
Prolog: Kata yang Menggema di Ruang Digital
Di era modern saat ini, ketika informasi berlari lebih cepat daripada klarifikasi, komunikasi pejabat publik menjadi ujian yang tak kalah berat dibandingkan saat merumuskan kebijakan pemerintah itu sendiri.
Satu kalimat bisa berpindah dari ruang rapat spesifik, ke layar ponsel jutaan orang hanya dalam hitungan detik. Potongan video yang mungkin hanya berdurasi 15 detik mampu memicu perdebatan panjang, mengalahkan penjelasan resmi yang datang berjam-jam bahkan berhari-hari kemudian.
Agustus 2025 menjadi panggung bagi dua contoh nyata. Dua menteri menjadi sorotan karena pernyataan mereka dianggap kontroversial oleh warganet.
- Satu menyampaikan candaan tentang tanah, dan
- satu lagi menghadapi kritik tajam setelah pernyataannya soal gaji guru dan dosen dianggap tak sejalan dengan konstitusi.
Keduanya adalah kasus berbeda, namun memiliki benang merah: mereka mengilustrasikan jurang komunikasi antara pemerintah dan publik seperti yang dijelaskan dalam teori “The Traditional Gaps that Citizens Perceive When Assessing the Public Sector”.
Bahkan muncul sebuah idiom, pemerintah itu seperti datang dari mars, sedangkan masyarakat datang dari venus, seakan menggambarkan jarak berbedaan yang begitu jelas.
Dua Peristiwa, Satu Pelajaran
Suatu siang, seorang menteri berbicara di hadapan forum mengenai kepemilikan tanah. Ia mengutip prinsip hukum agraria bahwa semua tanah pada dasarnya milik negara, lalu menutupnya dengan candaan, “mbahmu bisa bikin tanah?”
Potongan kalimat ini segera lepas dari konteks aslinya. Di media sosial, ia tidak lagi terdengar sebagai penjelasan hukum, tetapi sebagai sindiran yang meremehkan hak rakyat. Candaan itu dianggap tak pantas di tengah persoalan serius seperti mafia tanah yang masih sering terjadi.
Beberapa hari sebelumnya, menteri lainnya sedang menjelaskan bahwa negara tidak secara langsung membayar gaji guru dan dosen, melainkan melalui mekanisme anggaran tertentu.
Bagi sebagian pendengar, ini adalah penjelasan fiskal yang biasa-biasa saja tidak ada yang istimewa. Namun di ruang publik, potongan kalimat itu diterjemahkan sebagai pengingkaran terhadap amanat konstitusi.
Publik tidak mendengar uraian teknis anggaran—yang terdengar justru kesan bahwa negara menghindar dari tanggung jawab, padahal isu tentang kesejahteraan para pendidik yang masih minum terus bergema.
Jurang Pertama: Kecepatan yang Tak Seimbang
Dalam literatur – public communication book, yang disusun oleh Canel dan Luoma-Aho, gap pertama adalah speed gap—perbedaan kecepatan antara birokrasi dan ekspektasi publik.
Masyarakat hidup di dunia “post-bureaucracy” yang serba instan, di mana mengajukan kartu kredit atau memesan barang bisa selesai dalam hitungan menit. Akibatnya, mereka berharap respons pemerintah serupa.
Sang menteri menghadapi publik yang sudah lama jenuh menunggu penyelesaian sengketa tanah. Ketika yang keluar justru candaan, muncul persepsi bahwa pemerintah tak gesit dan tak peka.
Pada menteri lainnya, publik menginginkan jawaban cepat dan tegas: “Bagaimana kesejahteraan guru dan dosen?” Namun, yang disampaikan adalah proses panjang penganggaran yang dianggap bukan jawaban.
Merujuk pada teori di atas, menekankan bahwa di era ini lambatnya respons bukan hanya soal waktu, tetapi soal psikologi penerima pesan. Semakin lama jarak antara pertanyaan dan jawaban yang memuaskan, semakin besar ruang bagi spekulasi dan misinformasi untuk berkembang.
Jurang Kedua: Privasi yang Semu
Jurang kedua adalah tentang batasan, batas antara komunikasi publik dan privat kian kabur. Dulu, pejabat bisa berbicara lepas di forum terbatas. Kini, semua bisa direkam dan dibagikan tanpa filter. Tidak ada lagi “pesan internal” yang aman dari konsumsi publik.
Celetukan sang menteri, yang mungkin dimaksudkan untuk audiens forum itu saja, tiba-tiba hilang batasannya lalu berubah menjadi milik jutaan pengguna media sosial. Penjelasan teknis menteri, yang awalnya mungkin ditujukan untuk pemangku kepentingan tertentu, tersebar luas tanpa konteks, memicu interpretasi bebas.
Dalam krisis, teori mengingatkan kita bahwa otoritas sering terikat aturan privasi yang membatasi apa yang bisa dibagikan, sementara publik dan media bebas mengekspresikan versi mereka.
Akibatnya, satu potongan pernyataan bisa dengan cepat menjadi “kebenaran” versi publik, sementara konteks resmi tersandera aturan atau prosedur yang berliku-liku.
Jurang Ketiga: Proses Melawan Jawaban
Pemerintah terbiasa menyusun pesan berdasarkan prosedur, regulasi, dan istilah teknis. Publik, sebaliknya, mengukur komunikasi dari kemampuannya menjawab pertanyaan pribadi mereka.
