Prolog
Ternyata Indonesia juga dikenal sebagai negeri Mie Instan. Tidak percaya? Data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Mie Instan Dunia atau World Instant Noodles Association (WINA) menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua negara dengan konsumsi mie instan tertinggi di dunia yaitu sebanyak 13,2 milyar bungkus mie instan pada 2015. Tiongkok berada di urutan pertama dunia negara dengan konsumsi mie mencapai 40,34 milyar bungkus mie. Luar biasa!
Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 260 juta orang (data Mei 2016 menurut worldometers.info), maka setiap orang Indonesia rata-rata mengonsumsi 51 sajian mie instan setahun.
Seperti dikutip dari Indonesia Investment, Kepala Asosiasi Produsen Roti, Biskuit, dan Mie Instan (Aromi), Sribugo Suratmo menyatakan bahwa mie instan sudah menjadi lauk bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya sekedar sebagai snack. Selain kemudahan dalam memasak, harga yang murah, dan rasa yang sesuai selera masyarakat, rasa yang semakin beragam juga menjadi faktor utama tingginya konsumsi terhadap mie instan.
Lantas, apa hubungannya dengan Pemimpin Instan? Regulasi yang berlaku saat ini memungkinkan setiap warga negara Indonesia dapat maju dan mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri, baik di eksekutif seperti bupati, walikota, gubernur, bahkan Presiden sekalipun, maupun di legislatif sebagai anggota DPRD, DPR, dan DPD RI.
Tanpa harus melalui rekrutmen kaderisasi partai politik, asal bisa mendekati partai politik, diusung oleh partai politik, dan didukung dengan kemampuan keuangan, maka jadilah! Kemudian, lahirlah pemimpin-pemimpin instan (Pemimpin Ujug-Ujug) seperti pernah disampaikan oleh Gubenur DKI Djarot Saiful Hidayat:
“Jadi pemimpin itu enggak bisa ujug-ujug begitu loh ya, harus ada proses dari bawah. Jangan sampai karbitan. Kalau karbitan, buah karbitan (saja) cepat busuk, asam,” kata Djarot di Ciracas, Jakarta Timur, Senin (16/1/2017).
Menurut Djarot Saiful Hidayat, diperlukan banyak pengalaman untuk menjadi pemimpin. Dengan kata lain, pemimpin tak bisa tiba-tiba muncul tanpa adanya proses pembelajaran.
Diakuinya bahwa politik mie instan, yaitu politik yang menawarkan rekrutmen terbuka bagi setiap orang untuk diusung menjadi calon kepala daerah dan/atau calon legislatif tanpa melalui kaderisasi partai politik sudah menjadi trend.
Faktor kedekatan, kekerabatan, dan kekuatan modal (baca: uang) menjadi bagian dari penentuan pengusungan partai politik dalam perhelatan pemilu dan/atau pilkada. Setelah yang bersangkutan menjadi kepala daerah atau anggota legislatif baru dinyatakan sebagai kader, bukan hasil kaderisasi partai politik yang berdarah-darah atau berkeringat untuk memperjuangkan ideologi partai politik dari bawah.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam setahun ini sangat mengejutkan masyarakat Indonesia. Dalam waktu tiga bulan saja lima kepala daerah terjaring OTT KPK: Bupati Pamekasan, Walikota Tegal, Bupati Batubara, Walikota Batu, dan terakhir Walikota Cilegon. Siapa yang salah? Apanya yang salah?
Masyarakat langsung menuding sistem rekrutmen dalam partai politik yang salah karena partai politiklah yang melahirkan pemimpin-pemimpin tersebut. Apa benar partai politik yang salah? Bagaimana dengan rakyat yang memilihnya?
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kurang setuju dengan pandangan seperti itu. Dia tak mau menyalahkan partai politik atas banyaknya kepala daerah yang terjaring OTT KPK. Menurut dia, sistem perekrutan calon kepala daerah melalui partai sudah baik.
“Calon kepala daerah yang didukung partai (sudah) lewat rekrutmen yang tepat. Ada psikotesnya, diklat kadernya, penguatan wawasan ideologinya, diklat kepala daerah juga ada,” terang Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/9/2017).
Kaderisasi Pemimpin
Kaderisasi idealnya dimulai sejak muda atau sedini mungkin. Harus dimulai dari ikut aktif dalam partai politik selama kurun waktu tertentu, sebisa mungkin dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga nasional. Hal ini tentunya akan menciptakan kader partai yang memiliki kematangan, kemahiran politik, dan militan.
