Jalan Panjang Membangun Bangsa: Bagian 1 – Krisis Moral & Syarat Menjadi Negara Hebat

by M. Taslim Chairuddin ◆ Active Writer | Dec 7, 2023 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

lone road going to mountains

“Masalah di dunia ini hanya ada dua saja;
masalah yang dapat diselesaikan dan masalah yang tidak dapat diselesaikan.
Begitu saja kok repot.”

(Gus Dur; disitir dari pernyataan Prof. Yusril Ihza Mahendra)  

Pengalaman penulis hampir 30 tahun berdinas di kepolisian, bergelut dengan berbagai persoalan sosial masyarakat, baik melalui pekerjaan sebagai polisi maupun dari hasil mengamati dan berdiskusi dengan berbagai pihak.

Kesimpulan penulis sampai pada satu titik, begitu rumitnya persoalan bangsa ini, seakan tidak tahu siapa yang bersalah? Siapa yang berkewajiban memperbaiki? Dan bagaimana memperbaikinya?

Satu-satunya Kepastian: Ketidakpastian

Semua terasa begitu rumit. Ketika kita mencoba berpikir memperbaiknya, kita akan terjebak pada adagium “mengurai benang kusut”. Kita tidak tahu di mana pangkalnya, kemana menelusurinya dan akan berakhir di mana?

Hingga suatu hari saat mengikuti sidang gugatan fungsi regident di Mahkamah Konstitusi, penulis mendengar candaan Gus Dur yang disitir oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra, bahwa masalah di dunia ini hanya ada dua saja “masalah yang dapat diselesaikan dan masalah yang tidak dapat diselesaikan”.

Sepulang penulis ke rumah, seharian penulis berpikir untuk mencari jawaban dari candaan Gus Dur tersebut. Hingga penulis berada pada suatu kesimpulan, masalah di dunia pada dasarnya adalah masalah manusia, mahluk sosial yang unik.

Satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian itu sendiri. Masalah yang dapat diselesaikan adalah masalah eksakta. 2+2=4, kita yakini, semua akan bersepakat dan  tidak  ada seorang pun yang berakal sehat menolak atau mendebatnya.

Berbeda halnya ketika persoalan itu terkait dengan masalah sosial masyarakat, akan terjadi perdebatan panjang. Masing-masing orang akan punya cara pandang atau perspektif masing-masing, sangat tergantung pada kerangka pikir, latar belakang budaya, pengetahuan, keinginan dan harapannya.

Titik Temu: Sebuah Kesamaan

Penulis berada pada satu titik kesimpulan. Candaan Gus Dur, meski terdengar sebagai sebuah candaan ternyata memiliki hakikat yang sangat dalam,

“Engkau tidak akan menemukan titik temu jika memperdebatkan persoalan sosial jika di antaramu belum memiliki perspektif yang sama, kerangka pikir yang sama, nilai-nilai yang akan kau perjuangkan sama”.

Maka, ketika kita ingin memperbaiki bangsa ini maka kita harus mendekatkan pada kerangka pikir yang sama tentang bangsa ini.

Sejalan pula dengan pemikiran penulis ketika menjabat sebagai seorang Kapolres di Purworejo dan Jepara, persoalan sosial masyarakat seakan tiada henti, tiada habisnya, bahkan mereka yang berulah adalah mereka yang sama, meski sebelumnya  telah diberikan sanksi hukum.

Lebih membahayakan lagi ialah persepsi sebagian kalangan, bahwa “sing bener kui, sing umum”, yang benar adalah yang benar dalam persepsi umum.

Ketika seorang ustadz menjadi calon kades di tengah masyarakat yang hobi mabuk (minum minuman keras), harus kalah dengan calon kades yang memang seorang pemabuk.

Krisis Karakter Moral

Belum lagi ketika penulis berhadapan dengan anggota sendiri, yang meskipun menjadi bawahan namun memiliki persepsi sendiri.

Ketika menjalankan tugas sebagai seorang polisi, seakan kepentingan dirinya dan kelompoknya adalah yang utama, mengalahkan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat, sesuai hakikat keberadaannya sebagai seorang polisi.

Penulis juga mencoba memanfaatkan pertemanan dengan kalangan ulama, pemuda NU dan Muhammadiyah, mengajak mereka membangun karakter moral anak-anak bangsa.

Namun lagi-lagi perbedaan persepsi, entah karena perbedaan pengetahuan, pemahaman, motivasi seakan membuat harapan itu pupus, keinginan memperbaiki karakter moral anak-anak bangsa tak bisa berjalan.

