Berbicara tentang pengelolaan keuangan pemerintah, tentu tak dapat lepas dari dua unsur pokok penting terkait dengan anggaran, yaitu anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran. Meski kedua unsur tersebut terlihat berseberangan dan berbeda fungsi, namun kolaborasi keduanya akan dapat membentuk sebuah sistem pengelolaan keuangan, yang meliputi tahapan-tahapan untuk mencapai tujuan organisasi.
Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 serta perubahan-perubahannya menyebutkan bahwa yang dimaksud pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan atau rangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung jawaban, dan pengawasan. Rangkaian tahapan ini diharapkan dapat membentuk suatu kegiatan yang sistematis dan optimal agar tujuan pengelolaan keuangan dapat dijalankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun tujuan dari pengelolaan keuangan itu adalah:
- Mengoptimalkan segala perencanaan kegiatan yang akan dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
- Meminimalisasi terjadinya pembengkakan pengeluaran dana yang tidak diinginkan (pemborosan) di kemudian hari dalam pelaksanaan sebuah proyek perencanaan.
- Mencapai target perencanaan yang lebih efisien karena adanya ketersediaan dana yang cukup serta telah direncanakan dan dapat dialokasikan dengan maksimal.
- Menghindari terjadinya penyimpangan terhadap alokasi dana yang ada dengan cara pemisahan tiap-tiap otoritas dalam pengelolaan keuangan.
- Memperlancar segala kegiatan yang terjadi di instansi/organisasi, karena adanya transparansi terhadap keuangan yang dimiliki.
- Menciptakan lingkungan kerja yang sehat, karena didukung oleh siklus keuangan yang berjalan dengan baik dan terencana.
Untuk mewujudkan tujuan dan azas pengelolaan keuangan, maka kunci utama adalah perencanaan yang optimal, efektif, dan efisien. Begitu pun dengan pelaksanaannya, harus memegang prinsip efisien, efektif, hemat dan tidak mewah.
Beberapa “fakta di lapangan” cukup menggambarkan adanya indikasi korupsi dari pemborosan yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karena lemahnya keseluruhan tahapan pengelolaan keuangan, mulai dari perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban.
Permasalahan yang komplek ini mengindikasikan bahwa modus-modus korupsi tersebut sudah terstruktur, sistemik, dan masif. Seperti kasus korupsi terbaru yang masih hangat kita saksikan, terbongkarnya mega skandal korupsi e-KTP yang menjadi bancakan di antara anggota legistatif, eksekutif, maupun swasta, terjadi secara masif dan terstruktur.
Celah penyimpangan karena perilaku boros
Adapun modus korupsi yang selama ini terungkap hanya berfokus pada berbagai praktik antara lain mark up, belanja fiktif, penggelapan, dan penyalahgunaan wewenang. Padahal bila ditelisik lebih dalam, ternyata celah-celah kecurangan yang diakibatkan karena perilaku inefisiensi (pemborosan) dan kemewahan justru lebih luas dan masif, serta potensi kerugian negarana pun jauh lebih besar dari pada suap dan gratifikasi. Jumlah hutang negara untuk membiayai pengeluaran negara akibat pemborosan pasti akan terus meningkat, bahkan kebangkrutan pun bisa saja terjadi. Budaya boros dan mewah ini terkesan legal dan belum tertangani secara baik karena selama ini terkesan dibiarkan.
Pertanyaannya, betulkah boros termasuk dalam kategori korupsi legal? Kalau jawabannya ya, mengapa nyaris tidak pernah tersentuh sebagai predikat korupsi? Bahkan kita semua juga terlena dan membiarkan pemborosan dan penyalahgunaan uang negara ini terus terjadi. Apakah pemborosan uang negara juga luput dari praktik pengendalian internal dan pengawasan lembaga-lembaga yang berwenang?
Padahal, hakekat perbuatan korupsi bukan hanya buah dari akibat perbuatan nyata yang dapat menimbulkan kerugian negara saja, namun juga dari perbuatan pemborosan keuangan negara, yang mana hal itu sama sekali tidak menambah peningkatan pada output atau outcome. Sumber utamanya adalah budaya yang melahirkan jiwa-jiwa korup, yaitu budaya instan, budaya boros, budaya gengsi, budaya gaya hidup mewah, dan budaya uang adalah segalanya.
Di kalangan birokrat, perilaku ini menjadi biasa karena seolah-olah modus ini dilindungi oleh kebijakan yang dianggap legal, melalui penerbitan dan pengesahan berbagai macam surat keputusan (SK) maupun peraturan-peraturan yang berindikasi korupsi. Sebagai contoh pemberian honor kepanitiaan, penganggaran makan minum rapat, pembelian perabot mewah, atau perjalanan dinas yang tidak tepat guna bisa jadi sebuah contoh inefisiensi yang perlu dicermati berpotensi menjadi penyimpangan.
