Pada Bagian Kedua (Kanban dan Pengendalian – Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Bagian Kedua) – Birokrat Menulis) dikisahkan bahwa hasil evaluasi pelaksanaan rencana merupakan awal tahapan perencanaan pembangunan, tetapi justru merupakan bagian yang paling pelik. The tip of the iceberg dari kesulitan melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana adalah pengelolaan data dan informasi.
Namun, menurut saya, hal itu lebih disebabkan oleh adopsi LogFrame yang tidak utuh, sehingga menyebabkan the deadly sins in public administration. Karena itulah, sebagai perencana, saya terobsesi menerapkan filosofi Kanban.
Alur Hierarki dan Komunikasi Visual
Saya tidak naif, terobsesi menerapkan Sistem Produksi Toyota secara utuh. Ohno saja, dalam karakter dan budaya Jepang, perlu waktu lebih dari 30 tahun untuk itu. Pun menerapkan Lean Six Sigma, yang relatif baru, melalui penghapusan non-added value untuk menuju 3,4 cacat per sejuta peluang, di birokrasi, terdengar seperti mission impossible.
Karena tugas-tugas dalam pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana, termasuk pengendalian dan evaluasi pembangunan, sebagaimana amanat Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang SPPN, serta Pasal 91 ayat (4) huruf a, Pasal 275 huruf c, Pasal 276 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Pemerintahan Daerah, lebih realistis untuk menerapkan Kanban.
Menggunakan analogi jalur perakitan mobil Toyota, maka yang berada di fase perakitan akhir adalah perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan perencanaan pembangunan, yaitu Bappeda.
Bappeda lah yang mengendalikan indikator kinerja apa yang akan dicapai, kapan, dan berapa targetnya. Dengan Kanban, Bappeda meminta komponen penyusun indikator tersebut kepada perangkat daerah sesuai urusan pemerintahan yang diselenggarakan.
Mengikuti alur hierarki, perangkat daerah lalu meminta kepada unit dan sub-unitnya. Setelah penyederhanaan birokrasi, maka proses mencapai target kinerja, sebagaimana yang diterapkan dalam sistem produksi Toyota, kelak akan lebih banyak dilakukan oleh teamwork dibandingkan dengan struktur hierarki.
KemenPAN-RB telah menerbitkan peraturan mengenai Sistem Manajemen Kinerja dalam skenario ini. Misalnya, suatu daerah mentargetkan IPM 73,00. Maka Bappeda meminta Dinas Pendidikan untuk menghasilkan RLS minimal 9,03 tahun serta HLS minimal 13,14 tahun.
Dinas Kesehatan diminta menghasilkan AHH minimal 71,48 tahun, dan Bagian atau Biro Perekonomian merumuskan kebijakan untuk menjaga pengeluaran per kapita masyarakat minimal pada level Rp. 11,255 juta rupiah.
Untuk menghasilkan RLS dan HLS tersebut, dalam menyelenggarakan Sistem Pendidikan Nasional serta memenuhi Standar Pelayanan Minimal sesuai dengan kewenangannya, Dinas Pendidikan, setelah memetakan permasalahan mengenai pemenuhan Standar Nasional Pendidikan, memproduksi komponen yang diperlukan, dalam jumlah yang diperlukan.
Memperhatikan standar teknis yang ditentukan, maka bidang dan seksi di Dinas Pendidikan, sesuai tugas dan fungsinya, kemudian memenuhi jumlah dan kualitas Pendidik dan Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana, perlengkapan dasar, serta pembiayaan Pendidikan, sesuai kebutuhan peserta didik.
Demikian seterusnya. Untuk setiap indikator, menggunakan pull system, setiap perangkat daerah kemudian meminta kepada unitnya, secara berjenjang, hingga ke level individu, untuk memproduksi komponen penyusun yang diperlukan. Semua indikator tersebut, tentu saja, harus telah dituangkan ke dalam dokumen perencanaan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat perangkat daerah.
