Indonesia Setelah Jokowi: Antara Dominasi Oligarki dan Kuasa Rakyat

by Redaksi | Jan 23, 2023 | Pengantar Redaksi | 0 comments

Suit 2 | Part of a series of two. See the "Design" set to th… | Flickr

Di tengah perdebatan pemilu proporsional tertutup versus terbuka, seorang kaki tangan bos mafia, atau secara halus disebut oligarki negara ini, pernah mengungkapkan, bosnya sudah menyiapkan Rp30 triliun untuk investasi di 2 calon presiden (capres) yang kemungkinan besar terpilih pada Pilpres 2024.

Hal ini tentu akan menjadi tantangan besar demokrasi Indonesia setelah Jokowi. Mau dibawa ke mana demokrasi kita? 

Artikel berikut akan mengulas seberapa besar kemungkinan Indonesia semakin dikuasai oligarki yang menuju pada demokrasi cacat.

Kenapa Demikian?

Sebelum mengulas lebih lanjut, tulisan ini akan mengulas penyebab dominasi oligarki tersebut.

Dominasi oligarki ini bermula dari penerapan Sistem Pemilihan Langsung. Banyak kontestan yang kurang  berkualitas dan tidak mempunyai basis dukungan yang memadai untuk terpilih. 

Agar elektabilitasnya meningkat, mereka harus membeli suara dari pemilih pragmatis, yang kebetulan untuk kasus Indonesia, jumlahnya lumayan besar dan cukup signifikan menentukan hasil pemilihan.

Karena itu, masuklah pemasok modal dengan perjanjian. Kelak jika sudah terpilih dan duduk dalam jabatan politik, mereka bisa mengatur alokasi sumber daya untuk kepentingan pemodal sebagai balas jasa.

Yang parah, oligarki ini tidak hanya berada di level pemerintah pusat, melainkan juga sudah tumbuh dan berkembang di daerah-daerah. Karenanya, ancaman semakin buruknya proses demokrasi Indonesia membayangi hingga jauh ke seluruh pelosok negeri.

Jadi kalau kita bertanya, mau dibawa ke mana negeri ini? Jawaban sederhananya adalah kita mau dibawa ke jurang kehancuran, tentu setelah habis dieksploitasi dan rakyat dimiskinkan secara struktural hingga chaos.

Namun, di sisi positifnya, kita bisa melihat Rp30 triliun investasi oligarki itu sebagai sedekah atau rejeki tak terduga bagi rakyat. Harapannya, hal ini bisa menggerakkan usaha rakyat, mulai dari konsultan, buzzer, talkshow, podcast, sampai ke usaha biro iklan, sablon, percetakan, spanduk, dan kaos.

Memang, nasib rakyat Indonesia tidak bisa digantungkan kepada pemerintahan dan kebijakannya yang sudah tergadai. Rakyat hanya bisa menggantungkan nasibnya kepada usaha mandiri mereka, walaupun ketika ekonomi bangsa bertahan di situasi krisis, ini diklaim sebagai prestasi kebijakan suatu pemerintahan. 

Selain bergantung kepada usaha mandiri tersebut, rakyat Indonesia harus mengandalkan kepada faktor X, yaitu faktor perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Wamakaru wamakarallah. Wallahu khoirul maakiriin.

Masih Ada Harapan

Berita baiknya, setidaknya kami Gerakan Birokrat Menulis masih berjalan dalam kewarasan karena tidak berharap banyak ketika akademisi sudah tergadai dan birokrasi luruh dalam euforia demokrasi. Kami menjaga nafas perjuangan kebaikan untuk dilanjutkan generasi mendatang.

Di tengah pesimisme mendengar informasi tersebut, kita juga harus menguatkan implementasi digital leadership di segala lini birokrasi.

Hanya dengan kecanggihan digital ini, kita bisa tetap mempunyai kekuatan untuk mempertahankan kebaikan dan kebenaran di saat pintu-pintu lainnya mulai tertutup. 

Kita harus membangun ekosistem digital yang kokoh dengan digital leadership yang transparan dan akuntabel. 

Protokol kebenaran dalam dunia digital jelas. Yes or No. Tidak abu-abu. Kita harus menguatkan digital leadership

Mengenai bagaimana cara mengatasinya, kita bisa diskusikan lebih lanjut. Kami yakin, Indonesia masih istimewa, masih dalam perlindungan Tuhan Yang Paling Berkuasa dan akan bisa menjalani tahapan-tahapan berat dalam perjalanan bangsa ini. 

Bangsa kita bangsa bernurani, bukan bangsa kebendaan. Menyelamatkan bangsa secara kritis dan modern bisa melalui jalur digital karena di sana petarungnya jelas, bukan saja uji nyali, tapi juga uji strategi, uji elektabilitas, dan uji kapabilitas

Memang, pemikiran digital leadership masih dianggap suatu kenaifan. Semakin manusia terhubung ke dunia digital, maka keniscayaan pengambilalihan dunia oleh oligarki semakin sustain

Bahkan, isu climate change pun juga merupakan agenda besar oligarki. Climate change sebenarnya bagian dari sustainable development goal, berarti sustainability adalah cengkeraman oligarki.

Menyikapi hal itu, kita harus diyakinkan bahwa digital leadership bukanlah kenaifan. Justru realistis. Kita harus menyiapkan protokolnya sebaik mungkin. 

Sekarang ini memang digital leadership belum terbentuk rapi sehingga hasilnya belum terlihat. Tapi, semua kendali ada pada kita, pada brainware

Hanya saja, saat ini model interaksi yg terjadi masih bergulir secara random. Andai kita arahkan konsep digital leadership ke arah transformasi digital dengan nafas nusantara, kita yakin akan banyak berubah. 

Masalahnya, transformasi nilai yang baru (pasca Covid-19) menyebabkan kita harus tangguh (tidak tanggung) dalam menjalankan aktivitas di era digital. 

Perang siber bukan hal yg menakutkan apabila kita bisa melihat peluang kemenangan tanpa berdarah-darah. Salah satunya lewat ruang diplomasi dan ruang transformasi digital. 

Kita harus mengumpulkan insan-insan digital terbaik untuk memperkuat birokrasi di segala lini. Kita harus optimis stok insan brilian di Indonesia sangat banyak, tetapi belum terpetakan. Tapi, kita bisa bangkit lewat jalur digital leadership.

Penutup

Walaupun para oligarki telah menyiapkan dana besar untuk membuat demokrasi sesat di Indonesia, kita harus yakin kita bisa berbuat untuk Indonesia.

Redaksi

Redaksi

Author

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post