Sistem anggaran yang dianut telah beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari sistem anggaran tradisional, sistem anggaran kinerja hingga yang terbaru sistem anggaran program, namun berbagai perubahan sistem anggaran tersebut ternyata belum juga mampu menghasilkan suatu tata kelola keuangan yang baik (good governance).
Penyebab utama terjadinya pemborosan
Dari modus-modus sumir tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ada 2 (dua) penyebab utama terjadinya korupsi akibat pemborosan yang terkesan ‘legal’, yakni penyebab dari sisi perencanaan dan penganggaran, dan sisi pelaksanaan.
1) Perencanaan dan penganggaran
Tahapan ini merupakan tulang punggung dan awal terbentuknya sebuah sistem pengelolaan keuangan yang dapat mengarah pada sistem keuangan yang bersih, efisien dan tidak mewah, atau malah sebaliknya pengelolaan keuangan menjadi boros dan mewah, karena adanya paradigma di kalangan birokrasi bahwa prinsip anggaran haruslah dihabiskan.
Cerminan ini menunjukkan bahwa sumber utama munculnya niat dan jiwa korup berasal dari peran perencanaan anggaran. Ini sangat vital karena sangat berpengaruh terhadap proses berikutnya di dalam pelaksanaan anggaran maupun pertanggungjawaban keuangan.
Harapan kita semua bahwa dengan perencanaan dan penganggaran secara matang, akurat, dan akuntabel secara pasti dapat menghilangkan rantai pemborosan, namun realitasnya tidak seperti yang diharapkan. Penyusunan perencanaan masih belum berdasarkan skala prioritas dan penganggaran masih mengandalkan pada asumsi dan perkiraan (peningkatan sejumlah persentase tertentu) yang tidak jelas. Akibatnya pembengkakan dalam perencanaan dan penganggaran masih saja terjadi, karena tidak didasarkan pada data-data perencanaan yang matang dan akurat, tidak berdasarkan skala prioritas, hanya copy paste dari perencanaan/penganggaran kegiatan tahun sebelumnya, serta tak jarang mengakomodir kegiatan-kegiatan sesuai permintaan atau pesanan pejabat yang berkepentingan. Bahkan, kecenderungan yang satu ini masih terjadi, yaitu masih adanya “gagasan kemewahan” dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran.
Praktik-praktik seperti inilah yang melahirkan perilaku boros dalam perencanaan dan penyusunan anggaran. Maka tak salah bila ada jargon perencanaan dan penganggaran adalah sasaran awal paling empuk terjadinya praktik korupsi.
2) Pelaksanaan anggaran
Pelaksanaan anggaran merupakan wujud dari hasil perencanaan anggaran yang sudah dilakukan. Pada tahapan ini pun sangat rentan terjadi penyimpangan, terutama melalui belanja pengadaan barang/jasa dan belanja modal, tatkala pemborosan yang telah didesain dalam perencanaan tetap saja dibiarkan. Kue-kue korupsi yang telah tersedia dalam anggaran yang sengaja dibuat besar itu akan semakin mendapat legalitasnya melalui penyusunan HPS, dan penerbitan surat keputusan berupa kepanitiaan yang tidak perlu dan perjalanan yang cenderung “boros”. Praktik seperti itu sudah biasa dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan selama ini.
Simpulan
Meskipun inefisiensi tidak dikategorikan sebagai tindakan korupsi, namun praktik tersebut sangat dekat dan dapat menjadi pemicu tindakan korupsi. Sebagai penutup, beberapa hal yang menurut saya perlu dilakukan untuk meminimalkan celah-celah inefisiensi adalah:
- Para birokrat secara bersama berkomitmen mewujudkan reformasi mental, terutama menumbuhkan kembali budaya hidup sederhana.
- Penggunaan sistem teknologi tepat guna yang mampu memutus rantai kegiatan yang terindikasi korup dalam perencanaan, penyusunan anggaran, maupun aplikasi pelaksanaannya.
- Pengelolaan keuangan dijalankan sesuai azas-azas dan tujuan organisasi yang efektif, efisien , ekonomis, transparan, dan akuntabel.
- Semua elemen masyarakat turut mengawasi (social control) jalannya pengelolaan keuangan yang dijalankan oleh pemerintah.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat penulis bekerja atau lembaga lain.
Bagus kajian dan analisisnya, Pak Darno. Ayo dong kirim ke Jawa Pos