Toyota adalah “Ninben-no-aru” jidoka atau “automation with a human mind”, automasi dengan sentuhan kecerdasan manusia, yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan menjadi autonomation.
Jidoka mentransfer kecerdasan manusia ke mesin. Jidoka mencegah memproduksi barang yang cacat, menghindari produksi berlebih, dan secara otomatis menghentikan anomali pada jalur produksi agar situasi dapat diinvestigasi.
Jidoka diadopsi dari mesin tenun ciptaan Sakichi Toyoda, yang secara otomatis berhenti jika benang vertikal atau lateral putus, atau habis, supaya tidak membuang bahan atau waktu, serta untuk menghindari kerusakan pada kain. Jidoka menjadi salah satu alat kontrol kualitas utama sistem produksi Toyota.
Kembali soal just-in-time dan Jidoka, Kanban adalah alat yang mengoperasikan kedua pilar tersebut. Kanban merupakan sistem informasi yang mengontrol volume dan waktu produksi, berisi indikator dan instruksi produksi harian, yang secara efektif menghubungkan dan menyinkronkan setiap tautan dalam rantai just-in-time.
Kanban Utama: Pengambilan dan Produksi
Semua proses produksi suku cadang dan jalur supplier diatur oleh Kanban. Kanban berfungsi untuk menyampaikan informasi tentang pengambilan atau penerimaan pesanan produksi.
Terdapat dua jenis Kanban utama: Kanban pengambilan dan Kanban produksi. Kanban pengambilan menunjukkan jumlah barang yang harus diambil oleh proses akhir dari proses sebelumnya. Kanban produksi, atau in-process Kanban, menunjukkan jenis barang apa yang harus diproduksi pada proses sebelumnya, beserta jumlahnya.
Misalnya, jalur perakitan akan membuat produk model A. Maka, pekerja membawa satu set Kanban pengambilan, ke parts store, untuk mengambil sejumlah suku cadang yang diperlukan. Ia lalu menukar kanban pengambilan dengan kotak-kotak sesuai suku cadang dan jumlah yang ditunjukkan oleh kanban pengambilan.
Kemudian ia melepas kanban produksi yang terdapat pada kotak-kotak suku cadang yang diambil, menyerahkan ke pos penerimaan kanban di parts store, lalu kembali ke jalur perakitan dengan kotak-kotak suku cadang yang akan dirakit.
Kanban produksi yang diserahkan tersebut menjadi order produksi untuk jalur permesinan, karena menunjukkan suku cadang yang perlu dipasok kembali. Kenyataannya, tentu saja, tidak sesederhana ini.
Jalur permesinan di pabrik yang sebenarnya secara konstan menerima pesanan pasokan, berupa kanban produksi, untuk berbagai jenis suku cadang. Namun demikian, hal ini tidak menimbulkan kebingungan karena mereka hanya merespons pesanan sesuai kanban produksi yang diterima.
Selain just-in-time, jidoka, dan kanban, terdapat pula konsep kaizen: perbaikan yang dilakukan secara terus menerus, dan baka-yoke: pencegahan dini terhadap kesalahan.
Kaizen, atau “5S”: Seiri, Seiton, Seison, Seiketsu, dan Shitsuke, adalah metode mengurangi organizational slack, agar dapat menyediakan produk yang diinginkan konsumen dalam kualitas yang baik, dengan biaya rendah, cepat, dan aman. Baka-yoke merupakan suatu mekanisme mencegah pekerjaan yang cacat dengan menyematkan berbagai perangkat inspeksi pada alat dan instrument.
Untuk mendalami lebih lanjut, pembaca dapat memperoleh penjelasan firsthand dari Taiichi Ohno dalam bukunya Toyota Production System: Beyond Large-Scale Production, atau buku Shigeo Shingo, Takahiro Fujimoto, atau Yasuhiro Monden.
Penjelasan secara lebih ringkas juga dapat dibaca di artikel jurnal yang ditulis oleh Yutaka Sugimori, Kaneyoshi Kusunoki, Fujio Cho, dan Susumu Uchikawa. Sistem Produksi Toyota, dengan filosofi dasar perbaikan secara terus-menerus, menjadi salah satu kisah sukses terbesar sebuah perusahaan.
