Lintasan sejarah seringkali menjadi penting untuk memahami bagaimana sebuah tradisi dalam masyarakat bermula, agar kita menjadi masyarakat yang mampu meneruskan tradisi yang sudah baik tersebut. Pun dalam toleransi beragama, terkadang masyarakat kompleks saat ini dengan rezim kepentingannya cenderung melupakan tradisi yang akhirnya dapat berujung pada konflik identitas.
Tulisan berikut ini bukan hanya mengajak kita menengok bagaimana tradisi toleransi dulu bermula, namun juga mengajak kita untuk kembali merenungkan bahwa Islam dan Barat tidak selalu dihadapkan pada dua titik yang selalu berseberangan. Selalu ada ruang antara diantara keduanya untuk sebuah peradaban yang lebih cair dan punya makna.
—-
Pada Hari Senin, 24 April 2017 kemarin, umat Islam merayakan Isra’ Mi’raj. Hari besar ini seringkali kita maknai sebagai sarana mengingatkan umat Muslim tentang sejarah turunnya perintah shalat lima waktu.
Namun bukan hikmah dari perjalanan Isra’ Mi’raj yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Saya akan mengulas bagaimana kisah Isra’ Mi’raj menjadi salah satu bukti bagaimana budaya Timur dan Barat di jaman Abad Pertengahan berkelindan secara dinamis dan saling memengaruhi.
Apabila Anda menelusuri sejarah peradaban Islam, akan diketahui betapa besar pengaruh Islam terhadap dunia Barat, dan begitu juga sebaliknya. Tercatat tiga tempat yang menjadi jembatan hubungan ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan agama antara Timur dan Barat, yakni Syria (Suriah), Spanyol (Andalusia), dan Sicilia. Syria (Suriah) dan Spanyol (Andalusia) merupakan tempat berinteraksinya peradaban Barat dan Islam, sedangkan Sicilia sempat menjadi kota Muslim di jaman kekhalifahan Fatimah sekitar tahun 948, dimana sedikitnya 3.000 mesjid berdiri di kota ini.
Peradaban Barat seringkali menjadi panutan dan tolok ukur dalam menilai berbagai aspek dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia sastra. Namun tak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya peradaban Islam memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sastra Barat. Salah satunya adalah pengaruh kisah Isra’ Mi’raj terhadap The Divine Comedy karya Dante.
Dante (1256-1321) adalah seorang penyair Italia dari abad ke-13. Dalam karyanya yang menjadi tonggak sastra Barat kanon (sastra yang sudah mapan dan menjadi tolok ukur kualitas sebuah tulisan), yakni The Divine Comedy (terdiri dari Inferno, Purgatorio, dan Paradiso), Dante mengisahkan tentang perjalanan imajiner dirinya melewati neraka, alam barzakh (purgatory), dan surga. Dengan ditemani oleh Virgil, penyair jaman Romawi, sebagai pembimbingnya, Dante bertemu dengan berbagai tokoh terkenal di dunia pada masa-masa sebelumnya. Di Inferno (Canto XXVIII.28-36), di neraka lapis bawah, Dante bertemu dengan Muhammad yang digambarkan sedang meratapi penderitaan karena siksaan yang diterimanya.
Muhammad dan Ali ditempatkan bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain yang menurut Dante memikul dosa sebagai pemecah belah masyarakat. Gambaran siksaan kepada Muhammad bisa dikatakan amat kejam dan mengerikan. Dengan tubuh yang terbelah menjadi dua, lalu utuh kembali, dan terbelah lagi, dan seterusnya, Muhammad dianggap pantas menerima hukuman atas dosanya menjadi pemecah belah dunia dengan mendirikan agama baru. Kemungkinan besar Dante juga mengetahui sejarah Islam tentang pecahnya umat Islam menjadi Sunni dan Syiah, karena dia juga menempatkan Ali di lingkar yang sama. Dengan menghukum dua figur Islam yang paling berpengaruh di neraka lapis bawah, Dante telah menunjukkan kebenciannya terhadap Islam.
