Ilusi Nasionalisme di Tengah Pandemi

by Dhian Adhetiya Safitra ◆ Active Writer | Aug 23, 2021 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Pada tahun ini kedua kalinya Hari Kemerdekaan negeri ini diperingati di tengah pandemi. Tahun lalu, milestones kemerdekaan didokumentasikan dengan uang kertas pecahan Rp75.000. Lalu, tahun ini apa? Rekor kasus Covid-19 harian? Tidak, menurut saya capaian Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang layak menjadi milestones Indonesia tahun 2021 ini.

Dampak dari kegigihan mereka langsung merasuki darah anak-anak Indonesia. Merekapun ingin berjuang melalui jalur olah raga. Jika Anda dekat dengan komunitas bulu tangkis, Anda akan menemukan peningkatan animo masyarakat pada cabang olahraga ini.

Lapangan bulutangkis full booked, klub bulu tangkis usia dini pun dibanjiri calon-calon atlet muda. Di momen tersebut tidak kurang dalam satu minggu berita dan lini masa media sosial selalu menyertakan momen kemenangan pasangan ganda putri kebanggaan kita.

Nasionalisme Bukan Barang Murah

Namun, apakah nasionalisme seperti ini cukup untuk membuat Indonesia jaya di masa yang akan datang? Sesungguhnya, nasionalisme bukan barang murah di Indonesia. Ada satu contoh program penanaman nasionalisme beberapa tahun yang lalu, yang dikenal sebagai P-4.

Jika Anda generasi milenial, mungkin sempat mengalami masa-masa harus mengikuti penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila). Kegiatan ini merupakan upaya agar pesertanya dapat menjadikan Pancasila sebagai jalan “ninja”-nya.

Doktrinasi ideologi Pancasila ini menurut saya merupakan upaya mematri nasionalisme jauh ke dalam alam bawah sadar, walaupun sebagian orang menganggap ini merupakan alat politik saja. Biaya yang dikeluarkan pemerintah saat ini dianggap investasi yang dikelola lembaga non-departemen.

Pentingnya penanaman ideologi Pancasila tampaknya kembali dicanangkan oleh pemerintah saat ini, ditandai dengan berdirinya lembaga khusus menangani pembinaan ideologi Pancasila. Salah satu kebijakan yang baru diberlakukan adalah kewajiban abdi negara untuk mengikuti upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI dan Upacara Penurunan Bendera Sang Merah Putih.

Untuk memastikan para abdi negara melakukan kebijakan tersebut, para atasan akan memberlakukan prosedur yang beragam, seperti melakukan secara daring bersama-sama pada ruang video conference atau dengan mendokumentasikan prosesnya baik dengan video atau gambar yang diunggah atau dikirim pada satuan pengelola kepegawaian atau unit kepatuhan internal.

Proses pengawasan pelaksanaan kebijakan ini merupakan simtom kekhawatiran negeri ini atas nasionalisme para abdi negara. Upaya ini tidak mengecewakan, karena lini masa media sosial penuh dengan hasil tangkapan layar atau foto para abdi negara (dan keluarganya) mengikuti dengan hikmat prosesi upacara virtual.

Nasionalisme dalam Lagu Kebangsaan

Pada kesempatan lainnya, penulis diberi kesempatan unik untuk mengajukan pertanyaan apa makna nasionalisme pada diri seseorang. Pertanyaan sederhana, “Bagaimana perasaan Anda saat mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya?”

Lagu ini merupakan lagu wajib yang selalu dikumandangkan dalam setiap upacara bendera, pertemuan kedinasan, pertandingan olah raga, dan beberapa momentum lainnya. Idealnya, lagu merupakan hal yang istimewa bagi seseorang yang memiliki nasionalisme.

Contoh yang penulis rasakan adalah saat seluruh hadirin pengisi tribun stadion di Gelora Bung Karno menyanyikan lagu kebangsaan ini secara serentak, sebelum Tim Nasional Indonesia bertanding melawan negara lain. Mulai dari anak kecil, orang tua, hingga suporter yang berseteru, mereka bersatu menyuarakan lirik lagu kebangsaan.

Pun perasaan yang sama saat Greysia Polii dan Apriyani Rahayu menerima medali (walaupun momen itu Penulis saksikan dalam tayangan ulang) atau saat kontingen Indonesia lain mendapatkan momen yang sama walaupun tidak menjadi juara dan tidak diberi keistimewaan menaiki podium diiring lagu kebangsaan.

Akan tetapi, bagaimana reaksi Anda jika pertanyaan sederhana tentang perasaan seseorang ketika mendengar Lagu Kebangsaan Indonesia Raya tersebut dijawab “ga tahu, biasa aja”. Apakah kita (boleh) langsung menjustifikasi orang tersebut tidak memiliki nasionalisme?

Loyalitas, Keterikatan, Kebersamaan

Kita dapat mencari definisi nasionalisme dari banyak literatur. Tapi Anda dapat salah satunya, yang ditulis oleh Armady Armawi (2020). Di sana ditemukan banyak definisi nasionalisme dari berbagai ahli. Penulis memilih beberapa kata kunci yang hampir ditemukan pada banyak definisi, antara lain loyalitas, perasaan mendalam/keterikatan, dan semangat kebersamaan.

