Alkisah seorang wartawan ditugaskan untuk mewawancarai seorang pengusaha yang sedang naik daun. Beliau mempunyai pabrik santan kelapa berkualitas ekspor. Pabriknya besar, bersih, dan terlihat para pegawai dengan cekatan memproses buah kelapa menjadi santan dalam kemasan untuk kemudian didistribusikan.
Ketika sang wartawan bertanya kepada pemilik pabrik, berapa kapasitas produksinya, sang pemilik menjawab, “Wah, kalau itu kami nggak pernah ngitung, tapi yang jelas dalam sebulan, dari sabut kelapanya saja kami bisa dapat sekitar 15 ton untuk dijual ke pabrik sapu ijuk di sebelah”.
Kira-kira bagaimana reaksi sang wartawan ketika mendengar jawaban aneh bin ajaib tersebut?
Mari kita coba bandingkan dengan pernyataan berikut:
“Di wilayah sini, keamanan, kenyamanan, dan ketertiban warga terjaga dengan baik. Buktinya tahun ini kami berhasil menyita dagangan dari 20 pedagang liar yang nekat berjualan. Selain itu, kami juga berhasil menangkap 15 pembalap liar yang meresahkan warga”.
Atau pernyataan berikut:
“Rata-rata pelaku usaha baik industri maupun perdagangan di kota ini sangat aware terhadap hak dan perlindungan konsumen. Sidak yang kami lakukan sangat efektif, sebanyak 50 kasus yang kami temukan tahun ini telah ditindaklanjuti baik secara kekeluargaan maupun jalur hukum”.
Atau,
“Warga sektor ini sangat tertib berlalu lintas, denda pelanggaran yang kami targetkan, sekitar 1 Miliar, tercapai. “
Menarik bukan? Dan fenomena itu, banyak ditemui terutama pada akhir tahun seperti saat ini, ketika instansi pemerintah dan birokrat sibuk berkutat dengan laporan kinerja.
Mungkin,
Dalam hati nurani merasa ada yang aneh, ada yang tidak pas, tetapi karena sudah ditetapkan di awal tahun, mau tidak mau angka-angka tersebut dicari dan dituangkan ke dalam laporan.
Akurat? Tentu saja. Indikator-indikator tersebut setidaknya memenuhi unsur Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Timebound (SMART).
———–
Berkaca dari pabrik santan tadi, tentu ada beberapa hal yang bisa diambil untuk dijadikan pelajaran.
Pertanyaan pertama, memangnya salah memilih sabut kelapa jadi indikator, yakni 15 ton sabut dan laku dijual.
Sang pengusaha berasumsi bahwa kalau sabutnya banyak, berarti kelapa yang masuk banyak. Kalau kelapa yang masuk banyak, pasti santan yang dihasilkan juga banyak. Lapangan kerja yang disediakan juga banyak, penjualan santan meningkat, dan profit yang mengalir ke kantong pengusaha juga banyak.
Maka, perlukah sang pengusaha menghitung berapa kelapa yang didatangkan? Berapa liter santan yang dihasilkan? Berapa pekerja yang diperlukan? Berapa harga jual setiap liter santan? Berapa profit yang masuk kantong?
Dari sabut, bisa diestimasikan berapa profit yang akan diperoleh. Sederhana, dan tidak perlu upaya tambahan untuk menghitung yang lain.
Namun, beberapa asumsi patut menjadi pertimbangan. Misal, kelapa yang datang sama banyaknya, tetapi kualitasnya kurang baik sehingga rasio jumlah kelapa yang dibutuhkan untuk seliter santan berkualitas tinggi akan naik. Awalnya cukup 3 butir kelapa untuk 1 liter santan, sekarang butuh 5 butir. Apa yang terjadi? Jumlah sabut mungkin masih sama, 15 ton, tapi produktivitas tentu turun sekitar 40%, sehingga profit berkurang.
Kasus lain, misal pekerja ceroboh, sehingga banyak kelapa yang terbuang. Hal itu tentu berpengaruh juga kepada rasio jumlah kelapa. Sabut masih sama 15 ton, tetapi produktivitas tentu turun, sehingga profit berkurang.
Atau, sang pengusaha membeli mesin baru, sehingga pekerja yang dibutuhkan lebih sedikit, namun dengan mesin baru ini, dari 5 butir kelapa dapat menghasilkan 2 liter santan yang berkualitas tinggi. Sabut masih sama 15 ton, produktivitas naik sekitar 20%, biaya tenaga kerja berkurang, tetapi profit meningkat.
Asumsi-asumsi tersebut tentu mematahkan argumen sang pengusaha. Keputusan menjadikan sabut sebagai indikator utama memang aneh bin ajaib.
Dari uraian di atas, muncul pertanyaan kedua, yaitu apakah sabut kelapa masih layak menjadi indikator utama? Kalau tidak layak, mana yang seharusnya menjadi indikator utama?
Pada tahapan ini, kemampuan mengidentifikasi proses bisnis menjadi kunci utama dalam memilih indikator.
Pada kasus pabrik santan, proses bisnis sangat sederhana, yaitu pengadaan bahan baku, pengupasan kelapa, pemilihan daging kelapa berkualitas, pembuatan santan, pengepakan, dan distribusi.
Setiap langkah dapat diukur dan dijadikan indikator.
- Pengadaan bahan baku, setidaknya dua yang bisa dijadikan indikator, dengan perumpamaan kalimat sederhana 30 ton kelapa seharga 100 juta.
- Pengupasan kelapa, pemilihan bahan baku, pembuatan santan setidaknya terdapat indikator waktu, tenaga, bahan bakar/energi yang dibutuhkan
- Pengepakan selain waktu dan tenaga, dapat pula digunakan untuk menghitung produksi bersih santan dalam liter.
- Distribusi, minimal terdapat indikator harga jual total dan per liter.
Mana yang kira-kira layak untuk dijadikan indikator utama? Tentu saja produksi bersih santan per liter, sama persis dengan yang ditanyakan oleh wartawan.
Lalu dimana letak sabut? Sabut adalah by product dari proses pengupasan kelapa, identik dengan 20 pedagang liar dan 15 pembalap liar yang merupakan by product dari proses razia dalam rangka menertibkan masyarakat, 50 kasus yang merupakan by product proses inspeksi pasar, dan denda pelanggaran yang merupakan by product dari proses tilang.
Simpulan sementara, sabut sebaiknya tidak dijadikan sebagai indikator utama.
Lalu sampailah kita pada pertanyaan ketiga yaitu: “Masih perlukah kita mengukur indikator sabut kelapa tersebut? “
ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi
0 Comments