
Bagi pemerintah daerah, program efisiensi anggaran Presiden Prabowo telah memberikan tekanan yang keras. Semua pemerintah daerah harus segera mampu membiayai sendiri pembangunan daerahnya, termasuk untuk membayar gaji dan tunjangan pegawainya.
Jika mereka ingin tetap bertahan (sustain) ke depan, pemerintah daerah tidak bisa lagi bekerja dengan sistem ataupun kultur lama. Mereka harus segera berubah.
Agar dapat membiayai sendiri pembangunan daerah,
pemerintah daerah harus melakukan berbagai inovasi yang akan memungkinkan
kemandirian fiskal daerah. Jika hal itu tidak dilakukan, tentu Presiden Prabowo
bisa memilih alternatif lain, seperti melakukan penggabungan (merger)
pemerintah daerah yang tidak mampu mandiri.
Sebab, dengan perubahan yang cepat di tingkat global, tidaklah mungkin jika Pemerintah Pusat masih mempertahankan pemerintah daerah yang tidak mampu membiayai gaji dan tunjangan pegawainya sendiri. Hal ini sudah begitu membebani anggaran Pemerintah Pusat.
Agar bisa bertahan dan mandiri secara fiskal, pemerintah daerah di Indonesia harus segera melakukan berbagai inovasi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), dengan lebih kreatif lagi. Salah satunya adalah inovasi peningkatan PAD dari pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Saya melihat, salah satu inovasi yang kreatif itu sudah tampak di Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Baru-baru ini mereka menerbitkan tagihan PBB berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) tahun 2025 yang lebih inovatif.
Kenapa saya sebut lebih inovatif? Sebab, dalam SPPT-PBB tahun 2025 tersebut, terdapat akses untuk melihat kegiatan pembayaran dan juga tunggakan wajib pajak beberapa tahun ke belakang (sekitar 10 tahun ke belakang), sebagaimana tampak pada Gambar berikut.

Hal tersebut akan membantu masyarakat menjalankan kewajiban perpajakannya. Selain itu, masyarakat juga tidak perlu lagi menggunakan “oknum perantara” untuk mengetahui berapa PBB yang terhutang, yang biasanya diperlukan untuk kepentingan pengurusan jual-beli tanah dan bangunan.
Kita tentu memahami, salah satu momok saat ini adalah ketika ingin melakukan jual-beli tanah dan bangunan, para notaris mensyaratkan pelunasan PBB. Biasanya, penjual akan diminta biaya tambahan lagi untuk mengecek tunggakan tersebut dan kemudian melakukan pembayaran sesuai dengan nilai tunggakannya.
Jelas, di sisi pemerintah daerah, inovasi ini akan meningkatkan PAD secara langsung. Sebab, masyarakat akan langsung mengetahui tunggakan tahun-tahun sebelumnya yang menumpuk dan langsung melakukan pembayaran secara online (jika ada tunggakan). Inilah bentuk nyata optimalisasi PAD.
Hal semacam ini menjadi inovasi penting karena setelah PBB ini dialihkan ke pemerintah daerah tahun 2010 berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD), ternyata tidak banyak pemerintah daerah yang melakukan inovasi agar PBB tetap bisa menjadi sumber utama PAD mereka.
Alih-alih meningkatkan kualitas pemungutan PBB,
pemerintah daerah banyak yang masih menggunakan sistem aplikasi PBB dan format SPPT-PBB lama ketika PBB ini dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak,
dengan biaya lisensi database yang sangat mahal.
Dulu, sebenarnya saya pernah menyarankan kepada beberapa pemerintah daerah agar memodifikasi format SPPT-PBB dan memunculkan daftar tunggakan di SPPT-PBB mereka. Dengan demikian, wajib pajak akan mengetahui berapa sebenarnya tunggakan mereka.
Kenapa informasi tunggakan itu penting? Ketika masih dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, SPPT-PBB itu pada kenyataannya didistribusikan melalui para kepala desa atau kelurahan. Walaupun masyarakat diberikan peluang membayar secara online, ternyata banyak masyarakat yang menitipkan pembayaran PBB mereka ke petugas desa atau kelurahan.
Sialnya, banyak sekali titipan pembayaran tersebut yang tidak disetorkan oleh petugas desa atau kelurahan ke bank penerima.
Memang, saya melihat, sudah ada pemerintah daerah yang menerapkan pemikiran yang saya sarankan tersebut. Sebagai contoh, SPPT-PBB tahun 2022 dari Pemerintah Kota Tangerang (walaupun kemudian menimbulkan kontroversi di masyarakat) sudah pernah menampilkan daftar tunggakan PBB sebagaimana tampak berikut.