Sistem kaderisasi pemimpin perlu diubah dengan melakukan reformasi regulasi terhadap rekrutmen pemimpin-pemimpin nasional negeri ini. Jiwa besar dari pemimpin negeri dan para politikus untuk mereformasi kondisi ini diperlukan agar tidak terlahir pemimpin ujug-ujug atau pemimpin instan. Regulasi pentahapan seseorang untuk dapat dicalonkan sebagai kepala daerah atau anggota legislatif di setiap jenjangnya sangat diperlukan.
Contoh, untuk dapat dicalonkan sebagai bupati/walikota atau wakil bupati/wakil walikota, seseorang harus pernah menduduki jabatan dalam birokrasi atau pemerintahan dalam jangka waktu tertentu. Seperti pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota/Provinsi minimal satu periode, atau pernah menduduki minimal jabatan eselon II selama lima tahun.
Dan seterusnya hingga ke level pusat. Calon legislatif DPR RI harus pernah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi, atau kepala daerah selama satu periode, atau jabatan tinggi lainnya dalam birokrasi pemerintahan di tingkat pusat.
Untuk dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden tentunya lebih diperketat lagi syaratnya, seperti pernah menduduki jabatan gubernur dan/atau anggota DPR/DPD RI satu periode, menteri, atau jabatan tinggi lainnya dalam sistem pemerintahan di pusat.
Persyaratan sebagaimana diusulkan di atas diperlukan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki pengalaman dalam birokrasi pemerintahan sehingga mereka dapat dengan segera menyusun kebijakan-kebijakan strategis dalam masa jabatan yang singkat.
Bagaimana dengan warga negara dari sektor swasta atau profesional? Untuk menjaring calon pemimpin dari kalangan swasta/profesional, kita dapat belajar dari proses pemilihan Presiden Singapura.
Salah satu syaratnya adalah mereka pernah menjadi Chief Executive Officer (CEO) dari perusahaan bermodal minimal SGD 500 juta, atau sekitar 5 triliun rupiah. Penetapan modal minimum perusahaan yang pernah dipimpinnya diterapkan untuk mendapatkan calon yang benar-benar bisa memimpin dan mengelola negara.
Syarat minimal modal perusahaan tentunya bisa berbeda bila diterapkan untuk calon bupati/walikota dan gubernur. Atau, bisa juga ditambahkan dengan syarat sudah menjadi kader partai politik sekian tahun.
Perbaikan sistem rekrutmen pemimpin dapat dilakukan pula dengan sistem Konvensi Kepala Daerah atau Presiden ala Amerika Serikat. Dalam konvensi partai politik, semua elemen partai dari semua tingkatan memiliki hak sama. Hak petinggi partai akan sama dengan hak anggota biasa. Hak petinggi partai di jenjang lebih tinggi akan sama pula dengan petinggi partai di jenjang di bawahnya.
Posisi mereka sama-sama memiliki hak suara, tidak mengenal umur, senior-yunior, pimpinan atau anggota biasa. Tidak ada oligarki kelompok tertentu sehingga kandidat terpilih benar-benar mengakar dan memahami kebutuhan masyarakat bawah.
Keunggulan sistem ini adalah masyarakat dapat melihat integritas dan track record calon sehingga hanya calon yang memiliki integritas dan track record baik dipastikan akan terpilih.
Selain itu, keterlibatan masyarakat langsung dalam proses pemilihan calon kepala daerah atau presiden sebelum pemilihan umum yang diusung oleh partai politik memungkinkan para pemilih berperan aktif dalam mendukung dana, memberikan masukan, bahkan ikut serta membantu calon tersebut menyelesaikan persoalan yang ada. Pemilih atau para pendukung harus ikut bertanggungjawab agar calonnya lolos dan terpilih.
Pada 2004, Partai Golkar pernah melakukan terobosan dengan melakukan Konvensi Calon Presiden, melibatkan seluruh pengurus-pengurus di tingkat daerah untuk menentukan calon presiden terpilih. Tetapi proses baik ini tidak diteruskan menjadi sebuah kompetisi internal pada tahun 2009. Partai Golkar lebih memilih capres berdasarkan hasil survei.
Epilog
Pola rekrutmen pemimpin-pemimpin negeri ini diharapkan semakin baik agar tidak lahir pemimpin-pemimpin yang instan. Dengan rekrutmen yang baik, diharapkan memperoleh pemimpin dengan empat kriteria, yaitu: (1) Shidiq, yaitu jujur, benar dan sungguh-sungguh dalam bersikap, berucap, dan bertindak dalam melaksanakan tugasnya, (2) Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya dari orang-orang yang dipimpinnya, (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul, dan (4) Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi).
Kesimpulannya, negeri ini masih butuh mie instan tetapi bukan pemimpin yang instan. Semoga!
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan tempat penulis bekerja ataupun lembaga lain.
0 Comments