Ilusi Work From Home: Badan di Rumah, Pikiran di Kantor

by Eddi Wibowo ◆ Active Writer | Jan 3, 2021 | Literasi | 0 comments

Di masa pandemi ini, bekerja dari rumah (work from home/WFH) menjadi terminologi yang sangat akrab bagi karyawan kantoran, baik ASN maupun pegawai swasta yang dalam kesehariannya harus memenuhi kuota delapan jam kerja dalam  sehari dan lima hari dalam seminggu.

WFHmenjadi pilihan mekanisme kerja bagi banyak institusi yang tidak terhindarkan ketika pandemi melanda dan semakin meluas pelaksanaannya sejak awal tahun ini. Sebelumnya, model bekerja dari rumah masih sebatas wacana dan kalaupun ada, masih belum populer dan hanya diimplementasikan di beberapa institusi saja.

Demam Work From Home

Ketika pandemi semakin meluas dan upaya pengendalian belum dapat dilakukan masif, WFHmenjadi menjadi pilihan utama. WFH perlu dilakukan agar fungsi-fungsi layanan dapat tetap dilaksanakan, yang tentu saja mengesampingkan beberapa fungsi layanan yang tetap harus dilakukan secara langsung.  Dalam konteks kedaruratan, maka pelaksanaan WFH dapat dikatakan sebagai exit strategy yang pelaksanaannya relatif  tanpa skenario yang memadai.

Di seluruh lembaga pemerintahan, WFH dipilih menjadi kebijakan nasional untuk memastikan layanan pemerintahan dapat tetap berjalan. Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN RB) Nomor 19 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada  instasi pemerintah untuk menerapkan mekanisme kerja dari rumah.

Tujuannya sangat jelas, menekan potensi penyebaran virus COVID-19 melalui pengurangan intensitas tatap muka antar individu, namun tanpa mengorbankan layanan pemerintahan. Ini yang kemudian memicu pamanfaatan teknologi dalam berbagai hal, seperti rapat, pertemuan, audiensi, koordinasi atau diskusi dilaksanakan melalui virtual meeting atau video conference.

Dukungan infrastruktur teknologi informasi yang berkembang pesat memungkinkan mekanisme WFH ini dilaksanakan. Ini yang kemudian meningkatkan penggunaan internet di Indonesia.

Dari data yang dirilis oleh media massa, pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 175,4 juta dengan penetrasi mencapai 64 persen. Itu artinya, dari total 272,1 juta populasi di Indonesia, sebesar 64 persennya telah terkoneksi internet.

Hampir seluruh pengguna internet di Indonesia, yaitu 171 juta atau sebesar 98 persen,  menggunakan perangkat mobile untuk berinternet (Kompas, 20-02-2020). Aktivitas bekerja dari rumah maka hanya dengan perangkat komputer jinjing yang tersambung ke mobile internet, maka kita sudah dapat bekerja dari rumah.


Sampai kapan work from home ini akan dijalankan? Faktanya, semenjak dirilis pada bulan Maret, Surat Edaran di atas telah mengalami setidaknya empat kali perpanjangan sampai bulan November 2020.

Hal tersebut menjadi pertanyaan yang menggelitik untuk diungkapkan, bahwa apakah mekanisme work from home akan menjadi opsi ‘darurat’ saja, ataukah justru akan menjadi opsi ‘new normal’ yang bisa jadi akan menjadi pola permanen dalam bekerja.

Beberapa konsekuensi teknis, non teknis, dan juga manajerial, operasional dalam pola kerja di instansi pemerintah perlu dipertimbangkan dalam memutuskan mekanisme tersebut.

Beda WFH beda FWA

Sebenarnya bekerja dari rumah bukan suatu hal baru. Gagasan besar dari work from home adalah flexible work arrangement (FWA) yang didefinisikan sebagai sebuah alternatif pilihan yang diberikan oleh organisasi kepada karyawannya untuk menentukan jadwal dan tempat bekerja (Rau & Hyland, 2005).

Jika kita perhatikan, FWA bisa dikatakan sebagai level berikutnya dari dari model bekerja normal eight to five. Salah satu nilai yang hendak dicapai dalam skema ini adalah work life balance.

Pemenuhan kebutuhan personal/ keluarga hendak lebih diupayakan melalui mekanisme ini. Apalagi bagi mereka yang telah berkeluarga. FWA dirancang dengan sangat hati-hati agar kepentingan karyawan dan institusi dapat terakomodir dengan sebaik-sebaiknya.

