Media sosial memainkan peran yang semakin penting dalam memengaruhi proses dan hasil pemilihan umum (Pemilu), tidak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia.
Pada momen-momen kunci, seperti pemilihan umum atau referendum, media sosial menjelma menjadi arena pertarungan baru yang sebelumnya hanya berlangsung secara offline atau melalui media cetak mainstream.
Beberapa studi menunjukkan bahwa media sosial merupakan ruang kunci yang dapat menjelaskan terpilihnya Presiden Trump di Amerika (Enli, 2017), atau keputusan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Howard & Kollanyi, 2016).
Posisi strategis media sosial pun semakin kuat di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir, khususnya menjelang penyelenggaraan pemilu, baik di tingkat lokal dan nasional.
Pemilu Indonesia dan Isu Negatif Ras & Agama
Di Indonesia, penyelenggaraan pemilu diwarnai dengan penggunaan isu negatif atau berita palsu terhadap kandidat yang disebar di media sosial (Utami, 2019).
Isu utama yang digunakan dalam penggunaan berita palsu biasanya terkait dengan isu identitas berbasis ras dan agama (Aspinall & Mietzner, 2014), isu yang sangat sensitif dalam politik Indonesia dan sangat efektif sebagai instrumen mobilisasi.
Memahami hal ini, para kandidat dan tim sukses kemudian mengemas isu ras dan agama dalam bentuk berita palsu untuk pendukung dalam pemilu (Bronstein, Pennycook, Bear, Rand, & Cannon, 2019). Secara umum, para pemilih di Indonesia, melihat sentimen agama lebih penting daripada program kerja yang ditawarkan atau programmatic politics.
Lebih lanjut lagi, beberapa literatur telah menunjukkan bahwa terjadi penguatan populisme kanan sejak 2014 yang terus menjadi ciri penting dalam pemilu di Indonesia (Hadiz, 2013, 2018).
Rendahnya Kualitas Demokrasi
Pemilu yang dilaksanakan secara bebas, terbuka, dan adil merupakan salah satu pilar utama dalam demokrasi modern. Berbagai lembaga yang mengukur tingkat demokrasi sebuah negara biasanya menggunakan pemilu yang dilaksanakan secara bebas, terbuka, dan adil sebagai indikator utama.
Semakin bebas dan terbuka sebuah pemilihan, semakin demokratis pula sebuah negara. Di sisi lain, ketiadaan prinsip free and fair election dalam pemilu menjadi indikasi rendahnya kualitas demokrasi sebuah negara.
Di dalam sebuah proses demokrasi yang dilaksanakan secara terbuka dan bebas, pengaruh memengaruhi pemilih pada dasarnya merupakan tindakan yang sah. Tidak hanya itu, memengaruhi preferensi pemilih melalui kampanye dilembagakan sebagai salah satu bagian penting dari demokrasi elektoral.
Persoalan akan muncul bila konten yang digunakan untuk memengaruhi proses dan pelaksanaan Pemilu merupakan konten yang bersifat negatif.
Konten negatif ini secara umum didefinisikan sebagai konten yang ditujukan untuk memanipulasi pendapat atau opini dengan menggunakan berita atau informasi yang keliru atau tidak memiliki basis faktual (Woolley & Howard, 2017).
Untuk mengatasi isu negatif dalam kampanye, penyelenggara pemilu melakukan pelembagaan atas praktik kampanye dengan mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas para pihak yang melakukan kampanye.
Dengan demikian, dalam kampanye pemilu bisa dilihat dengan jelas pihak mana yang melakukan kampanye, konten apa yang digunakan untuk kampanye, serta dari mana sumber pendanaan kegiatan kampanye tersebut.
Sayangnya, pengaturan mengenai kampanye di media sosial dirasa masih belum mampu mengatasi kompleksitas dampak penggunaan media sosial bagi demokrasi (Robinson, Coleman, & Sardarizadeh, 2019).
Bagaimana Medsos Mengubah Cara Pandang
Bolsover dan Howard (2017) menjelaskan bahwa penggunaan media sosial sebagai alat kampanye mengubah cara pandang kita akan kampanye politik secara mendasar karena empat hal.
Pertama, media sosial memungkinkan kampanye dilakukan oleh siapa saja dengan menggunakan isu apa pun. Kampanye tidak lagi didominasi oleh para ahli kampanye atau mereka yang dianggap memiliki otoritas.
Kedua, sifat media sosial yang mengakomodasi anonimitas membuat penelusuran terhadap pihak yang melakukan kampanye menjadi semakin pelik. Sumber materi kampanye tidak jelas, demikian juga dengan validitas pesan yang disampaikan.
Ketiga, penggunaan media sosial membuka ruang pengaruh yang bersifat lintas negara. Ini artinya, proses saling meniru strategi di negara lain sangat mungkin terjadi.
Dampak Persebaran Isu Negatif dan Delegitimasi KPU
Analisis isu negatif di pemilihan presiden 2019 menunjukkan bahwa KPU menjadi target, baik saat prapemilu, hari-H pemilu, maupun pascapemilu. Dalam konteks prapemilu, setidaknya ada tiga isu negatif utama yang menargetkan KPU, yakni:
- surat suara tercoblos,
- permasalahan hitung cepat, dan
- server KPU yang diretas.
Dalam konteks hari-H pemilu, setidaknya ada tiga isu utama, yakni terkait dengan ketidakpercayaan terhadap quick count, hasil survei yang menggiring opini publik, dan permasalahan surat suara seperti ketersediaan formulir A5.
A5 yakni formulir yang digunakan pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap/DPT untuk tetap bisa mencoblos di TPS yang bukan domisilinya. Juga ada isu surat suara dicoblos.