Pada kasus menteri 1, penjelasan legalistik soal status tanah tidak menjawab kekhawatiran sederhana: “Apakah tanah saya aman?” Pada menteri 2, detail mekanisme fiskal gagal menjawab inti kekhawatiran: “Apakah negara membayar gaji guru saya dengan memadai?”
Teori menunjukkan bahwa ketika jawaban langsung tidak tersedia, warga cenderung mencari di sumber informal—forum daring, media sosial—yang memberi jawaban tegas meskipun sering kali sudah terdistorsi dengan tambahan-tambahan bumbu informasi lain yang dikait-kaitkan. Disinilah muncul risiko persepsi yang sulit dilawan dengan data teknis.
Jurang Keempat: Konteks yang Hilang
Bagi pemerintah, sebuah kontroversi sering dilihat sebagai kejadian tunggal. Namun publik memandangnya sebagai bagian dari rangkaian kegagalan yang sudah terjadi sebelumnya.
- Candaan menteri 1 bukan lagi hanya dilihat sebagai satu momen saja; hal itu akan menempel pada memori publik tentang lemahnya penanganan sengketa tanah yang sudah terjadi berkali-kali, bertahun-tahun.
- Pernyataan menteri 2 tidak berdiri sendiri; ia bergabung dalam narasi lama tentang ketidakpedulian negara terhadap kesejahteraan pendidik, menurut pandangan masyarakat selama ini.
Terlebih, sudah bukan menjadi rahasia lagi, berita negatif memiliki bobot lebih besar di memori publik daripada berita positif. Artinya, satu kesalahan komunikasi dapat menguatkan narasi buruk yang sudah ada, dan membongkarnya memerlukan waktu yang jauh lebih lama.
Jurang Kelima: Persepsi Mengalahkan Kinerja
Kinerja pemerintah yang baik tidak otomatis mengubah persepsi. Publik jarang menilai seluruh rangkaian kerja, melainkan potongan-potongan pengalaman dan cerita yang mereka dengar atau mungkin mereka rasakan sendiri.
Menteri 1 mungkin ingin memberikan edukasi hukum, tetapi yang terekam di memori masyarakat adalah kesan arogan. Menteri 2 mungkin sedang membicarakan teknis penganggaran, tetapi yang terpatri dipikiran warga adalah kesan mengelak dari kewajiban konstitusional, plus terlihat nir-empati.
Seperti dijelaskan dalam teori, reputasi sektor publik terbentuk lama dan cenderung stabil. Bahkan perbaikan nyata tidak serta-merta mengubahnya jika pesan positif tidak disampaikan dengan cara yang mengena di hati.
Jurang Keenam: Hak dan Kewajiban yang Tak Seimbang
Publik fokus pada haknya; pemerintah mempertimbangkan kewajiban kolektif. Dalam isu tanah, warga merasa berhak penuh atas kepemilikan, sementara pemerintah terikat pandangan hukum tentang hubungan negara, tanah, dan hak atas tanah tersebut.
Dalam isu gaji pendidik, publik melihatnya sebagai hak konstitusional, sedangkan pemerintah memikirkan distribusi anggaran yang adil di semua sektor.
Teori menunjukkan bahwa ketidakseimbangan persepsi ini rawan memicu krisis, terutama di era media sosial di mana warga bisa memposisikan diri sebagai “David” melawan “Goliath” birokrasi. Tanpa narasi yang menghubungkan dua perspektif ini, publik akan merasa diabaikan.
Jurang Ketujuh: Media yang Bergerak dengan Kecepatan Berbeda
Pemerintah masih banyak bergantung pada kanal resmi seperti situs web dan konferensi pers. Publik hidup di dunia real-time, di mana percakapan di X, thread, atau TikTok bergerak dalam detik, bukan jam.
Potongan celetukan menteri 1 menyebar luas sebelum klarifikasi resmi belum sempat dibuat. Pernyataan menteri 2 berputar di ruang publik tanpa ada narasi tandingan yang cepat. Menurut teori, ini adalah jebakan klasik: otoritas mencoba mengontrol pesan di arena yang sudah dikuasai untuk melawan arus informasi tak terkendali.
Penutup: Menutup Jurang, Mengembalikan Kepercayaan
Dua kasus ini menunjukkan bahwa kegagalan komunikasi bisa jadi bukan karena niat buruk atau kebijakan yang keliru, melainkan karena jurang yang memisahkan cara pandang pemerintah dan publik. Tujuh gap yang dijelaskan dalam teori di atas memberikan peta untuk memahami masalah ini.
Menutup jurang-jurang itu membutuhkan perubahan paradigma. Pejabat publik harus berbicara dengan kecepatan yang sama dengan publik, memberi konteks sejak awal, memilih bahasa yang membumi, dan hadir di kanal yang digunakan warga.
Harus dikurangi cara-cara penyampaian
yang seakan menggampangkan situasi, atau menganggap publik tidak tahu apa-apa.
Pejabat publik harus memosisikan dirinya sejajar dengan publiknya. Isu-isu yang sarat nilai emosional seperti tanah dan pendidikan harus disampaikan
dengan sensitivitas ekstra.
Di era media sosial, setiap kata bisa menjadi jembatan atau justru jurang pemisah yang nyata. Kembali lagi ke dasar komunikasi, komunikasi itu tergantung dari bagaimana penerima informasi menerima pesan yang disampaikan.
Maka sebagai pihak yang menyampaikan informasi, tentu harus mengenali siapa penerima pesan itu.
0 Comments