Penerapan FWA dalam konteks organisasi dapat dilihat dalam beberapa bentuk, seperti telecommuting, flex time, dan job sharing (Allen et al., 2012). Telecommuting memungkinkan karyawan untuk melakukan pekerjaan kantor dari tempat lain dengan bantuan teknologi (misalnya, komputer dan internet).

Sedangkan flexible time atau flextime memungkinkan karyawan untuk memilih waktu memulai dan menyelesaikan pekerjaan berdasarkan persyaratan waktu yang telah dibuat oleh organisasi (Allen, Golden, & Shockley, 2015; Thompson, Payne, & Taylor, 2015).  Flextime dan telecommuting merupakan dua pilihan yang relatif banyak digunakan oleh karyawan di beberapa organisasi.

Pengalaman Menikmati FWA di Mancanegara

Salah satu kolega yang berkeluarga dan tinggal di Belanda memilih tawaran mekanisme FWA dengan dilatarbelakangi keinginan agar mereka dapat merawat anaknya secara optimal. Sang suami mendapatkan skema bekerja di kantor selama tiga hari dan dua hari bekerja dari rumah.

Sementara, istrinya bekerja dari rumah selama tiga hari dan bekerja di kantor selama tiga hari lainnya. Ketika di rumah, maka kewajiban yang harus mereka lakukan adalah menyiapkan makanan mengantar anak sekolah dan urusan domestik lainnya.

Maklum saja, mereka tidak memiliki asisten rumah tangga. Jikapun ada, asisten rumah tangga di sana berbiaya sangat mahal. Implikasinya, jadwal penyelesaian tugas kantor yang dilaksanakan di rumah dilakukan dengan menyesuaikan pelaksanaan tugas-tugas domestik tadi, namun tetap memenuhi jam kerja dan output yang disekapati.

Kesepakatan tersebut sedari awal sudah dibuat antara suami-istri dan kantor tempat mereka bekerja. Dengan kesepakatan ini, maka target yang menjadi kewajiban dari kantor direncanakan untuk dikerjakan pada jam-jam tertentu.

Sementara di jam-jam lainnya, pelaksanaan tugas-tugas domestik menjadi target yang harus dikerjakan sebagai bentuk tanggung jawab keluarga. Mungkin ini seperti ini contoh yang mendekati ideal pelaksanaan telecommuting dan flextime

Catatan dari pelaksanaan WFH

Work from home yang telah dilaksanakan lebih dari delapan bulan telah memberikan pengalaman bagi organisasi pemerintah dalam operasional mekanisme kerja baru ini. Lebih teknis, para ASN juga telah merasakan bagaimana skema ini memberikan dampak dalam kehidupan sehari-hari.

Yang menarik, baik pimpinan yang merepresentasikan kelompok manajerial maupun para pegawai yang merepresentasikan staf organisasi mempunyai catatannya masing-masing terhadap pelaksanaan WFH yang selama ini mereka jalani.

  • Tingkat responsibilitas staf yang sangat bervariasi

Desain bekerja konvesional menempatkan staf dan pimpinan secara bersama-sama dalam satu ruangan, dan pimpinan dapat mengawasi secara langsung staf mereka ketika bekerja. Pola kerja ini setidaknya telah membentuk mental para pegawai selama ini.

Ketika berada di kantor mereka akan diawasi secara kontinyu oleh pimpinan, apakah sudah sampai dikantor, apakah sudah mulai bekerja, apakah mereka bekerja sesuai dengan standar kualitas atau SOP atau tidak. Harus diakui, di lingkungan instansi pemerintah, keleluasaan untuk beraktivitas yang tidak terkait dengan tugas-tugas pekerjaaan di waktu jam kerja memang masih tinggi, sehingga pengawasan langsung menjadi sangat penting dilakukan.

Ketika bekerja dari rumah menjadi kebijakan yang tidak terhindarkan, maka penyalahgunaan waktu bekerja sangat riskan dan potensial terjadi. Pimpinan yang tidak bisa mengawasi secara langsung ketika wfh, membuka kesempatan bagi sebagian pegawai untuk mengabaikan tugas-tugas kantor pada saat jam kerja.

Tidak ada kesulitan yang dijumpai jika misalnya seorang pegawai ingin melakukan kegiatan yang semestinya harus dilakukan diluar  jam kerja ketika dia wfh.