Kelemahan pada SPPT Pemerintah Kota Tangerang tersebut adalah lembarnya menjadi panjang kalau kita ingin menampilkan daftar tunggakan selama 10 tahun. Bahkan, bisa menjadi tambahan lampiran tersendiri.
Langkah Selanjutnya
Inovasi SPPT-PBB Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang memberikan akses informasi ke daftar pembayaran dan tunggakan PBB 10 tahun sebelumnya melalui penampilan QR Code di SPPT-PBB perlu diacungi jempol. Inovasi ini juga perlu direplikasi ke pemerintah daerah lainnya, dan bahkan mesti menjadi standar nasional.
Kementerian Dalam Negeri perlu memberikan panduan baru agar SPPT-PBB yang mencantumkan QR Code tersebut menjadi standar nasional yang diterapkan di seluruh pemerintah daerah.
Sambil menunggu standar nasional ini, masing-masing pemerintah daerah mestinya segera menjalankan langkah inovasi berupa pengamatan, peniruan, dan jika perlu modifikasi sesuai dengan konteks daerahnya masing-masing.
Inovasi yang kemudian perlu juga dilakukan adalah pemerintah daerah dapat menerima secara online usulan perubahan nama di SPPT-PBB, dan kemudian memprosesnya. Kita tentu memahami banyak SPPT-PBB yang masih atas nama developer dan belum diubah ke pemilik barunya.
Bahkan, ketika terjadi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), banyak masyarakat yang sudah memperoleh sertifikat tanah dengan ukuran baru. Hal ini harus disesuaikan dengan data di SPPT-PBB. Kegiatan tambahan berupa rekonsiliasi dan pemutakhiran data harus dilakukan secara berkelanjutan.
Jangan Lakukan Hal Ini
Pemerintah daerah jangan malah mencontoh kondisi di Desa Cirendeu, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang. Beberapa warga di sana tidak lagi menerima SPPT-PBB secara rutin melalui Kepala Desanya.
Bahkan, ketika saya coba akses informasi eSPPT melalui https://next.esppt.serangkab.go.id malah memunculkan pesan “Service Unavailable“:

Padahal, janji di situsnya sangat menggiurkan, seperti tampak berikut ini.

Dari wawancara dengan salah satu warga, saya mendapat informasi bahwa jika kita memiliki tunggakan PBB di Kabupaten Serang dalam dua tahun, SPPT-PBB kita akan dinonaktifkan dan tidak disampaikan lewat Kepala Desa.
Kita yang harus datang langsung ke kantor Bapenda Kabupaten Serang untuk mengaktifkannya kembali. Bahkan, kita akan diminta untuk mengurus surat keterangan dari Kepala Desa.
Tindakan tersebut tentu akan menyusahkan warga masyarakat dan juga menghambat upaya peningkatan PAD, yang kemungkinan malah hanya akan menguntungkan oknum tertentu.
Padahal, upaya peningkatan PAD harus terus dilakukan. Hal ini akan memungkinkan pemerintah daerah semakin mandiri, tidak terus-menerus “menyusu” dari Pemerintah Pusat.
Semoga bermanfaat!
0 Comments