Inpres No 8 Tahun 2025: Jalan Terjal yang Harus Dilalui Bersama-sama

by | Jun 24, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi pemerintah Indonesia dalam menuntaskan agenda besar: penghapusan kemiskinan ekstrem.

Target ini sejalan dengan komitmen global melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya tujuan 1 (No Poverty), yang menargetkan penghapusan kemiskinan dalam segala bentuk di seluruh dunia pada tahun 2030.

Penghapusan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem telah dituangkan ke dalam berbagai kebijakan nasional sebagai pedoman utama pembangunan inklusif. Salah satu kebijakan paling mutakhir adalah diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Namun demikian, muncul pertanyaan mendasar: apakah Inpres ini cukup menjadi pengungkit untuk mencapai target nol kemiskinan ekstrem?

Kemiskinan Ekstrim

Sebagai gambaran awal, kemiskinan ekstrem sebagaimana dikutip dalam Official News Peta Kemiskinan Ekstrem Nasional Tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Badan Zakat Nasional adalah sebagai berikut.

Kemiskinan ekstrim merupakan ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam menopang kelangsungan hidup yang meliputi pemenuhan kebutuhan makan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Terdapat perbedaan antara kemiskinan dan kemiskinan ekstrem ditinjau dari pendapat per kapita perbulan sebagaimana gambar di bawah ini.

Secara spesifik, berikut grafik tren kemiskinan ekstrem nasional selama empat periode pengukuran terakhir berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS):


Output image

Meskipun trend grafik ini menunjukkan penurunan yang konsisten dan signifikan terutama antara tahun 2022 dan 2023 namun isu tersebut masih sangat relevan untuk segera mendapatkan perhatian serius sebagaimana target nol kemiskinan ekstrem.

Selain itu, mengingat masih terdapat daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem yang sangat tinggi seperti provinsi-provinsi di wilayah Papua dan Nusa Tenggara dengan angka kemiskinan ekstrem sangat tinggi (≥15%).

Inpres No. 8 Tahun 2025 sebagai Langkah Nyata Pemerintah

Inpres No 8 Tahun 2025 merupakan wujud konkret arahan presiden kepada jajaran kementerian/lembaga (K/L), pemerintah provinsi, hingga kabupaten/kota untuk melakukan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Substansi Inpres menitikberatkan pada integrasi dan sinkronisasi program, penyempurnaan pendataan, intervensi berbasis lokasi, serta pemanfaatan berbagai sumber pendanaan; baik dari APBN, APBD, maupun dana desa.

Secara khusus, Inpres ini menugaskan kementerian teknis seperti Kemensos, Kementerian Desa, Bappenas, dan Kemenkeu untuk menjadi tulang punggung koordinasi dengan dukungan K/L lainnya.

Sementara pemerintah daerah berperan sebagai pelaksana program secara langsung di lapangan.

Penajaman sasaran penerima manfaat dilakukan melalui pemutakhiran data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Sebagai analis kebijakan, saya melihat bahwa Inpres No. 8 Tahun 2025 membawa semangat baru untuk mengonsolidasikan berbagai upaya yang selama ini masih tersebar dan kurang terkoordinasi. Namun, seperti halnya kebijakan berskala nasional lainnya, pelaksanaannya di lapangan menyimpan tantangan teknis dan struktural yang perlu diantisipasi.

Kelebihan Inpres No 8 Tahun 2025

Inpres No 8 Tahun 2025 dapat dianggap sebagai penguatan arsitektur kebijakan penghapusan kemiskinan ekstrem. Dengan mendorong kerja terpadu antar K/L dan daerah, kebijakan ini berpotensi menyatukan berbagai program yang sebelumnya berjalan sendiri-sendiri sehingga potensi intervensi yang dilakukan lebih holistik.

Penekanan pada penggunaan data mikro, seperti Regsosek dan DTKS, menjadi langkah penting untuk memperbaiki sasaran program dan menghindari kebocoran bantuan.

Jika dijalankan dengan konsisten, arahan dalam Inpres ini bisa mengoptimalkan belanja sosial dan pembangunan agar lebih efisien dan berdampak langsung pada masyarakat miskin ekstrem.