  • Fleksibilitas vs jam kerja yang tidak jelas

Di banyak pandangan, [DN1] staf yang rajin dan selalu merespon tugas-tugas yang diberikan oleh pimpinan adalah aset instansi. Beruntunglah jika seorang staf kemudian sering diminta untuk melaksakanakan tugas-tugas yang bervariasi dari dari pimpinan.

Itu artinya, pimpinan memiliki kepercayaan yang tinggi. Namun, di sisi yang berbeda hal ini membawa konsekuensi bekerja secara overtime, dan berpotensi semakin parah ketika melakukan work from home. Ini yang kemudian memunculkan banyak tekanan psikologi dan emosional bagi pegawai ketika bekerja dari rumah. Bekerja dari rumah, justru lebih melelahkan.

Work from home menawarkan fleksibilitas waktu dalam bekerja. Namun kejadiannya bisa berbeda. Meskipun jam kerja work from home ini telah ditentukan, faktanya dengan pertimbangan tertentu, pimpinan tetap dianggap ‘legal’ memberikan tugas bagi stafnya di luar jam kerja. Batas jam kerja pun menjadi kabur.

Sejumlah staf merasakan tambahan tugas justru semakin intens ketika mereka bekerja dari rumah. Hal ini berdampak pada agenda-agenda pribadi yang sedianya dilakukan setelah jam kerja, justru harus banyak dikorbankan.

Tidak dipatuhinya aturan jam kerja telah menjadikan harapan untuk menjadikan terwujudnya work life balance yang menjadi tujuan dari flexible work arrangement menjadi angan-angan yang semakin menjauh.

  • Kantor yang gagap memberikan dukungan infrastruktur

Salah seorang staf di kantor, kami ahli dalam urusan terkait IT.  Ia kemudian yang diandalkan untuk mengambil peran lebih dalam pengelolalaan sistem layanan rekrutmen ke jabatan fungsional tertentu melalui mekanisme daring secara penuh.

Ketika bekerja di kantor, kantor menyediakan perangkat komputer dan jaringan internet untuk bekerja. Namun ketika WFH mereka terpaksa menggunakan perangkat komputer pribadi untuk melaksanakan tugas-tugas kantor. Beruntung seluruh tim memiliki perangkat digital pribadi, sehingga pelaksanaan tugas kantor dapat dilaksanakan.

Namun, dalam perjalannya, kendala teknis semacam gangguan perangkat digital yang dimiliki, seringkali tidak terelakkan. Oleh karenanya, di manapun bekerja dilakukan, sudah selayaknya kantor memberikan dukungan kepada pegawai setidaknya untuk mengurangi risiko terhambatnya aktivitas bekerja karena kesenjangan digital yang berpotensi ada tersebut.

Epilog

Delapan bulan agaknya menjadi waktu yang cukup tepat untuk melakukan peninjauan ulang kebijakan work from home. Tidak ada jaminan kapan pandemi ini akan berakhir dalam waktu dekat. Berbagai kajian kesehatan menegaskan hal tersebut.

Untuk itu sangat penting untuk menilai kembali untung-rugi pelaksanaan kebijakan work from home ini. Tentu dengan visi untuk peningkatan kualitas layanan publik yang mengarah pada satu pertanyaan besar: apakah mekanisme work from home ini perlu dimodifikasi dengan perbaikan/perubahan untuk mendukung upaya pencapaian kinerja, atau justru dihentikan karena semakin membebani?

Agaknya pemerintah perlu lebih banyak melakukan evaluasi, sekaligus berfokus pada berbagai konsekuensi logis sehingga tetap mampu mencapai tujuan yang diinginkan: bekerja dengan efektif, efisien, tapi tetap aman dan membahagiakan.

3
0
Eddi Wibowo ◆ Active Writer

Penulis adalah alumni S1 Jurusan Ilmu Administasi Negara FISIPOL UGM dan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Program Studi Kebijakan Publik. Saat ini Penulis menjabat sebagai Analis Kebijakan Ahli Madya di Pusat Kajian Manajemen ASN, Lembaga Administrasi Negara.

Eddi Wibowo ◆ Active Writer

Eddi Wibowo ◆ Active Writer

Author

Penulis adalah alumni S1 Jurusan Ilmu Administasi Negara FISIPOL UGM dan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Program Studi Kebijakan Publik. Saat ini Penulis menjabat sebagai Analis Kebijakan Ahli Madya di Pusat Kajian Manajemen ASN, Lembaga Administrasi Negara.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post