Punya anak lagi itu luar biasa. Setelah menunggu sekian lama, bersama tiga anak cowok keren dan istri cantik sekaligus sholihah, mendapatkan satu lagi amanah berupa anak cewek itu sangat ‘amazing’. Itu saya. Alhamdulillah, menunggu kelahiran putri tercinta ini merupakan penantian yang mengharu biru dan penuh tantangan.
Penuh tantangan? Ya, bagaimana tidak, hari H minus tiga bulan saya dihadapkan pada tugas bagaimana meramu cerita tentang latar belakang fenomena kebutuhan pembiayaan nonanggaran yang saat ini menjadi fokus pemerintah. Kita perlu tahu, dana APBN saja tidak mencukupi pembiayaan seluruh pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas pembangunan pada saat ini.
Sesuai dengan dokumen Master Plan Sistem Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI), dana APBN dan seluruh dana APBD hanya dapat memenuhi sekitar 15% dari kebutuhan pendanaan pembangunan periode 2015 sampai dengan 2019. Sementara itu dana internal masyarakat memiliki porsi 41% sebagai sumber yang dapat dipergunakan untuk pendanaan pembangunan dalam periode tersebut.
Untuk itu, pemerintah saat ini berupaya keras mencari terobosan pembiayaan pembangunan dengan berbagai instrumen dan media. Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), Pembiayaan Investasi Non Anggaran, dan Public Private Partnership (PPP) menjadi alternatif pilihan untuk memenuhinya. Selain itu muncul pendekatan below the line dalam pembiayaan melalui APBN.
Alhamdulillah dengan kapasitas ‘processor’ di kepala saya yang terbatas, meskipun payah beberapa hal bisa masuk di pikiran saya. Logic dan bisa diterima.
Hari H minus sebulan, saya kembali dihadapkan pada tugas untuk mengolah data sebagai salah satu bahan presentasi masih dengan tema yang sama, infrastruktur. Namun, kali ini lebih ke teknis bagaimana dana-dana yang ‘menganggur’ di lembaga-lembaga publik dan BUMN mampu lebih berdaya guna untuk mendukung pembangunan.
Istilah-istilah ‘cukup baru’ bagi saya, berseliweran di lembar disposisi dan bahan-bahan dari rapat yang pernah terselenggara. Perpetual bond, DIRE, DINFRA, KIK-EBA, dan se’gambreng’ istilah-istilah yang membuat mesin pencari di laptop saya dipaksa harus bekerja keras.
Hasil diskusi dengan berbagai argumentasi harus saya baca untuk dapat menggambarkan garis dan memasukkan kata dalam kotak dan lingkaran yang saya buat di kertas kerja paparan. Sulit? Dengan keterbatasan saya, jawabannya boleh saya ketik dengan huruf besar, ukuran yang lebih besar dari biasanya, dan tanda seru sepuluh.
SULIT!!!!!!!!!!
Alhamdulillah, dengan kerja keras dan doa beberapa hal di antaranya bisa saya pahami dan maknai dalam usulan lembaran paparan. Informasi-informasi masih bisa diterima di akal saya, logic.
Hari H plus tujuh, setelah mendapatkan anugerah dan amanah bidadari kecil yang kecantikannya tidak hanya menduplikasi, namun melebihi kecantikan mamanya, saya mendapatkan tugas sebagai kepala rumah tangga dan ayah yang penting.
Tugas itu adalah melegalkan kehadiran anak saya sebagai warga negara. Langkah pertama, sebagai bukti otentik kelahiran, saya berhasil mendapatkan surat keterangan kelahiran dari dokter dan rumah sakit di mana anak saya lahir. Alhamdulillah, meskipun rumah sakit swasta kecil di pinggiran kota penyangga ibukota, urusan administrasi sangat cepat dan memuaskan. Begitu pula dengan fasilitas penggunaan asuransi dan BPJS sangat lancar.
Namun, tugas berikutnya untuk mendapatkan legalitas berupa akta kelahiran, tidak selancar tugas sebelumnya. Ketika mendaftar di layanan administrasi rumah sakit, saya dihadapkan pada kriteria layanan pembuatan akte hanya untuk yang ber-KTP kota di mana saya tinggal sekarang.
Sempat berbunga-bunga karena petugas menjelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah yang berdomisili di kota saya sekarang, namun kembali ‘layu’ karena syaratnya tetap ber-KTP di kota yang sama. Sebagai pegawai yang mempunyai keniscayaan berpindah-pindah tempat tinggal karena mengikuti tempat penugasan, KTP Elektronik saya masih dari kota asal kelahiran.