Bukankah Selama ini Memang Sudah Seperti itu?
Benar. Peraturan perundangan, misalnya tentang SAKIP, penyusunan rencana pembangunan, maupun penyusunan perjanjian kinerja, memang telah mengatur penjabaran tujuan-tujuan besar ke dalam sasaran-sasaran strategis yang lebih rinci, dan kemudian dijabarkan lagi ke sasaran-sasaran antara yang lebih spesifik.
Di Toyota, penjabaran ini disebut hoshin kanri. Sedangkan di kita, disebut cascading. Pada praktiknya, dalam perencanaan kinerja, masih banyak daerah yang belum melakukan cascading hingga ke level individu dengan optimal, sehingga berimbas pada penggunaan anggaran yang tidak efektif dan tidak efisien dibanding capaian kinerjanya.
Di daerah tempat saya bekerja, misalnya, penyempurnaan cascading kinerja menjadi rekomendasi hasil evaluasi implementasi SAKIP selama tiga tahun berturut-turut, sejak tahun 2018. Penjabaran kinerja yang disusun, menurut KemenPAN-RB, belum seluruhnya memenuhi prinsip logis yang menggambarkan hubungan sebab akibat serta belum menggambarkan pemecahan masalah sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Secara spesifik, rekomendasi yang diberikan, pada evaluasi tahun 2020, adalah untuk melakukan reviu dokumen perencanaan secara keseluruhan guna memastikan kualitas sasaran strategis, kualitas indikator kinerja, keterpaduan perencanaan, serta penjabaran kinerja yang tepat, dengan mengacu pada kerangka logis yang telah disusun sampai ke level individu.
Cascading dan Logic Model yang Belum Maksimal
Rekomendasi tersebut, selain mengklarifikasi cascading yang belum maksimal, juga mengonfirmasi penerapan logic model yang belum optimal. *Cascading* perlu analisis program logic yang rasional, sekaligus memvalidasi analisis permasalahan dalam perencanaan kinerja yang belum saksama.
Kerangka regulasi telah mengatur secara inklusif. Namun, pada pelaksanaannya, perencanaan, penganggaran dan pencapaian kinerja masih belum sebagaimana diharapkan.
Kualitas perencanaan dan penganggaran yang baik, selain diukur dari hasil evaluasi implementasi SAKIP, tercermin pula dari Penghargaan Pembangunan Daerah, yang nominatornya cenderung ajek. Dengan demikian, hakikatnya, masih banyak daerah yang kualitas perencanaan, penganggaran, dan capaian kinerja pembangunannya memang belum optimal.
Mengenai pencapaian kinerja, seorang teman di tempat saya bekerja, pengawas, memasang indikator dan target kinerja perangkat daerah mitranya, yang diambil dari RPJMD, di balik kaca meja kerja. Ini merupakan inisiatif yang baik untuk menjaga awareness terhadap manajemen kinerja di lingkup tupoksinya.
Namun demikian, untuk pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan, itu belum cukup. Guna memperbaiki perencanaan kinerja, sekaligus memudahkan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan, perlu alat bantu komunikasi visual seperti Kanban.
Mengapa? Karena Kanban Memvisualisasikan dengan Baik
Alasan subyektifnya, mungkin, karena saya adalah seorang *visual learner* yang lebih mudah menyerap informasi visual. Meskipun manusia belajar melalui panca indra, persentase terbesar dari apa yang diserap, sekitar 75%, menurut estimasi John S. Oakland, adalah melalui indra penglihatan.
Dengan demikian, komunikasi visual memang jauh lebih baik daripada kata-kata dalam menangkap dan menyampaikan makna kontekstual serta emosional. Bentuk komunikasi visual, berupa penggunaan simbol warna, memang telah digunakan dalam manajemen kinerja kita.
