
“Pak, kok melamun? Ayo jalan.. Lampunya sudah ijo“, tegur seorang penumpang.
“Oh, iya iya.. maap mas.”
Bapak ojek online menghela napas panjang, lalu menjawab sambil pelan-pelan menambah kecepatan.
“Ini, Mas, kepikiran anak. Saya habis-habisan biayain dia sampai lulus kuliah. Harapannya bisa kerja, bantu adik-adiknya. Tapi tahu-tahu setelah wisuda, dia malah mau nikah, mau berbakti ke suami saja. Terus, ijazahnya buat apa coba?”
”Loh, Pak, kan namanya juga jodoh, lagian, menikah juga membuka pintu rezeki….”, jawab sang penumpang mencoba menghibur.
”Bukan soal jodoh, Mas. Saya sudah kasih makan enak dari kecil, disekolahkan di tempat yang bagus. Kok hasilnya begini? Rasanya kayak investasi bodong, Mas.”
_
Kisah ini adalah cermin nyata dari ketidakpastian investasi pada generasi muda. Contoh kenyataan pahit bahwa upaya jangka panjang dalam mempersiapkan angkatan kerja masa depan tidak selalu berbuah manis.
Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang investasi pada pendidikan?
Input: Bukan Cuma Anggaran
Memang, investasi pada generasi muda adalah sebuah proses yang kompleks dan bertahap. Di sini, kita coba bedah menggunakan teori Input-Process-Output-Outcome-Impact (IPOOI). Input adalah fondasi, yang sayangnya di banyak kasus, (dan sayangnya juga, banyak yang gagal paham) bukan cuma soal uang.
Input paling dasar adalah pemenuhan gizi dan kesehatan. Logika sederhananya, anak yang lapar tak bisa fokus belajar. Asupan gizi yang kurang memadai, mengganggu perkembangan otak.
Program-program yang bertujuan memastikan
anak-anak mendapatkan asupan gizi yang layak—seperti makan siang gratis—adalah langkah awal yang fundamental. Saat ini, pembagian makanan dianggap investasi paling awal untuk membangun fondasi fisik dan kognitif yang kokoh.
Namun, di sini pula letak ironinya. Sementara ada fokus besar pada program makan bergizi, kita juga harus jujur melihat skalanya. Anggaran yang dialokasikan untuk program ini konon menjadi yang terbesar, sebuah penanda prioritas yang jelas.
Tetapi, apakah ikhtiar ini sudah cukup?
Ingat, angka 80 juta penerima manfaat hanyalah pijakan pertama. Belum layak dibanggakan. Pemenuhan gizi sebagai langkah selanjutnya pun masih dipertanyakan, melihat fakta adanya selembar semangka yang disajikan.
Sedikit di atasnya, anak-anak yang sudah kenyang masih butuh guru yang mumpuni, sekolah yang layak, dan kurikulum yang relevan. Jika kita hanya berfokus pada satu input ini, kita berisiko menciptakan generasi yang perutnya kenyang, tetapi otaknya tidak terisi maksimal.
Akankah kokoh sebuah rumah yang fondasinya cuma batu, tanpa pasir, semen dan air?
Misal pun makanan, guru, ruangan dan kurikulum sebagai inputnya bagus, dalam prosesnya, setelah anak kenyang, malah ngantuk, tidur, dan gagal belajar. Apalagi, seperti yang kita lihat dari beberapa kasus keracunan, alih-alih belajar, ratusan siswa antri di UGD, bahkan sampai harus opname.
Artinya, implementasi di lapangan juga jauh dari sempurna, menunjukkan bahwa input pun memiliki risiko.
Process: Antara Guru dan Kurikulum
Setelah input diberikan, tantangan berikutnya adalah process atau proses belajar mengajar itu sendiri. Di sinilah peran guru menjadi krusial. Guru yang kompeten, kreatif, dan berdedikasi adalah tulang punggung dari setiap sistem pendidikan yang sukses.