Kesimpulan akhir penulis bahwa persoalan mendasar bangsa saat ini adalah “bangsa ini mengalami krisis karakter moral”.     

Menghadapi Indonesia Emas 2045

Dengan situasi demikian, lalu bagaimana. Apakah kita harus pasrah? Duduk manis?!!

Pasrah dengan takdir, seakan semua adalah takdir yang ditetapkan oleh-Nya? Karena semua ini adalah siklus kehidupan, siklus yang memang harus dilalui sebelum dunia ini berakhir (kiamat)?

Rasa-rasanya “tidak”. Kita adalah manusia, mahluk Tuhan yang paling sempurna, dibekali akal pikiran untuk terus berpikir, berusaha dan berdoa, agar keadaan terus membaik hari demi hari.

Bagi kita warga negara bangsa Indonesia, tantangan itu ada dan bahkan nyata! Prediksi kalangan akademisi dan visi Indonesia hebat, Indonesia Emas 2045, adalah visi atau mimpi yang memotivasi.

Indonesia emas kita alami ketika penduduk bangsa berada dalam situasi bonus demografi, di mana penduduk usia produktif jauh di atas penduduk usia nonproduktif.

Akan tetapi mimpi ini jika tidak kita waspadai justru dapat berbalik menjadi “bencana demografi”, ketika usia produktif tidak mampu bersaing dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak mampu bersaing dengan generasi muda bangsa lain.

2045 artinya relatif cukup panjang, masih tersisa 21 tahun lagi dari saat ini (2024). Generasi muda saat ini dan generasi muda mendatang harus kita persiapkan memasuki era Indonesia emas.

Syarat (menjadi) Negara Hebat

Prof. Tito Karnavian (Mendagri) saat menjabat Kapolri pernah mengatakan, bahwa sesuai teori, ada tiga syarat sebuah negara untuk menjadi besar, yaitu;

  • memiliki wilayah berdaulat yang luas dengan sumber daya alam yang cukup,
  • memiliki penduduk yang besar (sebagai konsumen potensial), dan
  • tingkat ekonomi masyarakat besar di kelas menengah.

Syarat Indonesia menjadi negara hebat hanya tersisa satu, yaitu; tingkat ekonomi masyarakat kelas menengah yang besar, yang terlalu kaya semakin kecil dan yang terlalu miskin juga semakin sedikit.

Hal ini hanya dapat dicapai ketika UMKM berkembang. Oleh karenanya, generasi Z saat ini dan generasi mendatang harus memiliki jiwa entrepreneur, semangat wira usaha yang dilandasai pada keinginan mewujudkan kesejahteraan bersama.  

Bagaimana mewujudkan semua itu? Ada 3 strategi pendekatan bagi bangsa ini untuk memperbaikinya;

  • pertama strategi jangka panjang dengan membangun karakter moral anak-anak bangsa;
  • kedua, membangun sistem-sistem baik berupa regulasi mapun sistem bekerja yang didukung oleh teknologi informasi; dan
  • ketiga, memfungsikan hukum sebagai instrumen pemaksa bagi negara terhadap warga negara untuk taat dengan norma aturan dan sosial yang berlaku (teori Pemaksaan; Max Webber). 
[bersambung]

1
0
M. Taslim Chairuddin ◆ Active Writer

Alumni Akpol 1994. Pernah menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas Polda Kalteng tahun 2016, Dirlantas Polda Sumsel 2017, Analis Kebijakan Madya Bidang Regiden Korlantas 2019, dan Dirlantas Polda Jatim 2022.
Saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur Akpol.

M. Taslim Chairuddin ◆ Active Writer

M. Taslim Chairuddin ◆ Active Writer

Author

Alumni Akpol 1994. Pernah menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas Polda Kalteng tahun 2016, Dirlantas Polda Sumsel 2017, Analis Kebijakan Madya Bidang Regiden Korlantas 2019, dan Dirlantas Polda Jatim 2022. Saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur Akpol.

1 Comment

  1. Avatar

    Dalam masyarakat memang banyak sudah perbedaan, jadi nggak usah dicari-cari. Yang pelu ditemukan adalah persamaan visi, misi dan kesadaran bahwa hidup ini hanya sementara, memberikan kebaikan/manfaat kepada sesama manusia dan lingkungan untuk mendapatkan tiket menuju surga atas ridho Allaah SWT.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post