Misalnya dalam penilaian program dan kegiatan reformasi birokrasi, maupun dalam evaluasi implementasi SAKIP. Namun, ini tidak cukup. Kode warna tidak menunjukkan bottleneck, sekuens, variabilitas, dan pemborosan, yang berimbas pada kinerja organisasi. Inilah argumentasi obyektif perlunya Kanban.
Kanban selangkah lebih jauh dengan memberikan visualisasi proses serta alur kerja. Visualisasi ini memungkinkan pengambilan keputusan berdasarkan informasi tentang proses, status pekerjaan, dan cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pencapaian kinerja.
Kanban menunjukkan proses mana yang ada di urutan teratas daftar prioritas, sedang berlangsung, atau sudah selesai. Contoh visualisasi proses kerja dengan papan Kanban digital dapat dilihat di sini.
Kanban memvisualisasikan masalah apa yang harus dipecahkan. Namun, melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah lah yang membuat perbedaan. Ini merupakan argumentasi obyektif lainnya tentang perlunya Kanban.
Kanban dan Theory of Constraints
Kanban membantu fokus pada prioritas dengan membatasi Work-in-Progress (WIP). Ini membantu memecahkan permasalahan, yang mengakibatkan the deadly sins in public administration, sebagaimana dikisahkan di Bagian Kedua.
Di daerah, keengganan untuk fokus pada prioritas tercermin dari rencana kerja dan pendanaan Perangkat Daerah dalam rancangan awal Renja Perangkat Daerah yang selalu melebihi kerangka pendanaan dalam RPJMD maupun Renstra.
Perangkat daerah belum fokus menyusun rencana kerja berdasarkan skala prioritas untuk mencapai RPJMD, Renstra, atau SPM, karena belum mampu mengklasifikasikan komponen utama dan pendukung untuk mengimplementasikan Kerangka pendanaan jangka menengah secara optimal.
Kerangka pendanaan tersebut, tentu saja, merupakan indikasi, dan bersifat tidak kaku, namun merupakan salah satu obyek pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJMD.
WIP adalah jumlah butir tugas yang sedang dikerjakan. WIP dapat ditentukan per orang, per tahap atau jenis pekerjaan, atau untuk keseluruhan sistem kerja. Penerapan Kanban untuk WIP per orang, tim, maupun untuk keseluruhan sistem kerja, dapat dibaca di buku David Anderson dan Teodora Bozheva. Secara lebih ringkas, dapat dilihat di sini.
Membatasi WIP memungkinkan pengelolaan proses untuk menciptakan alur kerja yang lancar dan mencegah kelebihan beban pekerjaan, dengan berkonsentrasi pada penyelesaian tugas saat ini sebelum memulai yang baru.
Dengan membatasi WIP, tim dapat fokus pada bagaimana mencapai Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan menghilangkan aktivitas tidak perlu, yang tidak memberikan added value, atau seiri dalam kaizen.
Menghilangkan aktivitas yang tidak perlu guna menangani bottleneck menekankan pentingnya melihat sistem secara keseluruhan untuk menemukan kendala yang menghambat throughput, yaitu waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kinerja, dan memfokuskan upaya yang memberikan value terbesar bagi konsumen.
Dengan demikian, Kanban membantu pemahaman terhadap theory of constraints. Pemahaman terhadap theory of constraints membantu perangkat daerah untuk tetap fokus pada pencapaian sasaran strategis ketika dihadapkan pada keterbatasan sumber daya, dengan mengoptimalkannya secara efisien untuk memaksimalkan kapasitas.
Kanban: Katalis bagi Lean Thinking
Dalam mengidentifikasi penyebab bottleneck, untuk dapat melakukan perbaikan aktual, diperlukan analisis situasi, guna pemahaman mendalam tentang masalah. Melalui visualisasi proses dan alur kerja, membatasi WIP, mengatur flow dan menghapus seiri untuk mengatasi bottleneck yang menghambat throughput, kita dapat melihat apa yang sedang terjadi.
Dengan melihat apa yang sedang terjadi memberikan kita pandangan yang koheren tentang progress suatu kegiatan. Karena itulah, Kanban dapat memudahkan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan.