Tapi kita sering lupa, input berupa kualitas guru di Indonesia masih sangat timpang. Di kota-kota besar, di sekolah unggulan, anak-anak mungkin beruntung mendapatkan pengajar yang berkualitas dengan fasilitas yang memadai.
Sementara di daerah terpencil, guru-guru harus berjuang dengan gaji minim, pelatihan terbatas, dan sarana prasarana yang jauh dari kata layak.
Bayangkan, bagaimana mungkin anak-anak bisa belajar dengan baik jika mereka harus berdesakan di kelas yang terancam roboh? Dengan satu buku lusuh untuk lima orang? Dengan guru honorer yang mengajar pada tiga kelas sekaligus di saat yang bersamaan?
Rumitnya, masalah bukan hanya pada guru dan infrastruktur. Kurikulum juga harus relevan dengan kebutuhan zaman. Banyak lulusan, dari sekolah kejuruan hingga universitas, yang merasa ilmunya tidak terpakai di dunia kerja.
Punya ijazah, tapi tidak memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan industri. Sampai muncul anekdot bahwa IPK tinggi itu cuma bukti kalau seseorang sudah bersabar, duduk di tempat yang sama selama empat tahun tanpa absen, serta sesekali mengerjakan tugas yang hasilnya bisa diterima oleh pengajar.
Cuma itu.
Kemampuan bersabar dan menyelesaikan tugas, tak peduli apapun jurusannya, itulah yang jadi bahan gambling para HRD dalam perekrutan.
Mau bukti?
Silahkan survey, berapa persentase angkatan kerja kita yang mendapat pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan?
Bisa disimpulkan, tanpa proses penyusunan kurikulum yang terintegrasi antara pendidikan dan kebutuhan industri, kita hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak siap menghadapi tantangan, dan menjadi beban dengan predikat pengangguran berpendidikan.
Output & Outcome: Lulusan Tanpa Jaminan
Lulus dari sekolah atau universitas dengan nilai baik adalah output dari proses pendidikan. Namun, output ini tidak serta merta menjadi outcome yang kita harapkan. Outcome yang ideal adalah lulusan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang relevan.
Sayangnya, fenomena “pengangguran terdidik” menjadi risiko nyata dari investasi pendidikan yang salah arah. Cerita bapak ojek online di awal adalah gambaran dari situasi ini. Tentu, ini bukan lagi soal harapan orang tua yang terlalu tinggi, melainkan sebuah realitas yang pahit, ketika ijazah tidak bisa dikonversi menjadi kunci rezeki.
Maka, ketika anak-anak ini akhirnya lulus, mereka menghadapi rintangan terakhir: ketersediaan lapangan kerja. Semua upaya dari pemenuhan gizi, kualitas guru, hingga kurikulum yang disesuaikan akan sia-sia jika tidak ada pekerjaan yang menunggu.
Bonus demografi, yang seharusnya menjadi aset terbesar bangsa, akan berubah menjadi bom waktu. Jutaan pemuda yang berpendidikan tinggi namun menganggur akan menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi, yang merupakan dampak negatif dari outcome yang tidak tercapai.
Impact: Indonesia Emas, Cemas, Gemas, atau Lemas?
Pada akhirnya, keberhasilan semua tahapan ini akan bermuara pada dampak jangka panjang. Bonus demografi 2045 adalah kesempatan emas yang hanya datang sekali. Kita punya populasi usia produktif yang luar biasa besar, sebuah modal yang bisa mengantarkan Indonesia ke puncak kejayaan ekonomi.
Namun, jika modal ini tidak diolah dengan baik, niscaya akan menjadi beban yang mencekik. Membangun generasi yang sehat dan cerdas adalah keharusan, bukan pilihan.
Tapi, kecerdasan itu harus diimbangi dengan kesempatan. Tanpa lapangan kerja yang memadai, semua ijazah, sertifikat, dan keterampilan yang mereka miliki akan menjadi tumpukan kertas tak berarti.
