Sesuai judul tulisan penulis kali ini “jalan panjang membangun bangsa”, penulis mengkhususkan pada penyelesaian persoalan mendasar bangsa dan hal itu adalah strategi jangka panjang, “membangun karakter moral anak-anak bangsa”.
Karakter adalah sikap moral atau kerangka pikir yang dimiliki seseorang, yang merupakan hasil dari sebuah proses penanaman nilai-nilai yang dilakukan sejak dini. Aspeknya, ketuhanan dan kemanusiaan.
Nilai-nilai ketuhanan akan melahirkan seseorang sebagai mahluk Tuhan yang beriman dan bertaqwa. Nilai-nilai kemanusiaan akan melahirkannya sebagai bagian dari mahluk sosial yang:
- memerlukan orang lain,
- saling menghormati,
- tolong menolong,
- saling mengasihi dan menyayangi, dan
- memiliki etos kerja yang baik.
Sementara itu, nilai-nilai sebagai mahluk Tuhan akan melahirkan sikap yang menjaga alam dan menyayangi sesama mahluk Tuhan lainnya.
Keluarga: Tempat Awal Membangun Karakter
Siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan karakter moral dan siapa pula yang bertanggung jawab dalam memperbaikinya?
Dalam konteks pengalaman perjalanan hidup dan kedinasan sebagai seorang polisi, penulis menyimpulkan bahwa terdapat empat faktor utama yang turut bertanggung jawab atas kerusakan karakter moral dan perlu adanya perbaikan.
Keempat faktor tersebut adalah keluarga, lembaga pendidikan, lembaga agama, dan lingkungan sosial.
Pertama-tama, penulis menyoroti peran keluarga sebagai tempat awal pembentukan karakter anak. Dalam pandangan agama Islam, keluarga dianggap sebagai landasan terpenting dalam pembentukan nilai-nilai moral.
Keluarga adalah tempat awal mula seorang anak manusia mengalami proses belajar, apalagi jika diyakini bahwa calon anak manusia memulai proses pembelajaran akan kehidupan dunia dimulai dari sejak ia ada dalam kandungan ibunya.
Peran Ibu dan Penanaman Nilai pada Anak-anak
Sesuai ajaran agama, petuah para ulama ketika seorang ibu sedang hamil, eloknya didengarkan lantunan surah Yusuf jika ia laki-laki dan didengarkan lantunan surah Maryam jika ia perempuan.
Penulis juga mendengar, menurut Masyarakat Jepang, ketika seorang ibu hamil, eloknya diperdengarkan dengan instrument lagu Mozart untuk merangsang atau menstimulus indera calon bayi dalam kandungan.
Dari perspektif ilmu sosiologi sosial, penulis membahas konsep belajar sosial, di mana anak-anak cenderung meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan keluarga memiliki dampak besar dalam membentuk karakter moral anak.
Hadits Rasulullah saw, yang mengatakan “surga di bawah telapak kaki ibu”, adalah sebuah kiasan belaka.
Bukan karena ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui, melainkan ibulah yang paling berperan dalam mendidik anak-anak, mengisi qolbu mereka dengan karakter moral yang baik.
Atas peran inilah yang menjadikan seorang ibu adalah orang yang pertama, kedua dan ketiga harus dihormati, didengarkan nasehat dan petuahnya. Ibulah yang paling menentukan seorang anak akan menjadi ahli surga atau ahli neraka.
Penulis tidak terlalu berani membuat kesimpulan terkait dengan peran orang tua dalam membangun karakter anak-anak bangsa.
Akan tetapi, hasil pengamatan penulis,
penulis berani katakan bahwa orang tua saat ini lebih asyik mencari
dan mengumpulkan harta sebanyak mungkin,
seakan harta warisan kelak bisa dijadikan sebagai bekal hidup anak-anaknya.
Mereka yang asyik mengejar pangkat dan jabatan melupakan penanaman nilai-nilai terhadap anak, seakan lembaga pendidikan sudah cukup tempat mereka belajar.
Sedikit berbeda dengan teman-teman etnis china, di mana mereka seakan memiliki ruang yang terbatas, sehingga sejak kecil anak-anaknya dididik untuk terbiasa dan memiliki jiwa wira usaha, jiwa entrepreneur.
Sejak muda kerangka pikir mereka membuka lapangan pekerjaan bukan mencari pekerjaan, meski mereka hampa dari sisi karakter ketuhanan dan kemanusiaan setidaknya mereka memiliki karakter kerja yang baik.