Namun sebenarnya Dante sedikit banyak menunjukkan simpatinya kepada Islam, khususnya dalam bidang filsafat dan kenegaraan. Di karya yang sama, Inferno, Dante menyebut tiga tokoh yang berpengaruh dari dunia Islam. Dalam catatan sejarah Islam, ketiga tokoh Muslim ini adalah Avicenna (Ibn Sina), filsuf dan ilmuwan dari Baghdad di abad ke-9 yang karya-karyanya menjadi acuan ilmu kedokteran di Timur dan Barat selama berabad-abad lamanya, Averroes (Ibn Rushd), filsuf Andalusia/Spanyol Muslim di abad ke-11 yang lebih dikenal di Barat sebagai komentator Aristoteles, dan Sultan Saladin dari Mesir yang berhasil merebut Jerusalem dari tangan penguasa Kristen. Ketiga tokoh ini ditempatkan di Limbo, tempat orang-orang baik dikumpulkan tetapi tidak ditempatkan di surga karena mereka tidak dibaptis. Dengan menempatkan ketiga tokoh ini di Limbo, berarti Dante membuka kesempatan bagi mereka untuk memperoleh keselamatan (salvation).
Bagaimana kita sebagai masyarakat yang literat menyikapi karya sastra kanon seperti ini? The Divine Comedy bisa saja dianggap sebagai karya kanon dalam artian bahwa karya ini digunakan di pendidikan Barat dalam pembelajaran Sastra. Meskipun begitu, karya yang sama bisa saja dianggap bukan kanon dalam hal sentimen agama yang disampaikan. Pandangan agama Dante cenderung menguatkan hegemoni budaya Barat, dan sah-sah saja dijadikan bahan kritik Kajian Budaya atau Poskolonial karena mengamini oposisi biner Islam/Barat.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa sepak terjang Dante juga menunjukkan sikap yang ambivalen–benci dan simpati–terhadap Islam. Dante memberi penghargaan tinggi kepada dua filsuf Muslim (Avicenna dan Averroes) yang juga adalah pakar ilmu Al-Qur’an. Dante juga menaruh hormat tinggi kepada Sultan Saladin, seorang negarawan yang menjadi simbol jihad melawan penguasa agama yang dianut Dante. Bukankah lebih masuk akal bila Dante memasukkan Saladin ke neraka? Bila kita telusuri sejarah perkembangan Islam pada masa itu, Saladin ternyata banyak disebut sebagai tauladan seorang ksatria dan negarawan sejati, yang memperlakukan musuhnya dengan cara-cara yang baik dan manusiawi. Ini sangat jauh berbeda dengan perlakuan para tentara Kristen yang secara membabi buta membunuh orang-orang tidak berdosa, terutama di Perang Salib ke-1.
Banyak sumber yang menyatakan bahwa Avicenna dan Averroes berupaya untuk menghadirkan harmoni antara filsafat Aristoteles dengan hikmah dalam Qur’an. Misalnya saja, Averroes berpandangan bahwa ayat-ayat di dalam Qur’an, bila ditafsirkan dengan tepat dan menggunakan akal, maka dapat digandengkan dengan filsafat. Filsafat agama seperti ini besar pengaruhnya terhadap munculnya Christian Scholasticism.
Averroes banyak memberikan pengaruh kepada perkembangan pemikiran di Barat pada abad ke-13. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sehingga filsafat Aristoteles lebih mudah dipahami di dunia Barat. Dante sendiri bahkan dituduh sebagai pengikut Averroes dan dikucilkan dari kota kelahirannya, dan karya-karyanya dibakar oleh penguasa. Pandangan ini bisa menjadi penjelasan mengapa Dante menolak Islam sebagai sebuah keyakinan beragama (sebagaimana tercermin dalam gambarannya tentang Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Ali), namun mengagumi Islam sebagai sebuah filsafat.
Pengaruh Islam yang lebih mengejutkan lagi, terutama bagi dunia Barat adalah kritik terhadap keaslian The Divine Comedy. Karya besar yang menjadi bacaan “wajib” bagi mereka yang menekuni Sastra Barat di dunia Barat, ternyata banyak sekali kesamaannya dengan kisah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Adalah Miguel Asin Palacios, seorang pastur dari Spanyol, yang telah menghabiskan sekitar dua puluh lima tahun untuk menelusuri sumber-sumber yang memberikan inspirasi bagi Dante. Palacios menyatakan bahwa Dante mengambil kisah Isra’ Mi’raj dan berbagai tulisan dari dunia Islam. Dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Islam and The Divine Comedy (1919), Palacios memberikan begitu banyak detil kesamaan dalam membandingkan keduanya, sehingga hampir mustahil kesamaan-kesamaan itu hanyalah kebetulan saja.