Di sinilah pertanyaan besarnya muncul: apakah kita sedang menuju Indonesia Emas? Atau jangan-jangan, kita malah akan menghadapi Indonesia Cemas—di mana jutaan pemuda terpelajar was-was karena masa depan yang tak jelas?
Bisa jadi kita hanya akan merasa Gemas karena melihat potensi besar yang terbuang sia-sia, atau lebih parah, menjadi Lemas karena terbebani oleh pengangguran massal dan ketidakstabilan sosial.
Pilihan ada di tangan kita.
Jika kita hanya memberi makan, sementara guru, sekolah, kurikulum, dan lapangan kerja tidak disiapkan, siap-siap saja kalau nanti terhempas, tergilas, bahkan tertindas.
Investasi pada Ekosistem
Kisah pembuka tadi sekaligus menjadi alarm bahwa investasi pendidikan kita harus beranjak dari pendekatan proyek menjadi pendekatan ekosistem.
Selama ini, kita cenderung melihat setiap program sebagai entitas terpisah: anggaran makan bergizi, pelatihan guru, pembangunan sekolah. Padahal, semua itu adalah mata rantai yang saling terhubung. Solusi kritisnya adalah memetakan dan mengintegrasikan semua program tersebut dalam satu kerangka kerja yang holistik.
Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus duduk bersama merancang sebuah peta jalan yang jelas, mulai dari gizi anak, pengembangan kurikulum, hingga penciptaan lapangan kerja, dengan indikator keberhasilan yang terukur di setiap tahapannya.
Tanpa integrasi ini, program sebesar apa pun hanya akan menjadi input yang tidak menghasilkan outcome yang signifikan.
Kalau ternyata ujung masalah terbesar lulusan kita
adalah ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan, solusi outside-the-box yang bisa dijajaki adalah revolusi pendidikan vokasi. Tentu, bukan sekadar proyek menambah jumlah sekolah kejuruan, melainkan menjadikannya sebagai model pendidikan utama yang selaras dengan perkembangan industri 4.0 dan 5.0.
Caranya? Buat kurikulum yang disusun dan diajarkan bersama-sama oleh para akademisi dan profesional industri. Siswa bisa menghabiskan 50% waktunya di sekolah dan 50% di pabrik atau kantor.
Pemerintah bisa memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mau membuka program magang atau pelatihan, dan membuat regulasi yang mewajibkan kolaborasi. Dengan begitu, kita dapat mencetak talent yang siap pakai dan relevan dengan pasar kerja saat mereka lulus.
Terakhir, kita perlu mengubah narasi dari “bonus demografi” menjadi “aset investasi”. Bonus demografi terdengar seperti keuntungan yang datang begitu saja, sementara aset investasi membutuhkan perawatan, strategi, dan ROI yang terukur.
Artinya, setiap program yang menyentuh generasi muda—mulai dari program gizi, beasiswa hingga pembukaan lapangan kerja—harus diperlakukan layaknya sebuah investasi bisnis. Ada analisis biaya-manfaat yang jelas, ada pengawasan ketat, dan ada evaluasi dampak yang jujur.
Dengan mentalitas ini, kita bisa memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar berkontribusi pada pertumbuhan dan kesejahteraan jangka panjang, sehingga kisah investasi bodong di dunia pendidikan tidak lagi terdengar di masa depan.
______________________________
Kembali ke keluh kesah bapak ojek ~ beliau layak kecewa, karena merasa telah memberikan yang terbaik, namun ketetapan Tuhan lain dengan harapan. Tetapi, hal itu tidak boleh menjadi justifikasi untuk berhenti berinvestasi di sektor pendidikan.
Justru dari berbagai kasus kegagalan, kita bisa belajar dan ikhtiar agar tetap berada di jalur yang benar. Karena hanya dengan menjalankan usaha maksimal, kita baru boleh berkata “Kami sudah tawakkal”.
Super sekalih 🔥
Paragraf penutup yg epik mas 👍
Bagus ulasannya, memberikan pencerahan..
ditunggu tulisan selanjutnya Pak Ditya.