Peran Lembaga Pendidikan
Selanjutnya, penulis membahas peran lembaga pendidikan. Meskipun diakui bahwa lembaga ini memberikan waktu terbanyak bagi anak-anak untuk pembelajaran, penulis mengkritisi penekanan yang terlalu besar pada aspek pengetahuan dan kurangnya perhatian terhadap nilai-nilai moral.
Penulis berpendapat bahwa reformasi kurikulum dengan meningkatkan proporsi penanaman nilai-nilai pada tingkat dasar dapat menjadi solusi untuk membangun karakter moral.
Ketika penulis memiliki kesempatan berkunjung ke Jepang, penulis mendapatkan informasi dari staf KBRI, bahwa di Jepang anak-anak sekolah berangkat sendiri, berjalan kaki, karena sekolahnya tidak jauh dari rumah (konsep zonasi). Tidak ada istilah sekolah favorit bagi tingkat SD.
Sampai dengan kelas 3 (tiga) SD, mereka tidak memerlukan ujian untuk naik kelas. Oleh karena proses pembelajaran sampai dengan kelas 3 (tiga) SD, lebih kepada penanaman nilai-nilai kemandirian, tanggung jawab, saling membantu, bermain bersama, dan seterusnya.
Orang beranggapan, mengajarkan anak-anaknya untuk pintar matematika cukup dalam waktu satu sampai dengan dua jam, tetapi mereka meyakini butuh proses dan waktu yang cukup panjang untuk mengajarkan mereka nilai-nilai untuk mau taat dengan budaya antri.
Mata pelajaran atau pengatahuan terkait fisika, matematika, kimia, dsb, bukan tidak penting, tetapi kelak ketika seorang anak tumbuh dewasa dan bekerja belum tentu pengetahuan itu ia gunakan sesuai bidang kerjanya.
Idealnya pengetahuan yang sifatnya khusus itu lebih diarahkan pada anak sesuai dengan minat dan bakatnya. Di era sekarang ini tidak adalagi orang bodoh, semua orang dapat kita nilai cerdas, sesuai minat dan bakatnya.
Ronaldo, Ronaldinho, David Beckham adalah orang-orang pintar di dunia olah raga, Ahmad Dani adalah orang pintar di dunia musik. Mereka adalah orang-orang yang tidak membutuhkan ilmu fisika dan matematika dalam profesinya.
Ruang Lalu Lintas: Cerminan Perilaku Masyarakat
Penulis yang banyak menggeluti fungsi kepolisian di bidang lalu lintas sering mengatakan di banyak kesempatan: “Mengapa etika atau adab berlalu lintas yang baik tidak dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan?”
Padahal, ruang lalu lintas adalah role model
yang strategis untuk membangun perilaku tertib masyarakat di ruang publik.
Di dalam ruang lalu lintas terdapat lengkap seluruh struktur demografi masyarakat, dari sisi usia, pangkat, jabatan, status sosial ekonomi, pendidikan dan seterusnya.
Sepanjang hidupnya seorang manusia dengan berbagai latar belakang dirinya secara demografi akan berada dalam ruang lalu lintas dan akan terkait dengan nilai-nilai bagaimana berlalu lintas yang baik dan benar.
Berbeda dengan latar belakang pengetahuan, seperti yang penulis sampaikan di atas, bahwa mereka yang pintar matematika belum tentu menggunakan keahliannya itu dalam kesehariannya.
Penulis berpendapat melalui lembaga pendidikan inilah pemerintah dapat berperan besar dalam membangun karakter moral anak-anak bangsa. Kurikulum pendidikan harus dilakukan reformasi dengan tetap menekankan pada penanaman nilai-nilai atau pembangunan karakter moral anak-anak bangsa.
Penulis menawarkan konsep bahwa di tingkat dasar 80% lebih kepada penanaman nilai-nilai dan 20% diarahkan pada pengetahuan. Tingkat lanjutan pertama (SMP) ada keseimbangan antara nilai-nilai dengan pengetahuan dan pada tingkat lanjutan atas (SMA), 80% pengetahuan dan 20% nilai-nilai.
Target yang ingin dicapai, tingkat dasar lebih pada sekedar tahu (pengetahuan atau to know), tingkat lanjutan pertama sudah mulai memahami (to understand) dan tingkat lanjutan atas sudah mulai menganalisa (to analysis) atau istilah penulis selama ini, target pendidikan bukan pada hafalan melainkan berada pada memahami.
