Integritas ASN, Fondasi Tak Kasat Mata Birokrasi

by | Nov 15, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) masih merupakan impian sebagian besar masyarakat. Bukan hanya soal gengsi namun juga soal kepastian dan kontinuitas penghasilan di tengah minimnya pilihan alternatif pekerjaan yang ada. 

Tiap tahun jutaan orang berebut dan berbondong-bondong mencoba peruntungan untuk mendaftar, bersaing dengan sesama pencari kerja dengan harapan bisa menjadi bagian dari birokrasi.

Pilihan menjadi ASN seharusnya disadari dari awal kesempatan
untuk menjadi bagian dari public servant/pelayan masyarakat. Oleh karena itu dalam setiap awal perjalanan karir sebagai ASN, soal integritas, kejujuran dan segudang nilai yang menjadi standar pelayan yang baik terus ditanamkan dalam berbagai bentuk.

Bekal ilmu pengetahuan, semangat pengabdian  dan setumpuk idealisme untuk berkontribusi bagi negara sudah mereka kantongi. Harapannya sederhana, menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.

Namun, tak jarang, seiring berjalannya waktu, idealisme itu perlahan terkikis, terbentur, bahkan tersayat oleh realitas birokrasi yang kerap kali terasa kontradiktif dengan nilai-nilai yang mereka pegang teguh. 

Sudah dari sononya begitu

Sebuah sistem yang dalam banyak kasus, tampak “sudah dari sononya begitu” dan bertentangan dengan hati nurani, menempatkan para ASN terjebak dalam pilihan yang dilematis antara bertahan dengan prinsip, atau menyerah pada arus demi kelangsungan pekerjaan.

Barangkali cukup banyak dari ASN yang sangat memahami situasi itu. Ketika semangat dan idealisme yang dulu menggebu di saat awal dalam status ASN, lambat laun mulai terkikis oleh realitas, ketika sistem yang kita layani setiap hari justru menyodorkan kenyataan yang sering tak sejalan dengan nilai-nilai moral yang kita pegang.

Keresahan ini bukanlah isapan jempol belaka. Dalam berbagai kesempatan dan percakapan secara diam-diam, banyak ASN mulai merasakan perihnya dikotomi antara keinginan untuk bekerja secara lurus dengan tuntutan tak tertulis dan tekanan sistem untuk “mengikuti ritme” yang seringkali berbau kolusi, nepotisme dan praktik curang.

Mereka merasa tersisih, terluka secara moral dan teralienasi. 

Berbagi Rasa Sakit dan Alasan Bertahan

Sakit rasanya menjumpai fakta bahwa kemampuan dikalahkan dengan lobi dan pendekatan, setumpuk norma dan persyaratan hanya menjadi hiasan tanpa makna dan tersisih oleh praktik negosiasi kompromistis dan rekomendasi “orang dalam” yang hanya mempertimbangkan pertimbangan subyektif.

Promosi diberikan bukan karena prestasi, tapi lebih karena relasi dan kedekatan. Mereka melihat integritas dikalahkan oleh kedekatan politik. Dan mereka tahu, jika bersuara, mereka akan terdepak, terpinggirkan bahkan karier bisa berhenti seketika.

Betapa getir rasanya ketika idealisme yang terus kita pertahankan, kini hanya menjadi bara kecil dalam himpitan birokrasi dan politik kepentingan.

Dalam kamus kesedihan para ASN yang memilih tetap bertahan dengan seluruh idealismenya, luka moral bukan hanya soal disakiti oleh orang lain, melainkan juga tentang menyaksikan ketidakadilan setiap hari namun tak mampu berbuat apa-apa. 

Alasan bertahan pun beragam, seringkali karena tidak adanya pilihan alternatif yang lebih menjanjikan, baik karena keterbatasan peluang dan skill di pasar kerja lain, tekanan ekonomi, atau bahkan rasa tanggung jawab terhadap keluarga. 

