
Indonesia, dengan beragam suku, budaya, dan wilayah geografis yang luas, telah lama berjuang untuk mencapai keseimbangan antara otonomi daerah dan sentralisasi pemerintahan. Reformasi tahun 1998 membuka jalan bagi otonomi daerah sebagai respons terhadap dominasi sentralisasi era Orde Baru (Aspinall & Fealy, 2003).
Namun, setelah lebih dari dua dekade,
otonomi daerah menghadirkan tantangan besar, terutama dalam aspek ketidakpastian hukum, infrastruktur yang timpang, dan korupsi kepala daerah yang merajalela (KPK, 2024). Kondisi ini menimbulkan kebutuhan mendesak untuk kembali ke model sentralisasi sementara, guna menciptakan tata kelola yang lebih terintegrasi dan efisien.
Secara historis, pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, sistem pemerintahan sangat terpusat (Vatikiotis, 1998). Pemerintah pusat memegang kendali atas hampir semua aspek pemerintahan, mulai dari perencanaan pembangunan hingga pengelolaan sumber daya alam.
Sentralisasi ini memiliki beberapa keunggulan, seperti konsistensi kebijakan yang mengurangi disparitas antarwilayah, percepatan pembangunan infrastruktur, dan stabilitas politik yang mengurangi potensi konflik horizontal (Hill, 2014).
Namun, sentralisasi juga memiliki kelemahan, seperti lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan potensi otoritarianisme yang membatasi kebebasan politik (Hadiz, 2010).
Kelemahan dalam Penerapan Otonomi Daerah
Otonomi daerah mulai diterapkan secara luas setelah reformasi 1998, dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi melalui UU No. 23 Tahun 2014 (Undang-Undang Pemerintahan Daerah, 2014).
Meski tujuan awalnya adalah meningkatkan pelayanan publik dan memberdayakan daerah, pelaksanaannya menghadirkan sejumlah masalah. Data Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bahwa hingga 2024, lebih dari 400 kepala daerah terlibat kasus korupsi (KPK, 2024). Contoh nyata antara lain:
- suap perizinan proyek Meikarta oleh Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin pada tahun 2018 (ICW, 2019),
- gratifikasi proyek infrastruktur oleh Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah pada tahun 2021 (Tempo, 2021),
- korupsi dana bantuan sosial oleh Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna pada tahun 2020 (Kompas, 2020),
- dugaan korupsi dalam proyek jalan di Lampung oleh Gubernur Arinal Djunaidi, serta
- penyimpangan dana desa di Sumatera Utara yang melibatkan lebih dari 100 kepala desa
Data-data di atas semakin menguatkan argumen bahwa desentralisasi telah memperburuk tata kelola daerah.
Ketimpangan Sektor Pendidikan, Ekonomi, dan Birokrasi
Ketimpangan akibat otonomi daerah tidak hanya terlihat dalam kasus korupsi, tetapi juga dalam sektor pendidikan, ekonomi, dan birokrasi.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa:
- Kualitas pendidikan masih sangat bervariasi antar daerah, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua Barat hanya mencapai 65,79 dibandingkan dengan DKI Jakarta yang mencapai 81,65 pada tahun 2023 (BPS, 2023).
- Selain itu, praktik pungutan liar (pungli) di berbagai daerah, terutama dalam pengurusan administrasi publik, semakin memperburuk efektivitas layanan publik (Ombudsman RI, 2023).
- Dari sisi ekonomi, ketimpangan pembangunan juga semakin nyata, di mana provinsi seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah tumbuh pesat, sementara daerah di luar Pulau Jawa mengalami stagnasi dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 4% (Bappenas, 2023).
- Ketidakpastian kebijakan daerah yang sering kali bertentangan dengan regulasi pusat juga memperburuk iklim investasi, menyebabkan banyak proyek strategis nasional terhambat oleh perizinan daerah yang berbelit (World Bank, 2022).
Kondisi ini memperlihatkan bahwa tanpa koordinasi yang lebih kuat dari pemerintah pusat, efektivitas kebijakan di daerah akan sulit dicapai.