Kota di mana saya berharap menjadi home base masa depan saya nanti. Dengan syarat tersebut, tidak mungkin saya mendapatkan akta kelahiran, legalitas kehadiran anak Warga Negara Indonesia, untuk putri saya tercinta di kota tempat saya tinggal saat ini. Tidak mungkin bisa. Logic.
Rencana cadangan akhirnya saya pergunakan, yaitu mengurus akta kelahiran di mana KTP Elektronik saya dikeluarkan. Kota Bengawan, di sana saya kembali untuk mengurusnya, dan lagi-lagi tidak seperti bayangan saya ketika mengurus ketiga kakak-kakaknya. Weits, ternyata memang aturannya sudah berubah.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Pencatatan Kelahiran mengatur bahwa pengurusan akta kelahiran yang sebelumnya berdasarkan peristiwa, kini menjadi berdasarkan domisili sesuai yang tertera di KTP.
Hmmm, syaraf kritis saya kembali bergejolak. Jadi, pemerintah daerah di mana kita berada belum mengakui ada anak terlahir, jika si ibu kebetulan melahirkan di luar daerahnya. Si jabang bayi masih belum diakui kelahirannya sampai pengurusan dilakukan di daerah asalnya.
Akan ada semacam deposit in transit, sebuah istilah akuntansi untuk kiriman uang yang belum diakui karena belum sampai yang sering menyulitkan saat saya menjadi mahasiswa akuntansi untuk menjadikan neraca saya berimbang. Jadi, kalau misalnya pada saat akan melahirkan (sampai dengan melahirkan), si ibu harus mendampingi ayahnya bertugas ke luar daerah, si jabang bayi akan menjadi baby in transit bagi sebuah negara karena belum ‘dibukukan’.
Tidak menutup kemungkinan akan ada baby in transit lain yang hadir dari sebuah keluarga urban, yang dengan sangat terpaksa meninggalkan daerah asalnya untuk mengadu nasib di daerah lain. Mungkin jumlahnya ratusan, atau mungkin ribuan bila kita exercise pada data-data migrasi penduduk pada saat ini. Wow!!! Tapi ini masih mungkin. Mungkin juga tidak.
Coba saya buat lebih dramatis lagi ceritanya. Bila ternyata untuk sekedar mengurus kelahiran anaknya di daerah asalnya tinggal, tidak cukup dana bagi keluarga baru tersebut, bagaimana? Untuk menggunakan jasa atau titip ke keluarga saja tidak cukup, apalagi untuk pulang.
Akibatnya akan ada baby in transit lagi sampai mereka memiliki dana cukup untuk (terpaksa) pulang mengurus administrasi kependudukan bagi anaknya yang baru lahir. Itu pun kalau mereka punya waktu untuk pulang. Seandainya mereka memiliki waktu untuk pulang pun, itu juga kalau mereka bisa sampai ke rumah. Bila di perjalanan tiba-tiba ada sesuatu, misalnya kecela…… Ah, sudahlah.
Meskipun saya berucap syukur berkali-kali karena saya tidak dalam kondisi itu, pikiran saya terus berandai-andai bila ini terjadi pada orang yang kemampuan ekonominya terbatas. Andai berada dalam dunia para gamers, pemain-pemain game dengan aplikasi komputer online yang marak pada saat ini, saya akan mencari panic button, atau call a friend, atau fifty-fifty chance untuk mencari solusi dalam kondisi keterpaksaan. Terpaksa, bukan karena kemauan.
Hari H plus tiga puluh, ketika saya sampai di pintu antrian Kantor Catatan Sipil dimana KTP saya dikeluarkan, terlintas di benak saya istilah ‘bukti transaksi’, istilah yang ada di ilmu yang saya pelajari ketika muda di bangku kuliah. Akta dianalogikan menjadi bukti transaksi legal kelahiran anak, kemudian baru mengubah balance sheet, yaitu kartu keluarga kita. Seharusnya sesederhana itu.
Namun sekarang, bukti awal diolah menjadi bukti transkasi legal di lokasi yang mungkin jauh dari tempat kejadian perkara. Untuk menjadi sederhana, akan ada short cut untuk menanganinya. Sebuah cara untuk ‘mengakali’ kondisi-kondisi tidak normal dalam memudahkan masyarakat urban yang belum berkemampuan seperti drama dalam bayangan saya.
Atau, ah sudahlah. Segera saya bergegas memasukkan berkas karena sore harinya saya harus kembali ke tempat saya tinggal sekarang, di ibukota negara saya tercinta.
Hari H plus tiga bulan setelah kelahiran, saya masih terus memikirkan baby in transit tadi, sembari terus berucap syukur, saya masih diberikan kemampuan dan sumber daya untuk menyelesaikan administrasi kependudukan anak dan keluarga saya sesuai dengan ketentuan.
