
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), jabatan ASN terdiri atas jabatan Manajerial dan jabatan Non Manajerial.
Antara Manajerial dan Fungsional
Keduanya berbeda. Jabatan Manajerial terikat pada struktur organisasi, berstrata, dan memimpin satuan. Jumlahnya terbatas, membentuk skema piramida.
Semakin tinggi jabatan, semakin sedikit posisinya.
Sebaliknya, jabatan Non Manajerial, yang terdiri atas jabatan fungsional dan jabatan pelaksana, berfokus pada kompetensi yang bersifat teknis sesuai bidangnya.
Khusus fungsional, keahlian dan/atau keterampilan tertentu menjadi inti. Itu sebabnya untuk jabatan fungsional terdapat sebutan jabatan fungsional ahli. Ada jenjangnya: pertama, muda, madya, utama.
Kompetensi pada jenjang jabatan yang lebih tinggi merupakan kumulatif dari kompetensi pada tingkat atau jenjang jabatan di bawahnya. Ahli muda pasti menguasai kompetensi ahli pertama, begitu seterusnya. Semakin tinggi jenjang, semakin ahli seseorang.
Di negara ini, jabatan manajerial masih menjadi primadona. Kursi-kursi jabatan manajerial di instansi menjadi rebutan. Maklum, tingkatan jabatan ini tampak jelas. Ada nama, ada posisi, ada prestise. Semakin tinggi, semakin eksklusif.
Sebaliknya, jabatan fungsional kerap dianggap pelengkap. Padahal, jabatan fungsional mengandalkan kompetensi, bukan semata posisi. Cukup jelas, bahwa semakin tinggi jenjang, semakin tinggi pula keahliannya. Sayangnya, justru keahlian inilah yang kadang tak dihargai.
Ironi Naik Jenjang yang Terhalangi
Kini, di Indonesia, jabatan fungsional makin banyak. Penyederhanaan birokrasi mendorong perampingan struktur organisasi. Akibatnya, banyak jabatan manajerial dilebur, lalu pindah ke fungsional.
Ini membuat jabatan fungsional menggelembung. Jumlahnya melonjak. Bentuknya tak lagi seperti piramida, malah jadi piramida terbalik. Jenjang terbanyak justru di atas.
Di sinilah masalahnya, jumlah di puncak yang membengkak tak diimbangi formasi. Akibatnya, mereka yang ingin naik jenjang terhalangi. Formasi tidak ada atau sudah penuh.
Bayangkan, ASN yang sudah memenuhi sebagian besar syarat, memiliki semua kompetensi, malah tidak bisa naik jenjang. Tidak ada tempat. Pengajuan pengembangan karier berupa promosi melalui kenaikan jenjang jabatan ditolak.
Aneh, bukankah makin banyak ahli itu bagus? Bukankah negara ini butuh orang kompeten? Tapi mengapa dilarang?
Ironi ini sangat nyata. Padahal dulu, alasan pembatasan cukup masuk akal. Dulu, perolehan angka kredit sangat sulit. Ketika terlalu banyak fungsional di atas, angka kredit sulit diraih.
Lalu stagnan, tak berkembang, akhirnya diberhentikan dari jabatan. Wajar dulu dibatasi, tapi sekarang?
Frustasi Fungsional: Karena Tak Ada Formasi
Sekarang perolehan angka kredit jauh lebih mudah. Banyak peraturan disederhanakan. Jadi, logikanya, tidak ada lagi alasan untuk membatasi.
Praktiknya, pembatasan masih terjadi. Tetap saja, banyak ASN fungsional yang tidak bisa naik jenjang. Bukan karena tidak mampu, tapi karena tidak tersedia formasi.
Inilah yang membuat frustrasi, motivasi ASN jadi menurun. Mereka yang semangat bekerja, belajar, ikut pelatihan, menulis, meneliti, justru dihentikan langkahnya. Sederhana, karena formasi tidak ada.
Mereka yang kompeten, justru tidak diberi ruang. Instansi seolah tidak percaya pada kompetensi, seolah hanya posisi manajerial yang punya arti. Sekadar ikut regulasi tanpa solusi.
Padahal, seperti surat Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional Nomor B-122/KU/V/2025 Tanggal 15 Mei 2025, Hal: Penyampaian Usulan Penguatan ASN, persoalan ini harus diakhiri.
Jabatan fungsional harus diperlakukan adil, tidak lagi dianggap anak tiri. ASN fungsional perlu didorong naik jenjang. Caranya jelas: sediakan formasi. Bentuknya jangan lagi skema piramida, tapi skema tabung atau paralon.
Dari awal sampai akhir, jumlah formasi harus sama. Jenjang pertama sampai utama, dibuka lebar. Tidak dikerucutkan, tidak dibatasi.
Skema Tabung: Memberi Motivasi dan Memperkuat Birokrasi
Dengan skema tabung atau paralon, ASN fungsional akan termotivasi. Mereka tahu bahwa setiap jenjang tersedia. Mereka tahu bahwa jika mereka belajar, bekerja dengan baik, akan ada tempat untuk mereka.
Tidak lagi waswas, tidak lagi khawatir formasi tidak tersedia. Tidak lagi takut tidak diakui meski sudah ahli.
Negara harus memikirkan ulang. Jika ingin birokrasi kuat, ASN fungsional harus diperkuat. Jangan lagi dibatasi dengan alasan klasik. Sekali lagi, kompetensi tidak boleh dihalangi.
Mereka yang punya ilmu harus diberi tempat. Mereka yang belajar harus diberi jalan, disediakan formasinya. Tanpa skema tabung, karier ASN fungsional akan terus terhambat.
Waktunya memberi ruang, waktunya membuka jalan. Negara harus dengar suara KORPRI. Ini bukan cuma soal karier, ini soal masa depan birokrasi. Biarkan keahlian menggerakkan negara, bukankah itu harapan kita bersama?
0 Comments