
Perubahan teknologi digital telah mengubah wajah dunia—dan Indonesia bukan pengecualian. Kita menyambut era e-commerce dengan gegap gempita, dari promosi gratis ongkir yang membuat senyum pelanggan melebar, hingga kemudahan belanja yang hanya butuh sentuhan jari.
Tapi di balik layar layar ponsel pintar, ada peluh dan tenaga kurir digital yang bekerja tanpa jaminan, tanpa jam kerja manusiawi, dan lebih tragis lagi—tanpa perlindungan hukum yang layak.
Saat kita menyebut nama Shopee, Tokopedia, Lazada, atau TikTok Shop, kita membayangkan kemudahan. Namun, tahukah kita bahwa ekonomi digital yang tumbuh pesat ini justru menghadirkan tantangan serius bagi hukum nasional kita?
Di tengah derasnya arus pengiriman paket, hukum ternyata tertinggal jauh di belakang. Di sinilah ironi besar itu bermula.
Ketika Regulasi Tertidur dan Dunia Berlari
Mari jujur. Undang-undang yang kita miliki—khususnya UU Pos (No. 38/2009) dan UU Ketenagakerjaan (No. 13/2003)—saat ini ibarat peta jalan tahun 90-an yang dipakai untuk menavigasi jalan tol digital masa kini. Tidak relevan. Tidak cukup tajam. Dan paling menyakitkan: tidak berpihak pada pekerja kecil yang menopang ekonomi digital dari bawah.
Dalam dunia nyata, kurir-kurir ini mengantar ratusan paket setiap hari. Mereka bangun sebelum subuh, memulai perjalanan melintasi hujan dan panas, menyusuri gang sempit dan jalan tol. Tapi apa balasannya? Mereka disebut mitra, bukan pekerja.
Karena status inilah mereka tidak berhak atas upah minimum, tidak memiliki jaminan kecelakaan kerja, dan bahkan bisa dikenai denda jika barang yang mereka antar hilang, walaupun bukan karena kesalahan mereka. Ironis? Sangat.
UU Pos: Usang dan Tak Menyentuh Realitas Digital
Undang-Undang Pos kita masih berpikir bahwa jasa logistik adalah milik perusahaan-perusahaan besar dengan kantor tetap, kendaraan resmi, dan sistem konvensional. Padahal, kenyataan di lapangan sangat berbeda.
Hari ini, yang menggerakkan roda logistik adalah aplikasi. Dan di balik aplikasi itu, ada manusia-manusia tanpa kantor, tanpa atasan langsung, hanya berurusan dengan algoritma dan skor performa.
Undang-undang ini tidak mengenal model kerja tanpa kantor. Tidak mengatur peran marketplace sebagai agregator logistik. Tidak bicara tentang algoritma yang memantau kurir.
Yang lebih parah, UU ini juga tidak memuat satu pun pasal tentang perlindungan kerja bagi mereka yang berada di lapangan.
UU Ketenagakerjaan: Gagal Menghadapi Era Kemitraan Digital
UU No. 13 Tahun 2003 dibuat dalam paradigma kerja industri klasik: ada majikan, ada pekerja. Tapi dalam ekonomi digital, perusahaan memanggil pengemudi dan kurir sebagai mitra.
Konsekuensinya, mereka tidak bisa menuntut upah minimum, jaminan sosial, atau cuti. Mereka dianggap wirausahawan mandiri, meskipun dalam kenyataannya mereka bekerja berdasarkan perintah sistem, target pengiriman, dan kontrol algoritmik.
Seharusnya kita sudah belajar dari kasus serupa di Inggris dan Uni Eropa. Status hukum baru seperti pekerja platform (platform worker) sudah mulai diakui di sana—sebuah bentuk kerja yang berada di antara pekerja tetap dan pekerja mandiri. Ini yang harusnya mulai kita bangun di Indonesia.
Permen Komdigi: Reaktif, Parsial, dan Gagal Menjawab Masalah Inti
Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital No. 8 Tahun 2025 adalah contoh regulasi yang reaktif. Isu yang diangkat adalah soal promosi gratis ongkir dan kekhawatiran akan praktik predatory pricing.