Penelitian Palacios patut diakui kebenarannya. Apabila kita betul-betul menelusuri episode-episode dalam The Divine Comedy yang menggambarkan neraka, alam barzakh, dan surga. Kita bisa menemukan begitu banyak kemiripan dengan gambaran neraka dan siksaan-siksaan terhadap berbagai macam dosa di setiap lapis neraka, maka sebagaimana tertulis di Al-Qur’an dan Hadith. Ambil saja sedikit contoh: Baik kisah Isra’ Mi’raj (Sahih Bukhari, Kitab 23, no. 468) maupun The Inferno (Canto XII.46-8) menggambarkan siksaan yang sama kepada orang yang meribakan uang. Mereka ditenggelamkan ke dalam sungai darah, dan dilempari batu yang kemudian mereka telan.
Kemiripan yang patut disebut juga adalah bentuk siksaan yang terus menerus, misalnya kondisi fisik yang pulih dan utuh kembali untuk kemudian disiksa lagi. Dante memberikan gambaran di hampir seluruh bagian di Inferno. Sementara itu, umat Muslim sudah akrab dengan gambaran seperti ini, sebagaimana yang tersebut di Al-Qur’an (QS An-Nisa: 56: Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).
Mungkinkah seorang Dante membaca Al-Qur’an dan/atau hadist secara langsung sebagai sumber inspirasinya? Isu tentang keaslian The Divine Comedy ini cukup kontroversial. Untuk memberi jawaban yang singkat, penjelasan yang sementara ini dianggap paling memungkinkan adalah bahwa Dante terinspirasi oleh karya seorang Sufi dari Andalusia pada abad ke-13, Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Karyanya, Futuhat Al Makkiyah, adalah kisah perjalanan mistis Ibn ‘Arabi, yang ditulis dengan menggunakan kisah Isra’ Mir’aj sebagai dasar.
Ada pula banyak bukti bahwa pada masa hidup Dante, kisah Isra’ Mi’raj dalam versi bahasa Latin cukup dikenal. Mentor Dante, Brunetto Latini, pernah bekerja untuk Raja Alfonso X di Toledo, Spanyol. Alfonso X memerintahkan penterjemahan banyak karya bahasa Arab ke bahasa Latin, dan salah satunya adalah kisah Isra’ Mi’raj. Kita bisa berspekulasi bahwa Dante juga mendapatkan sumber-sumber ini dari gurunya.
Apakah pesan penting dari uraian saya di atas? Melalui tulisan ini, saya berharap agar kita semua umat manusia untuk belajar menerima perbedaan tanpa harus kehilangan keyakinan beragama kita masing-masing.
Kita semua sadar bahwa ketidaktahuan masyarakat awam non-Muslim tentang Islam adalah akar dari Islamophobia. Sama halnya umat Muslim yang awam tentang keyakinan lain bisa menjadi ladang subur tumbuhnya kebencian. Kita bertetangga dengan berbagai pemeluk agama, namun tahukah kita, atau pernahkah kita saling bertanya dengan tulus tentang makna peringatan hari raya agama lain?
Kita diharapkan untuk menunjukkan toleransi terhadap agama lain, namun apalah artinya toleransi bila tidak disertai dengan keterbukaan terhadap adanya perbedaan? Di jaman yang bersifat multikulturalis ini, perbedaan bukanlah sesuatu yang perlu disembunyikan demi sebuah keseragaman, karena pada dasarnya perbedaan membuat kita semakin kaya, tanpa harus kehilangan identitas agama dan budaya masing-masing.
Sudah banyak yang dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara Islam dan Barat, namun jalan yang harus ditempuh masihlah sangat panjang. Benturan peradaban masih campur aduk dengan konflik agama. Barangkali tak perlu diperdebatkan mana yang ayam, mana yang telur. Kita benar-benar membutuhkan upaya yang keras dan terus menerus untuk membuka mata dunia bahwa batas-batas dan dikotomi Timur/Barat, Superior/Subordinat, dan Modern/Tradisional sebenarnya hanyalah garis maya.
Satu-satunya cara untuk membangun kesepahaman adalah dengan mengupayakan keterbukaan terhadap satu sama lain dan kesungguhan untuk menghargai tradisi masing-masing. Bukankah Allah telah menciptakan dunia ini penuh dengan perbedaan agar manusia bisa mengenal satu sama lain. Allah berfirman dalam QS Al-Hujuraat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
*) Tulisan ini disarikan secara singkat dari tesis MA saya berjudul The Representation of Islam in Medieval Literature (2004). Versi singkat dalam bahasa Indonesianya pernah saya sajikan dalam Pidato Ilmiah Lustrum ke-8 Unesa pada akhir tahun 2004.
Pegiat literasi dan sehari-harinya merupakan dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris pada Universitas Negeri Surabaya, Tulisan-tulisannya yang selalu bertemakan “literasi” membuka cakrawala berpikir para pembacanya.
keterbukaan macem mana buk. dialog agama.. ?