Selain korupsi, banyak daerah mengalami ketimpangan infrastruktur akibat kurangnya kemampuan fiskal serta ketidakpastian hukum akibat peraturan daerah yang tumpang tindih dengan regulasi pusat (World Bank, 2021).
Hal ini diperparah dengan lemahnya kapasitas birokrasi daerah dalam menjalankan program strategis nasional (Bappenas, 2022). Oleh karena itu, diperlukan penguatan kembali peran pemerintah pusat dalam mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat daerah.
Revisi Ketentuan Hukum untuk Sentralisasi Sementara
Dalam konteks hukum, beberapa ketentuan mendukung sentralisasi sementara untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan.
- Pasal 18A Ayat (2) UUD 1945 mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang perlu direvisi guna memperkuat pengendalian pusat.
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga harus diubah agar memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah pusat dalam mengawasi dan mengevaluasi kebijakan daerah.
- UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dapat disesuaikan agar pengelolaan anggaran daerah lebih transparan dan terintegrasi dengan pusat (Undang-Undang Keuangan Negara, 2003).
- Penguatan juga perlu dilakukan terhadap PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah agar pengawasan keuangan daerah lebih ketat.
Proses perubahan hukum ini melibatkan DPR dan Presiden sebagai pembuat undang-undang, Kementerian Dalam Negeri yang bertugas menyusun draft revisi, Mahkamah Konstitusi yang menguji materi hukum jika diperlukan, serta partisipasi publik melalui konsultasi.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD menegaskan pentingnya optimalisasi anggaran daerah dengan mendorong belanja yang lebih produktif dan selaras dengan program nasional.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi penyalahgunaan anggaran yang selama ini kerap terjadi akibat lemahnya pengawasan terhadap penggunaan APBD. Mengingat alokasi dan pengelolaan APBD merupakan kewenangan daerah dan contoh implementasi yang tidak optimal di atas, pemerintah pusat menghadapi keterbatasan dalam melakukan intervensi langsung.
Oleh karena itu, efisiensi anggaran hanya dapat tercapai secara maksimal jika mekanisme pengawasan diperkuat dan alokasi dana transfer daerah diarahkan sesuai dengan prioritas pembangunan nasional dari pemerintah pusat, sehingga potensi penyimpangan dapat ditekan secara efektif.
Langkah-Langkah Implementasi Sentralisasi Sementara
Beberapa negara yang telah berhasil menerapkan sentralisasi mencakup China, yang mengandalkan kontrol terpusat atas investasi dan perencanaan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi pesat (Heilmann, 2017).
Ada pula Jerman, yang meskipun merupakan negara federasi, memiliki mekanisme koordinasi kuat antara pusat dan negara bagian terutama dalam kebijakan ekonomi (OECD, 2020).
Singapura juga menjadi contoh negara dengan sistem sentralisasi yang efisien, mendukung kebijakan publik yang konsisten terutama dalam sektor pendidikan dan kesehatan (Goh, 2018).
Untuk menerapkan sentralisasi sementara, beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- penguatan pemerintah pusat dengan meningkatkan kewenangan dalam mengawasi kebijakan daerah,
- sentralisasi sementara anggaran pembangunan infrastruktur strategis guna mempercepat realisasi proyek nasional,
- pembentukan Badan Koordinasi Sentralisasi yang bertugas memantau, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi kebijakan daerah,
- peningkatan transparansi dan akuntabilitas melalui penggunaan teknologi digital untuk memantau anggaran daerah serta audit reguler oleh BPK dan KPK.
Langkah-langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan daerah selaras dengan tujuan pembangunan nasional dan mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang.
Namun, masalah utama yang dihadapi Indonesia bukan hanya dalam aspek kebijakan dan anggaran, melainkan juga pada lemahnya penegakan hukum, yang menjadi faktor krusial dalam efektivitas pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Penguatan Penegakan Hukum dalam Konteks Sentralisasi
Ketimpangan dalam penegakan hukum terlihat jelas dalam banyak kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang di daerah yang sulit terpantau secara efektif akibat terbatasnya jumlah aparat penegak hukum.