Mengawal Inpres No 8 Tahun 2025

Beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam mengawal implementasi Inpres ini, antara lain:

  1. Koordinasi Lintas Sektor Masih Lemah: Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak program K/L yang berjalan paralel tanpa sinkronisasi. Hal ini menyebabkan tumpang tindih bantuan, ketidaktepatan sasaran, hingga pemborosan anggaran. Tanpa struktur koordinasi yang kuat, misalnya melalui pembentukan unit pelaksana lintas sektor yang memiliki mandat operasional, potensi inefisiensi akan terus berulang.
  1. Kesiapan Pemerintah Daerah Belum Merata: Banyak daerah, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), masih menghadapi kendala dalam aspek kelembagaan, SDM, dan infrastruktur digital. Padahal, mereka merupakan aktor utama dalam pelaksanaan program. Ketimpangan kapasitas ini bisa menyebabkan implementasi Inpres menjadi timpang dan tidak seragam antar wilayah.
  1. Kurangnya Penekanan pada Transparansi dan Partisipasi Publik: Dalam dokumen Inpres, belum terlihat mekanisme nyata yang mendorong pelibatan masyarakat dalam pemantauan dan evaluasi program. Padahal, pengawasan publik merupakan elemen penting dalam mencegah penyimpangan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Tanpa partisipasi yang bermakna, risiko ketidakadilan distribusi bantuan tetap tinggi meski desain program sudah baik.

Empat Langkah Agar Inspres Tak Sekedar Dokumen

Agar Inpres No. 8 Tahun 2025 tak berhenti di atas kertas, ada empat langkah penting yang disarankan:

  1. Pembentukan Task Force Nasional Khusus; Pemerintah perlu membentuk tim khusus lintas kementerian yang langsung berada di bawah koordinasi Presiden atau Wakil Presiden. Tim ini akan bertugas mengawal pelaksanaan Inpres, mempercepat solusi jika terjadi kendala, dan mendorong sinergi antarsektor. Instansi leading: Sekretariat Kabinet dan Bappenas
  1. Percepat Pemutakhiran dan Pemanfaatan Data Regsosek; Data menjadi kunci dari semua intervensi. Proses pemutakhiran harus melibatkan pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan kelompok rentan agar data yang dikumpulkan benar-benar mencerminkan kondisi riil di lapangan. Instansi leading: BPS (Badan Pusat Statistik), Kemendagri, dan Kemensos
  1. Membangun Sistem Monitoring Digital yang Transparan; Perlu dibuat dashboard digital nasional yang menampilkan data program kemiskinan ekstrem secara real-time, bisa diakses publik, dan memiliki indikator kinerja jelas untuk tiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Instansi leading: Kementerian PAN-RB dan Bappenas
  1. Pelibatan Masyarakat dan Media dalam Pengawasan; Penguatan pengawasan dengan tidak hanya dari atas ke bawah, tetapi juga dari bawah ke atas. Mekanisme pengaduan harus mudah diakses, edukatif, dan menjamin perlindungan pelapor. Media dan organisasi masyarakat sipil harus dilibatkan secara aktif. Instansi leading: Kementerian Kominfo dan Ombudsman RI

Penutup

Sebagai catatan bersama, keberhasilan penghapusan kemiskinan ekstrem tidak hanya ditentukan oleh komitmen politik, tetapi juga oleh ketepatan eksekusi kebijakan di lapangan.

Inpres No. 8 Tahun 2025 adalah langkah strategis, namun keberhasilannya sangat bergantung pada keberanian melakukan reformasi pelaksanaan secara menyeluruh.

Sudah saatnya kebijakan bukan hanya dibentuk dari pusat, tetapi juga dibumikan dengan empati, data yang benar, dan eksekusi yang tepat. Inpres No 8 tahun 2025 tidak boleh berakhir sebagai dokumen kebijakan semata demi masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari peta kesejahteraan bangsa.

1
0
Nur Khasanah Latief ♥ Associate Writer

Nur Khasanah Latief ♥ Associate Writer

Author

Penulis merupakan Analis Kebijakan di Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan LAN RI

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post