Jika merujuk pada tiga kata kunci tadi, bisa jadi seseorang yang “biasa saja” perasaannya saat mendengar lagu kebangsaan patut dipertanyakan nasionalismenya. Karena, bisa jadi dia tidak loyal, tidak punya keterikatan, dan mungkin tidak memiliki rasa kebersamaan. Ini pandangan awal penulis.

Namun, dialog berikutnya memberikan penulis sebuah point of view lain saat mendengar respons atas pertanyaan “Jika diberi kesempatan mendapatkan tinggal lebih lama di suatu negara atau mendapat green card atau bahkan pindah kewarganegaraan ke negara maju, apakah kesempatan itu akan diambil?”

Lawan bicara penulis dengan cepat menjawab “tidak”. Bagi dia, seseorang yang menyukai traveling, seminggu pertama di negara lain, yang katanya lebih maju, mungkin menyenangkan. Namun setelah itu, dia selalu menghitung hari, menanti kapan waktunya pulang.

Momen ini pun mungkin sering dirasakan kawan-kawan yang diberi kesempatan belajar/kuliah di negeri orang. Bagi lawan bicara penulis, anak punk di perapatan, starling di sepanjang Jalan Sudirman, atau kemacetan Jakarta tidak bisa digantikan sekalipun oleh kegantengan oppa-oppa di jalanan Hongdae atau eksotiknya jalanan Rue Des Thermopyles.

Kemudian, lawan bicara penulis melanjutkan definisi keterikatan dia kepada Indonesia dengan gesture semangat dan menggebu-gebu, walaupun menanggapi dingin saat diminta mengungkap perasaannya ketika mendengarkan lagu Indonesia Raya.

Dari interaksi tersebut, penulis meralat penilaian awal terhadap lawan bicara penulis, karena unsur loyalitas, keterikatan, dan kebersamaan pada definisi nasionalisme terdeskripsi, walaupun tidak dalam bentuk “perasaan mendalam” saat mendengarkan lagu kebangsaan.

Merangkai Kembali Makna Nasionalisme

Penulis hanya tertegun, mencoba kembali merangkai makna nasionalisme, terutama di masa pandemi ini. Apakah upacara virtual di masa pandemi ini merupakan bukti nasionalisme kita? Jika ya, kenapa ada social cost dari prosedur yang ditengarai kecilnya social capital unsur trust  saat pelaksanaannya?

Apakah rekor kasus harian Covid-19 di Indonesia merupakan gejala awal kurangnya nasionalisme, yang ditandai tidak dipatuhinya kebijakan PPKM (atau apapun terminologinya)? Apakah pro-kontra vaksinasi bukti perlunya upaya peningkatan rasa nasionalisme bangsa kita?

Saat kita bisa mengidentifikasi gejala awal degradasi nasionalisme, idealnya strategi penanganannya lebih tepat sasaran. Nasionalisme merupakan perasaan terdalam dari seseorang tentang makna kebangsaan. Banyak cara untuk mendorong atau memaksa individu agar memperlihatkan gesture nasionalisme yang seragam.

Pendekatan moral atau kepatuhan dapat dilakukan secara parsial atau paralel. Namun, penulis berpendapat, pendekatan moral lah yang dominan mempengaruhi mengingat nasionalisme merupakan bagian dari “rasa” manusia.

Apakah pendekatan kepatuhan selalu salah? Penulis menjawab tidak, tapi tepatkah pendekatan pengawasan untuk meningkatkannya? Perlu dikaji atau diteliti. Kita ingin nasionalisme di masa pandemi menjadi momentum menjadikan rasa loyal, terikat, dan kebersamaan individu di Indonesia permanen di alam bawah sadar, buka seremonial belaka.

Epilog

Sebagian orang percaya bahwa pemimpin adalah cerminan rakyatnya dan sebagian lainnya lebih menyukai frase pemimpin yang mengubah rakyatnya. Manapun frase yang Anda pilih, semuanya mendambakan Indonesia satu, makmur, dan jaya.

Keterpurukan bangsa inilah yang membuat kita bersatu dalam suatu ikatan nisbi yang memupuk kebersamaan berkomitmen loyal pada satu entitas bernama Indonesia. Akan tetapi apakah kita perlu terpuruk dulu agar memiliki nasionalisme?

Atau perlu intervensi lembaga tertentu untuk menjaganya? Atau bahkan perlu musuh bersama seperti masa perjuangan dulu? Anda dapat memperoleh jawabannya dengan melihat realitas di sekeliling Anda.

1
0

Penulis pemula yang berminat pada tema/isu ekonomi/valuasi lingkungan. Alumni Prodi D-III PBB/Penilai pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang sedang belajar meneliti di Prodi D-IV Manajemen Aset Publik Politeknik Keuangan Negara STAN. Pecinta kaos oblong, kopi robusta, dan downtube bike yang terkadang tersenyum saat pernyataan Weimer dan Vining terjadi di sekelilingnya.

Dhian Adhetiya Safitra ◆ Active Writer

Dhian Adhetiya Safitra ◆ Active Writer

Author

Penulis pemula yang berminat pada tema/isu ekonomi/valuasi lingkungan. Alumni Prodi D-III PBB/Penilai pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang sedang belajar meneliti di Prodi D-IV Manajemen Aset Publik Politeknik Keuangan Negara STAN. Pecinta kaos oblong, kopi robusta, dan downtube bike yang terkadang tersenyum saat pernyataan Weimer dan Vining terjadi di sekelilingnya.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post