
Perubahan besar sedang terjadi dalam sistem kepegawaian negara. Pemerintah bersama Komisi II DPR RI baru saja menyepakati percepatan penataan pegawai non-ASN, yang akan tuntas pada tahun 2026.
Keputusan ini tidak hanya berdampak pada birokrasi,
tetapi juga pada ribuan tenaga honorer yang telah lama mengabdi. Kebijakan pengangkatan pegawai non-ASN ke dalam status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) diharapkan menjadi bagian dari solusi.
Selain itu, seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) tahun 2024 juga menjadi momen penting dalam transformasi sistem birokrasi. Namun, bagaimana pendekatan yang digunakan pemerintah dalam menyusun kebijakan ini?
Pemerintah Indonesia, menggunakan pendekatan inkremental, interpretif, terintegrasi, dan inklusif untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan kebijakan. Pendekatan ini mencerminkan evolusi tata kelola birokrasi yang lebih adaptif terhadap perubahan sosial dan kebutuhan tenaga kerja.
Dengan mempertimbangkan dampak sosial, politik, dan ekonomi, pendekatan ini menawarkan solusi yang lebih fleksibel dan berbasis bukti dalam pengelolaan ASN, termasuk dalam penataan pegawai non-ASN yang telah menjadi perdebatan sejak lama.
Pendekatan Inkremental: Menghindari Kejutan dalam Perubahan
Dalam kebijakan publik, perubahan drastis sering kali menimbulkan gejolak. Itulah sebabnya pemerintah memilih pendekatan inkremental, yaitu perubahan bertahap yang memungkinkan penyesuaian di berbagai level pemerintahan.
Jika melihat kebijakan penghapusan tenaga honorer, misalnya, pemerintah tidak serta-merta memberhentikan mereka begitu saja. Sebaliknya, langkah-langkah yang diambil adalah:
- Membuka rekrutmen CASN 2024, dengan total formasi 1.266.081, di mana mayoritas dialokasikan untuk PPPK.
- Memastikan transisi berjalan bertahap, dengan pengangkatan CPNS pada Oktober 2025 dan PPPK pada Maret 2026.
- Memberikan kesempatan bagi tenaga non-ASN untuk mengikuti seleksi PPPK berdasarkan pengalaman kerja mereka.
Pendekatan ini serupa dengan reformasi kepegawaian di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, di mana tenaga kontrak diberikan jalur khusus untuk menjadi pegawai tetap. Dengan cara ini, pemerintah bisa menghindari disrupsi besar dalam pelayanan publik.
Pendekatan Interpretif: Memahami Perspektif Beragam Pemangku Kepentingan
Sebuah kebijakan tidak hanya dilihat dari sudut pandang pemerintah, tetapi juga dari bagaimana masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya menafsirkan kebijakan tersebut.
Dalam kasus penataan pegawai non-ASN, ada beberapa perspektif yang muncul:
- Pemerintah menginginkan birokrasi lebih profesional dan efisien, dengan ASN yang lebih berkualitas dan berbasis kompetensi.
- Pegawai honorer merasa cemas, karena banyak yang telah mengabdi bertahun-tahun tanpa kepastian masa depan.
- Masyarakat mengharapkan layanan publik yang tetap optimal, tetapi juga tidak ingin tenaga honorer kehilangan pekerjaan.
Dalam pendekatan interpretif, penting untuk memahami bagaimana berbagai kelompok menafsirkan kebijakan ini. Oleh karena itu, pemerintah berusaha menjembatani kepentingan tersebut dengan memastikan tenaga honorer tetap memiliki peluang dalam sistem PPPK.
Pendekatan ini juga diperkuat dengan transparansi dalam seleksi, seperti penggunaan Computer Assisted Test (CAT) yang memastikan tidak ada intervensi politik dalam proses rekrutmen.
Pendekatan Terintegrasi: Menyelaraskan dengan Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi bukan sekadar tentang jumlah ASN, tetapi juga tentang bagaimana sistem kepegawaian negara menjadi lebih efektif. Oleh karena itu, kebijakan pengadaan ASN harus terintegrasi dengan kebijakan lain, seperti:
- Undang-Undang ASN No. 20 Tahun 2023, yang menekankan sistem merit dalam rekrutmen.
- Efisiensi anggaran, dengan memastikan bahwa pengangkatan ASN tidak membebani keuangan negara.
- Digitalisasi seleksi ASN, yang mempermudah proses pendaftaran dan tes berbasis teknologi.
Integrasi ini memastikan bahwa kebijakan pengadaan ASN bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi bagian dari transformasi birokrasi yang lebih luas.
Pendekatan Inklusif: Memberikan Kesempatan yang Adil bagi Semua
Salah satu aspek penting dalam kebijakan publik adalah memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak diskriminatif dan mencakup semua pihak. Dalam kebijakan ASN 2024, pemerintah telah menerapkan langkah-langkah inklusif, seperti:
- Jalur khusus bagi tenaga honorer, sehingga pengalaman mereka tetap diperhitungkan dalam seleksi PPPK.
- Kuota khusus bagi penyandang disabilitas, yang memastikan mereka memiliki kesempatan yang sama dalam seleksi ASN.
- Seleksi yang lebih transparan, agar proses rekrutmen benar-benar berdasarkan kompetensi dan bukan faktor kedekatan politik.
Pendekatan inklusif ini juga sudah diterapkan di beberapa daerah. Misalnya, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan afirmasi bagi tenaga kesehatan honorer yang telah mengabdi lebih dari lima tahun.
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki pengalaman dan kontribusi nyata tetap mendapatkan kesempatan.
Menurut studi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), sistem rekrutmen ASN yang lebih inklusif berkontribusi pada peningkatan kepuasan kerja dan produktivitas dalam jangka panjang.
Kebijakan pengadaan ASN tahun 2024 adalah contoh bagaimana pemerintah menerapkan pendekatan yang bertahap (inkremental), berbasis pemahaman masyarakat (interpretif), terintegrasi dengan kebijakan lain, dan inklusif bagi berbagai kelompok masyarakat.
Meskipun masih ada tantangan dalam implementasinya, pendekatan ini memberikan peluang besar bagi perbaikan sistem kepegawaian di Indonesia.
Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif dari masyarakat dan calon ASN itu sendiri. Jika dilakukan dengan baik, ini bisa menjadi langkah besar menuju birokrasi yang lebih profesional, efisien, dan berkeadilan.
0 Comments