Hingga tahun 2022, jumlah personel kepolisian di Indonesia tercatat sebanyak 436.432 orang, dengan rasio 1:450, atau sekitar 225 petugas untuk setiap 100.000 warga sipil (Data Indonesia, 2023).
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa jumlah personel Polri saat ini mencapai 464.248 orang, yang baru memenuhi 56% dari kebutuhan ideal (Metro TV News, 2024). Kekurangan ini berimplikasi pada lemahnya pengawasan dan meningkatnya risiko pelanggaran di tingkat daerah.
Sebagai langkah korektif dalam sistem sentralisasi, anggaran yang dikendalikan oleh pemerintah pusat harus diarahkan untuk memperkuat jumlah personel kepolisian di lapangan guna mengawasi pelanggaran administratif maupun tindak pidana di daerah.
Hal ini menjadi penting mengingat laporan Badan Pemeriksa Keuangan menegaskan bahwa kurangnya pengawasan dalam pengelolaan anggaran daerah berkontribusi terhadap meningkatnya risiko penyalahgunaan keuangan negara (BPK, 2023).
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan
bahwa korupsi dan pelanggaran administrasi di daerah sering terjadi akibat keterbatasan jumlah aparat penegak hukum di lapangan, sehingga celah hukum semakin terbuka (KPK, 2023).
Dengan adanya tambahan personel penegak hukum yang lebih tersebar di daerah, diharapkan dapat memperkuat kehadiran negara dalam mengawasi kebijakan daerah dan memberikan tindakan tegas terhadap pelanggaran hukum.
Peningkatan jumlah personel ini harus disertai dengan pelatihan, sistem hukum yang lebih mutakhir dengan standar internasional, skema penerimaan diperketat dan tindak segala KKN agar kualitas SDM penegak hukum objektif lebih optimal, serta teknologi pendukung untuk mendeteksi dan menangani pelanggaran secara efisien.
Secara lebih luas, penguatan penegakan hukum melalui tambahan personel yang lebih banyak di lapangan akan membantu menekan pelanggaran akibat lemahnya pengawasan di tingkat daerah.
Di sisi lain, pemerintah pusat harus memastikan bahwa anggaran yang disentralisasikan dapat mendukung infrastruktur penegakan hukum ini, termasuk sistem pelaporan dan monitoring pelanggaran, serta pemberian insentif bagi daerah yang menunjukkan komitmen dalam mematuhi regulasi pusat dan menekan angka korupsi.
Dengan demikian, penegakan hukum yang lebih kuat dapat menjadi pilar utama dalam meminimalisir ketimpangan akibat otonomi daerah serta mempercepat pencapaian tujuan pembangunan yang lebih merata di seluruh Indonesia.
Daftar Pustaka:
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, LN No. 47 Tahun 2003, TLN No. 4286.
UUD 1945.
Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, LN No. 52 Tahun 2019, TLN No. 6379.
Aspinall, E., & Fealy, G. (2003). Local Power and Politics in Indonesia. ISEAS Publishing.
Bappenas. (2022). Laporan Evaluasi Pembangunan Nasional.
BPK. (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Negara.
DPR RI. (2023). Laporan Legislatif Tahun 2023.
Hadiz, V. (2010). Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. Stanford University Press.
Heilmann, S. (2017). Red Swan: How Unorthodox Policy-Making Facilitated China’s Rise. Hong Kong University Press.
Hill, H. (2014). Regional Development in Indonesia. Cambridge University Press.
ICW. (2019). Kasus Korupsi Meikarta.
KPK. (2024). Data Korupsi Kepala Daerah.
OECD. (2020). Economic Policy and Governance.
Tempo. (2021). Kasus Korupsi Nurdin Abdullah.
Vatikiotis, M. R. (1998). Indonesian Politics: The Question of the State. Oxford University Press.
Goh, C. (2018). The Politics of Singapore’s Foreign Policy: The Role of Leadership. Cambridge University Press.
0 Comments