Lean Production
Sekalipun merupakan kisah sukses besar, Sistem Produksi Toyota luput dari perhatian dunia. Setelah krisis minyak, tahun 1973 dan 1979, yang memicu minat untuk meneliti masa depan industri otomotif, serta menelaah fenomena peningkatan impor kendaraan penumpang dari Jepang yang mulai mengancam produsen dalam negeri, menjadi titik awal International Motor Vehicle Program (IMVP), policy fora di Massachusetts Institute of Technology (MIT), mempelajari keunggulan kompetitif Sistem Produksi Toyota.
Untuk menyebut Sistem Produksi Toyota, John F. Krafcik, peneliti IMVP, memperkenalkan frasa “lean production”, karena menggunakan lebih sedikit segala sesuatu dibandingkan dengan sistem produksi massal: setengah tenaga manusia, setengah ruang manufaktur, setengah investasi alat, serta setengah waktu rekayasa untuk mengembangkan produk baru.
Lean production dan Sistem Produksi Toyota menjadi populer setelah James P. Womack, Daniel T. Jones dan Daniel Roos, pada tahun 1990, menerbitkan buku The Machine That Changed the World, sebagai hasil dari studi benchmarking IMVP yang paling komprehensif, untuk memahami perbedaan dalam kualitas dan produktivitas, terhadap perakitan mobil di seluruh dunia.
The Machine meraih penghargaan ‘Business Book of the Year’ tahun 1990 dari Financial Times, dan pada akhir 2005 telah terjual lebih dari enam ratus ribu copy dalam sebelas bahasa.
The Machine memandang Sistem Produksi Toyota sebagai elemen operasi dari sistem manajemen total Toyota, dan menghubungkannya dengan proses pengembangan produk, proses manajemen supplier, proses manajemen konsumen, dan proses fokus kebijakan untuk seluruh perusahaan. Lean production adalah perpaduan dari keseluruhan komponen tersebut.
Diadopsi Berbagai Sektor
Dari industri otomotif, paradigma lean production diadaptasi dan diadopsi oleh berbagai sektor, baik manufaktur maupun jasa, volume tinggi maupun rendah. Lean kemudian berkembang, dari sekadar fokus pada pemborosan dan pengurangan biaya di lantai produksi, menjadi lean thinking.
Lean thinking adalah pendekatan yang secara menyeluruh berusaha meningkatkan value untuk konsumen dengan menambahkan fitur produk atau layanan dan menghilangkan aktivitas yang tidak perlu. Reviu terhadap perkembangan lean thinking kontemporer dapat dibaca di artikel Peter Hines, Matthias Holweg dan Nick Rich.
Upaya meningkatkan value bagi konsumen juga dilakukan oleh industri elektronik. Pada tahun 1980-an, William Bill Smith, seorang insinyur di Motorola, mengembangkan Six Sigma sebagai respons terhadap kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dan mengurangi cacat pada produk.
Dibangun dari filosofi, prinsip, dan metode Total Quality Management William Edwards Deming, Six Sigma mencari dan menghilangkan penyebab cacat atau kesalahan dalam proses bisnis dengan fokus pada output dari proses yang menurut konsumen penting.
Six Sigma, sebagaimana dijelaskan Bill Smith, adalah batas toleransi standar deviasi cacat produksi 3,4 parts per million, yang diadopsi oleh para desainer Motorola sejak tahun 1987, untuk menghasilkan 99,9997 persen produk yang dapat melalui seluruh proses tanpa touch-up.
Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan lima fase perbaikan proses: Define, Measure, Analyze, Improve, Control (DMAIC), berdasarkan langkah-langkah yang diperkenalkan oleh Deming: Plan, Do, Check, Act (PDCA).
Six Sigma berperan utama dalam peningkatan kualitas produk Motorola, sehingga, pada puncaknya, meraih Baldrige National Quality Award pada tahun 1988. Titik balik nyata dalam popularitas Six Sigma datang melalui Jack Welch, CEO General Electric (GE) saat itu, di tahun 1995.