Tapi bagaimana dengan nasib kurir yang penghasilannya menurun karena promosi dibatasi? Apakah mereka mendapat kompensasi? Jawabannya: tidak.
Regulasi semacam ini hanya mengobati gejala, bukan akar penyakit. Ia mengabaikan bahwa sistem logistik digital bukan sekadar aliran barang, tapi juga aliran kerja dan manusia yang menggantungkan hidup dari situ.
Status Kerja yang Ambigu: Pekerja Tapi Bukan Pekerja
Kurir digital memiliki jam kerja, target, bahkan sistem penalti. Tapi secara hukum, mereka dianggap bukan pekerja.
Konsekuensinya, tidak ada jaminan upah layak, tidak ada pesangon, dan tidak ada perlindungan hukum jika terjadi kecelakaan kerja.
Yang lebih memilukan: jika barang rusak atau hilang, kurir bisa dikenakan denda. Dalam beberapa kasus, ada yang dipaksa mengganti kerugian hingga jutaan rupiah. Padahal mereka hanya pengantar, bukan pemilik barang.
Di mana keadilan? Hukum seolah menghilang saat pekerja kecil menghadapi risiko besar.
Belajar dari Dunia: Hukum Bisa Berubah Jika Ada Kemauan
Di Inggris, pengadilan menyatakan pengemudi Uber adalah worker yang berhak atas upah minimum dan libur tahunan. Di Uni Eropa, telah diajukan RUU Platform Work Directive yang mengharuskan perusahaan membuktikan jika pekerja benar-benar independen—bukan sebaliknya.
Korea Selatan bahkan menciptakan kategori hukum pekerja khusus yang tetap mendapat jaminan sosial walau statusnya bukan pegawai tetap.
Apa kabar Indonesia? Kita masih menyebut kurir sebagai mitra, tanpa regulasi jelas, tanpa jaminan hukum, dan tanpa perlindungan yang pasti.
Saatnya Negara Hadir
Jika negara terus membiarkan kekosongan hukum ini, maka yang dibiarkan adalah ketimpangan dan ketidakadilan. Ekonomi digital seharusnya menjadi lokomotif kesejahteraan, bukan jebakan bagi para pekerja informal yang ditinggalkan sistem.
Berikut beberapa langkah yang mendesak untuk diambil:
- Pertama, buat klasifikasi kerja baru dalam hukum ketenagakerjaan untuk pekerja platform yang bekerja melalui sistem digital, terkontrol oleh algoritma, dan tidak punya otonomi penuh namun tetap harus dilindungi secara hukum.
- Kedua, UU Pos dan UU Ketenagakerjaan harus direvisi agar mampu mengatur logistik digital, menjamin keselamatan kurir, dan menetapkan tanggung jawab perusahaan digital terhadap pekerjanya.
- Ketiga, buat kebijakan wajib terkait BPJS otomatis untuk semua kurir, asuransi kecelakaan kerja, dan dana darurat berbasis kontribusi bersama antara kurir dan platform.
- Keempat, perusahaan digital wajib membuka sistem algoritma yang menentukan penugasan, sanksi, dan insentif. Transparansi ini penting untuk keadilan.
- Kelima, tidak boleh ada kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan mereka yang terdampak langsung. Libatkan perwakilan kurir dalam pembahasan kebijakan logistik digital.
Penutup: Hukum Harus Hadir, Bukan Menonton
Kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa ini bukan masalah besar. Kurir digital hari ini adalah buruh pabrik zaman dulu—mereka menopang perekonomian, tapi tidak mendapat hak yang sepadan.
Jika hukum hanya berpihak pada mereka yang besar dan berizin, sementara yang kecil dibiarkan tanpa perlindungan, maka hukum kita sedang melawan keadilan. Negara tidak boleh netral dalam ketimpangan.
Sudah saatnya hukum Indonesia bangun dari tidur panjangnya di era digital ini. Karena di balik setiap paket yang tiba tepat waktu, ada cerita manusia yang layak mendapat keadilan.
0 Comments