Dalam konteks pascapemilu, setidaknya ada empat isu negatif utama, yakni terkait kecurangan KPU, KPU yang tidak independen dan tersandera, input hasil pemilu yang tidak sesuai dengan formulir C1 (Sertifikat hasil Penghitungan Suara), hingga manipulasi hasil suara.
Isu negatif yang menargetkan KPU baik di pra, saat, dan pasca memiliki satu tujuan, yakni mendelegitimasi KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Delegitimasi KPU sebagai penyelenggara pemilu juga terlihat dari perubahan pola isu negatif. Target isu negatif yang menyasar pasangan calon presiden-wakil presiden di periode prapemilu mengalami pergeseran target menjadi KPU di pascapemilu.
Hari-H pemilu merupakan titik terjadi penurunan ekskalasi isu negatif sehingga terjadi pertemuan dengan kenaikan isu negatif yang menargetkan KPU. Perubahan pola target isu negatif terhadap aktor juga menunjukkan perubahan pola isu.
Namun, walau terjadi perubahan pola target dan pola isu, ada konsistensi yang dibangun di semua periode terkait KPU, yakni delegitimasi.
Delegitimasi ini tidak hanya untuk membangun narasi ketidakpercayaan terhadap KPU, tetapi juga ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu. KPU sebagai penyelenggara pemilu belum melakukan pengaturan spesifik terkait kampanye di media sosial.
Pengaturan Kampanye dan Isu Negatif
Kampanye di media sosial diatur sebagai bagian dari pengaturan umum kampanye yang tertuang dalam peraturan KPU Nomor 23 tahun 2018.
Pengaturan kampanye di media sosial terbatas pada tiga hal, yakni pendaftaran dan pembatasan akun resmi tim kampanye, desain dan materi kampanye oleh akun resmi tim kampanye, dan periode kampanye yang diizinkan melalui akun resmi tersebut.
Padahal, dari analisis big data, isu-isu negatif bukan berasal dari akun resmi tim kampanye. Isu-isu negatif tersebut disebarkan oleh akun-akun tidak resmi, tetapi memiliki amplifikasi yang kuat. Hal itu kemudian berkaitan dengan ketiadaan aturan yang terkait. Ketiadaan aturan menyebabkan akun-akun tersebut secara leluasa menyebarkan isu negatif, bahkan dalam periode masa tenang.
Ini menjadi catatan serius bagi penyelenggara agar ke depan kampanye melalui media sosial memiliki pengaturan yang jelas. Sebab, dampak dari persebaran isu negatif dan konsistensi usaha delegitimasi adalah menguatnya polarisasi sosial di masyarakat.
Padahal, salah satu tujuan awal dari dilaksanakannya perubahan mekanisme pemilu yang sebelumnya parsial kemudian dilakukan secara serentak adalah mencegah adanya konflik horizontal di level grassroot.
Namun, konflik horizontal tetap terjadi bahkan pada saat pascapemilu telah selesai. Penelitian PolGov (2019) menunjukkan bahwa polarisasi sosial yang terjadi pascapemilu 2019 merupakan ekses negatif dari polarisasi selama proses pemilu berlangsung.
Polarisasi Sosial Akibat Pemilu
Masyarakat terkotak-kotak pada orientasi politik dan cenderung memusuhi kelompok masyarakat yang memiliki orientasi politik yang berbeda.
Di Ambon, segregasi dan polarisasi itu terlihat jelas. Misalnya, dalam masa kampanye, tempat ibadah sering digunakan untuk melakukan himbauan atau larangan untuk memilih kandidat tertentu berdasarkan preferensi keagamaan.
Kandidat dan tim sukses juga terbatas ruang gerak selama masa kampanye di Ambon. Kandidat dan tim sukses seringkali hanya akan berkampanye di wilayah yang memiliki kesamaan agama.
Hal itu karena segregasi sosial masyarakat, tempat terjadi pengelompokan tempat tinggal berdasarkan agama sebagai akibat konflik agama yang terjadi di masa lalu.
Pemilu yang berisi berita bohong memperkuat polarisasi sosial politik masyarakat. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi dan eksistensi kohesi sosial.
Penutup: Imunitas terhadap Isu Negatif
Demokrasi menjamin kebebasan individu dan kesetaraan dalam mengakses sumber infomasi. Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pola interaksi masyarakat dan munculnya ketimpangan atas akses informasi.
Penyebaran isu negatif yang masif dalam Pemilihan Presiden 2019, tidak terlepas dari fenomena tersebut. Isu negatif tidak hanya menargetkan kandidat, tetapi juga KPU sebagai penyelenggara pemilu dengan target menurunkan kredibilitas penyelenggara, dan memberi kesan bahwa pemilu sebagai proses politik tidak sah lagi.
Secara keseluruhan, penulis percaya bahwa penyebaran isu negatif memiliki dampak destruktif yang tidak hanya berpengaruh di level struktur, tetapi juga di level grassroot.
Dibutuhkan penguatan dari sisi masyarakat, baik melalui literasi maupun pendidikan politik. Jika isu negatif seperti virus yang penyebarannya sulit dikendalikan, salah satu cara untuk menangkalnya adalah dengan memperkuat imunitas masyarakat.
Akhirnya, penulis menunjukkan bagaimana sebuah kenyataan politik dapat dibangun melalui penyebaran berita bohong yang secara massif dilakukan dengan sasaran warganegara dan pemilih.
Seorang anggota TNI AD dengan latar belakang pendidikan akademis doktor ilmu sosial konsentrasi kebijakan publik. Aktif dalam berbagai organisasi dan tercatat sebagai peneliti, analis kebijakan, dan pengajar perguruan tinggi.
selamat dan sukses Doktor Indra