Mengamati sukses yang dialami Motorola, dengan pendekatan Bill Smith, Welch secara intens memperjuangkan dan memimpin metodologi Six Sigma di GE. Welch mentransformasi dan melipatgandakan nilai kapitalisasi pasar GE dari sebesar $14 miliar menjadi lebih dari $400 miliar, dan menjadikan GE perusahaan paling berharga kedua di dunia setelah Microsoft.
Majalah Fortune memberikan gelar “The Ultimate Manager” dan menobatkan Welch sebagai “Manager of the Century”. Sebelum pergantian ke abad-21, banyak perusahaan, baik besar maupun kecil, telah menerapkan strategi dan metodologi Six Sigma.
Sejalan dengan pergantian ke abad-21, karena riset dan aplikasi praktis membuktikan keterbatasan masing-masing, mengemuka gagasan untuk mengintegrasikan Lean dengan Six Sigma untuk menghasilkan pendekatan terbaik dari keduanya.
LSS dalam Manajemen Kinerja Sektor Publik
Barbara Wheat, Chuck Mills, dan Mike Carnell, Michael L. George, serta Edward D. Arnheiter dan John Maleyeff adalah beberapa yang memprakarsai Lean Six Sigma (LSS), untuk mengoptimalkan kinerja organisasi. LSS kemudian banyak digunakan di seluruh dunia.
Sebagian besar penerapan LSS dalam literatur memang di sektor swasta, terutama di industri manufaktur, dan biasanya di perusahaan besar. Namun demikian, dilihat dari process improvement dan service supply chain management, penerapan LSS sebenarnya telah dimulai sejak inisiatif New Public Management. Christopher Hood bahkan mengategorikan manajemen publik yang “lean and purposeful” sebagai Sigma-type values.
Sejarah dan perjalanan LSS dalam manajemen kinerja sektor publik dapat diikuti di artikel Bryan Rodgers, Jiju Antony, Rick Edgeman dan Elizabeth A. Cudney. Kisah sukses penerapan LSS, di sektor publik, dapat dibaca di sini.
Bagaimana dengan Kanban? Kanban menjadi metode workflow management yang lazim digunakan oleh teknologi informasi, pengembangan software, R&D, dan sebagainya. Kanban populer untuk mengelola workload individu atau tim, seperti konteks twit Professor Raul. Reviu, klasifikasi, dan analisis komprehensif mengenai variasi Kanban dapat dibaca di artikel Muris Lage Junior dan Moacir Godinho Filho.
Sebagai penghujung ulasan tentang Kanban pada bagian ini, mungkin para pembaca bertanya-tanya. Mengapa, sebagai seorang perencana, saya terobsesi mengenai penerapan filosofi Kanban dalam pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan, dapat disimak di Bagian Kedua (Kanban dan Pengendalian – Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Bagian Kedua) – Birokrat Menulis).
Perencana Ahli Muda di Bappeda Provinsi Banten. Seorang lifelong learner, yang mengikuti semboyan Albert Einstein: “I have no special talent. I am only passionately curious”.
mantap, ini bisa diambil sistem kanban pada sebuah perencanaan/ kartu kendali perencanaan, sehingga target visi misi kepala daerah dapat terukur dan tidak terjadi duplikasi output/oucome program -kegiatan maupun sub kegiatan pada opd
mantap artikelnya mas Mochammad, terbayang puluhan tahun yang lalu saya pernah membaca artikel tentang teori kanban atau JIT tersebut. memang teori ini cock di bidang manufaktur mencoba mengefesienkan pola kerja dengan meminimalisir ruang kerja terutama bahan dan gudang persediaan.
Namun menurut pendapat saya yang fakir, kunci utamanya untuk menerapkan diorganisasi adalah perencanaan yang matang dengan mengumpulkan dan menganalisis berbagai data masukkan termasuk data berkaitan dengan risiko. hal kedua monitoring yang kuat dalam mengontrol kegiatan. Perubahan terjadi sudah sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan.
Kelemahan dari teori ini adalah kelemahan data untuk mengantisipasi risiko dan adanya perubahan kegiatan yang mendadak, semikain tinggi ketidakpastian maka teori ini menjadi tidak efisien karena setiap perubahan akan mengulang atau merevisi perencanaan kembali. Itu saja komen dari saya yang fakir.