Menjaga Kewarasan

Pertanyaan krusial kemudian muncul, bagaimana menjaga kewarasan agar tidak terseret dalam arus yang merusak ketika pilihan untuk keluar terasa mustahil? 

Bertahan sebagai ASN yang masih menjaga integritas adalah perjuangan yang tidak ringan. Mereka yang tetap berpegang teguh pada nurani seringkali justru merasa terasing.

Mereka menyaksikan praktik-praktik yang bertentangan dengan etika kerja, namun tak berdaya untuk bersuara apalagi menegur secara langsung. Mereka cenderung  memilih diam, bukan karena takut, tapi karena terlalu sering dibenturkan pada dilema yang melelahkan secara psikis.

Menjadi birokrat yang lurus bukan pilihan yang mudah dan bebas resiko. Karena kejujuran tidak selamanya membawa pada kemujuran, justru sebaliknya kejujuran dalam banyak praktik seringkali membuat  kita tersungkur, tersisih dan terpinggirkan.

Orang jujur yang berada di tengah sistem sakit akan dianggap “penyakit” dan musuh bersama. 

Bagi sebagian orang, soal ini mungkin terdengar sepele. Tapi bagi mereka yang bekerja di dalam sistem yang tak lagi sejalan dengan hati nurani, ini bukan sekadar nasionalisme yang memudar. Ini tentang bagaimana sistem perlahan mencederai semangat dan keadilan.

Ini bukan sekadar kekecewaan profesional. Ini adalah krisis eksistensial. Ketika seseorang ingin mencintai negerinya, tapi tak tahu lagi bagaimana caranya, saat harapan berubah menjadi rutinitas yang penuh kepura-puraan.

Tetap waras dalam sistem yang sakit
adalah pilihan yang tak semua orang sanggup ambil. Tapi justru itulah bentuk cinta paling berani pada negeri ini, menjaga akal sehat dan nurani tetap menyala, bahkan saat diabaikan,
dilupakan atau dikorbankan.

Setiap hari, ASN seperti mereka memilih untuk tidak ikut larut. Mereka menolak terlibat dalam permainan kotor dan menyimpang meski dengan itu berarti tertinggal. Mereka menolak menyerah pada apatisme, meski itu berarti tersisih. 

Semangat untuk menjaga Nurani

Filsuf moral Indonesia, Franz Magnis-Suseno, pernah menulis: “Moralitas bukanlah teori, tapi hidup yang dijalani dengan integritas.” Maka ketika integritas tak lagi menjadi mata uang utama dalam sistem, yang terluka bukan hanya semangat kerja, tetapi juga eksistensi diri.

Bagi ASN yang merasa jenuh, lelah, atau nyaris putus asa, izinkan diri sendiri untuk mengambil jeda. Bernafas lebih pelan. Berdialog dengan hati sendiri. Dan percaya bahwa keberhasilan bukan hanya soal hasil akhir, tapi juga keberanian untuk tetap tegak di tengah tekanan.

Birokrasi butuh reformasi. Tapi reformasi tak hanya soal kebijakan. Ia juga dimulai dari dalam, dari hati ASN yang tetap memilih jujur, disiplin, dan teguh meski tak selalu diberi ruang.

Untuk para ASN yang masih menjaga nurani, kalian adalah fondasi tak kasat mata dari negeri ini. Meraka sejatinya sedang menyelamatkan wajah negara dari dalam. Mereka mungkin tak selalu terlihat, tak selalu dihargai, namun kehadiran mereka adalah pengingat bahwa negara ini masih punya harapan.

Mari kita berkaca, introspeksi sedalam-dalamnya, agar kejujuran dan integritas tidak kehilangan makna, terus menjadi cahaya meski kadang harus menepi dalam sunyi diantara arus kebisingan tingkah yang merusak dan bertentangan dengan nurani.

0
0
Moh. Munir ♥ Associate Writer

Moh. Munir ♥ Associate Writer

Author

Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kab. Bondowoso, Jawa Timur.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post