Di antara ketatnya waktu browsing mencari bahan presentasi, saya masih mencoba mencari ketentuan-ketentuan kependudukan tersebut, sembari mencoba memahami filosofinya. Muncul kembali pertanyaan, mengapa dibuat seperti itu? Apakah tidak ada solusi yang lebih baik?
Sampai di sini, saya teringat beberapa waktu lalu ada seorang ibu kepala daerah yang terekam kamera sedang memarahi anak buahnya karena dianggap mempersulit layanan publik. Dalam rekaman tersebut kalimat yang saya ingat kira-kira seperti ini, ’harusnya di zaman modern dengan teknologi yang ada, prosedur harus lebih ringkas.
Dosa lho kita, kalo karena harus mengurus sesuatu, seseorang kehilangan pendapatan, apalagi nanti misalnya di jalan meninggal. Terus, apa tanggung jawab kita? Dosa lho kita!’.
Hmm, andai itu masalah baby in transit tadi, seorang anak mendapatkan risiko kehilangan tidak diakui oleh negara sebagai warganya, karena mungkin hal-hal buruk terjadi pada orang tuanya. Mungkin seharusnya ada solusi dengan teknologi, mungkin harusnya perlu koordinasi. Bisa jadi solusinya adalah akta dikeluarkan di daerah di mana seorang bayi lahir, lalu dilakukan penyesuaian antar daerah, toh sesama institusi pemerintahan, atau……
Sampai di sini, saya masih mencoba memahami logika-logika peraturan tersebut, apa yang mendasari, bagaimana terjadi, bagaimana konsekuensi, dan lain sebagainya. Tapi logika birokrasinya belum masuk juga ke logika saya, yang sebenarnya setiap hari dalam pekerjaan saya, terus bersinggungan dengan para birokrat dan birokrasi.
Sampai suatu saat, mesin pencari dalam komputer saya menemukan kata, illogical logic. Suatu kata yang mungkin bagus bila dirangkai dengan bureaucracy. Ups, atau lebih bagus jika dirangkai dengan istilah bureaucrazy. Tapi stop, jangan-jangan bukan birokrasinya yang tidak logis, mungkin saya yang kurang pandai dan tidak mampu melogika jalannya birokrasi.
Seketika itu saya tutup layar pencari. Lebih baik saya lanjutkan rangkaian kata demi kata, menampilkannya dalam kotak, dan memberikan garis-garis untuk memperjelas pemahaman yang logis pada presentasi.
Mencoba memberi nilai lebih, memberi makna dan perspektif baru dalam setiap materi. Tanpa membuatnya menjadi lebih rumit, tanpa membuat menjadi lebih sulit!
Siap mas Jalu yang baek.
Pengalaman mas Jalu itu persis dengan pengalaman saya, anak pertama sampai anak ketiga.
Tapi itu seingat saya, 9 tahun yang lalu mas, he he he.
Tidak demikian di anak ke empat, saya mas, selang hampir 16 tahun dengan kelahiran anak pertama, dan 9 tahun dengan kakaknha persis. Aturan nya sudah berubah mas, he he he.
Coba mas Jalu kalo berani, produksi dan menjalani lagi pengurusan akte. Paradigma baru. Logika baru.
Semoga sukses.
Loh bukannya setiap rumah sakit bersalin ada fasilitas urus Akta Kelahiran, kenapa tidak dimanfaatkan, seingat saya sampai 7 hari kelahiran Akta Kelahiran masih dapat diurus di lokasi kelahiran. Pengalaman saya sewaktu masih satu kota dengan PAk’e Hananto di Kota Bengawan, Akta Kelahiran anak sulung diurus oleh petugas dari PKU Muhammadiyah Surakarta dan diterbitkan oleh Dinas Dukcapil Kota Surakarta meskipun KTP saya terdaftar di Salatiga. Pengalaman kedua di Kota Intan Permata di Kalimantan, Akta Kelahiran anak kedua pun terbit dari Kabupaten Banjar, meski KTP masih terdaftar di Salatiga.
walah ternyata mas hananto dari kota bengawan juga tho?
termasuk beruntung bisa wira wiri ngurus akte dan segenap hal-2 lain seputar identitas anak
saya juga sudah merasakan ….
banyak perbaikan harus segera dilakukan utk negeri ini dan birokrasinya
Siap mas Yuda, senang sekali bertemu dengan rekan ‘seperjuangan’ dari kampung yang sama, he he he.
Senang baca karya2 mas Yuda.
Semoga kita tetap ‘sehat’ di dunia yang semakin ‘sakit’, he he he