Lalu, Bagaimana (Tanggung Jawab) Lembaga Agama?
Berhubung penulis adalah pemeluk Islam, maka penulis menjadikan lembaga agama islam sebagai contoh.
Lembaga agama bukanlah agama, lembaga agama adalah orang-orang yang berperan dalam agama secara kelembagaan, ormas agama, ulama, ustad, dan seterusnya. Penulis sering menjadikan isi ceramah agama atau khutbah jum’at sebagai acuan.
Jika dipersentase, dalam materi ceramah agama atau khutbah jum’at, materi tentang surga dan neraka, hubungan manusia dengan Tuhannya jauh lebih banyak dari nasihat tentang hubungan manusia dengan sesama manusia, apalagi dengan alam raya sebagai sesama mahluk Tuhan lainnya.
Dalam perspektif Islam hubungan manusia dengan Allah swt, begitu mudah dan sederhana, cukup menjalankan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang sudah cukup dan selesai. Justru manusia sendiri yang terkadang membuatnya seakan rumit.
Padahal, menurut para ulama ayat dan surah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah swt (hablum minallah), jumlahnya lebih sedikit dibandingkan surah dan ayat yang bicara tentang hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannas).
Ketauhidan adalah yang utama dan pertama, namun hubungan manusia dengan sesama manusia, bahkan dengan alam raya adalah bagian dari hubungan manusia dengan Allah swt.
Idealnya, pemerintah dapat mendorong organisasi kemasyarakatan di bidang agama berperan dalam konteks ini atau dapat saja lembaga agama semacam MUI, menyusun materi khutbah jum’at yang sesuai denga realitas fenomena sosial yang berkembang di tengah Masyarakat.
Tujuannya, meluruskan berbagai hal yang keliru atau tidak sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung didalam agama. Namun, penulis juga memahami cukup rentan bagi pemerintah masuk dalam ranah ini.
Sebab ranah agama, khususnya terkait dengan tatacara beribadah sebaiknya dijauhkan dari negara. Biarlah ranah itu pada ahli masing-masing agama (dalam islam = ulama).
Peran Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial yang dimaksudkan oleh penulis adalah stimulus yang diberikan oleh lingkungan sosial di mana seorang anak manusia tumbuh dan berkembang serta berinteraksi sosial.
Meskipun karakter moral telah terbangun dan karakter moral itu sulit diubah namun lingkungan sosial dalam menstimulusnya untuk kemudian kerangka pikir (mindset) seorang anak manusia dapat terpengaruh.
Misalnya saja, seorang anak yang awalnya bengal, nakal dan enggan beribadah namun ketika dimasukkan kedalam lingkungan santri, akan cenderung berperilaku sama dengan para santri lainnya.
Sebaliknya seorang santri dapat kemudian dapat berubah menjadi seorang pemabuk ketika kesehariannya berada di lingkungan para pemabuk.
Dalam konteks lingkungan sosial ini, pemerintah berkewajiban membangun lingkungan sosial yang baik bagi tumbuh berkembangnya anak-anak bangsa dan orang tua berkewajiban menjaga anak-anaknya selalu berada dalam lingkungan sosial yang baik.
Penutup: Sebuah Stimulus Berpikir
Tulisan ini bukanlah kajian akademis atau hasil dari sebuah penelitian. Tulisan ini lebih pada pemikiran seorang penulis yang didasarkan pada pengalaman diri dan pengalaman dalam menjalankan tugas sebagai seorang polisi, yang masih sangat lemah dari sisi pengetahuan atau literasi.
Kebenaran nasihat dalam tulisan ini sangat relatif,
terbuka ruang untuk diperdebatkan dan apalagi jika didasrkan pada argumentasi yang berdasar. Penulis hanya mencoba menstimulus pembaca
untuk bersama kita berpikir bagaimana dapat memperbaiki persoalan bangsa ini.
Jika salah atau keliru mohon berkenan diluruskan dan/atau jika kurang
silahkan untuk ditambahkan.
Jika terkandung kebenaran di dalamnya maka kebenaran itu dari Allah swt. Jika ada kesalahan lebihnya karena kefakiran penulis belaka. Semoga bermanfaat.
Alumni Akpol 1994. Pernah menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas Polda Kalteng tahun 2016, Dirlantas Polda Sumsel 2017, Analis Kebijakan Madya Bidang Regiden Korlantas 2019, dan Dirlantas Polda Jatim 2022.
Saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur Akpol.
0 Comments