Untuk dapat fokus pada pencapaian IKU, serta memberikan value terbesar bagi konsumen, dengan cara yang efisien, perlu analisis situasi dan penerapan logic model yang baik, sehingga Kanban dapat membantu perbaikan perencanaan dan penganggaran kinerja.
Pun, Kanban dapat menjadi katalis yang baik bagi lean thinking, untuk fokus pada menghasilkan apa yang memang benar-benar diperlukan konsumen. Ini sejalan dengan konsep *value for money* yang merupakan nyawa anggaran berbasis kinerja.
Ide Kanban diadopsi Ohno dari supermarket di AS, di mana konsumen mendapatkan apa yang dibutuhkan, pada saat dibutuhkan, dan dalam jumlah yang dibutuhkan. Selain memudahkan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan, serta perbaikan perencanaan dan penganggaran kinerja, Kanban juga dapat membantu pelaksanaan tugas birokasi untuk memastikan program benefits delivered.
Untuk itu, pada fase awal, Kanban dapat diadopsi oleh Bappeda dalam rangka pengendalian pencapaian kinerja. IKU dapat diawasi oleh bidang yang menyelenggarakan perencanaan strategis, sedangkan indikator kinerja outcome oleh para administrator sesuai mitra.
Indikator kinerja input, aktivitas, maupun output, dapat diampu oleh para pengawas. Penerapan aplikasi Kanban untuk administrasi dan manajemen proyek skala besar dapat dilihat di sini. Kanban, secara bertahap, dapat diterapkan di setiap perangkat daerah dan diintegrasikan dengan sistem penilaian kinerja hingga level individu.
Meskipun tidak mempraktikkan Sistem Produksi Toyota secara utuh, menerapkan Kanban memerlukan pemahaman filosofi dan set-up prasyarat: desain bisnis proses yang baik, standar operasi, dan cascading kinerja.
Mission Accomplished!
Dengan Kanban, harapannya, target-target kinerja pembangunan dapat terwujud just-in-time. Sehingga pada saat pasangan kepala daerah, yang terpilih berdasarkan public choice theory, akan mengakhiri masa jabatannya. Setidaknya, mereka bisa dengan pasti mengucapkan: “Mission accomplished!”, untuk menyatakan bahwa janji-janji kampanye telah tercapai.
Sebagaimana Ohno menyimpulkan, bahwa usaha, kreativitas, dan kekuatan pegawainya lah yang memungkinkan Toyota mempraktikkan metode yang akhirnya menjadi Sistem Produksi Toyota. Artikel ini hanyalah pemantik curiosity untuk membangkitkan usaha, kreativitas, dan kekuatan dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Semoga.
Perencana Ahli Muda di Bappeda Provinsi Banten. Seorang lifelong learner, yang mengikuti semboyan Albert Einstein: “I have no special talent. I am only passionately curious”.
Ide yang sangat brilian bapak.
Mohon ijin sedikit berbagi. Dalam perencanaan, selain masalah perumusan logframe yang tidak sempurna tadi, seringkali perangkat daerah tidak mampu mengidentifikasi permasalahan dan menganalisis permasalahannya sendiri pada saat mengisi Kerta Kerja Perumusan Masalah. Biasanya terdapat 2 kasus, pertama perangkat daerah/unit kerja tidak mampu mengidentifikasi permasalahan yang mereka hadapi, dan kedua, permasalahan yang dimunculkan selalu sama pada setiap periode perencanaan. Yang pertama tentu akan sulit merumuskan sasaran kinerja dalam kerangka logframe, sedangkan yang kedua, justru menunjukkan bahwa apa yang dilakukan selama ini, termasuk uang yang sudah dibelanjakan, gagal mengatasi persoalan yang ada.
Jadi selain penggunaan logframe yang tidak sempurna, kemampuan evaluasi unit-unit kerja juga berada pada titik yang kurang menggembirakan.
Terima kasih, salam.