
Di tengah upaya pemerintah mendorong reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik, ada satu pilar fundamental yang sering kali dipinggirkan dalam perbincangan teknokratis: peran hukum pidana dalam menjaga marwah dan integritas tata kelola pemerintahan.
Selama ini, isu peningkatan kinerja pelayanan publik lebih banyak dibahas dalam kerangka manajemen strategis, kompetensi aparatur, atau bahkan digitalisasi.
Semuanya tentu penting, namun tanpa penegakan hukum pidana yang tegas terhadap pelanggaran dan penyimpangan wewenang, seluruh desain sistem administrasi negara akan mudah rusak dari dalam oleh praktik-praktik koruptif, manipulatif, dan oportunis.
Pelayanan Publik dalam Bayang-Bayang Tindak Pidana
Pelayanan publik yang prima tidak bisa dipisahkan dari perilaku aparaturnya. Pelayanan yang cepat, murah, transparan, dan akuntabel hanya mungkin tercipta ketika setiap penyelenggara negara memahami dan menjunjung tinggi prinsip integritas.
Namun kenyataannya, kasus-kasus penyalahgunaan jabatan, korupsi, dan gratifikasi masih marak terjadi, bahkan dalam sektor-sektor pelayanan yang paling krusial bagi masyarakat.
Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa setiap tahun, sebagian besar tindak pidana korupsi dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di level pemerintah daerah.
Sebagian besar di antaranya berkaitan langsung dengan pelayanan publik: perizinan, proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, hingga pungutan liar di sektor pendidikan dan kesehatan.
Ini bukan sekadar pelanggaran etika,
melainkan bentuk tindak pidana yang secara langsung merusak kualitas
dan kepercayaan masyarakat terhadap layanan pemerintah.
Dalam situasi seperti ini, hukum pidana memainkan peran penting sebagai alat pengendali (control mechanism). Ia menjadi rambu sekaligus palang pintu yang menegaskan batas antara penggunaan wewenang secara sah dan penyalahgunaan kekuasaan.
Aparat yang terbukti menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi tidak cukup hanya diberi sanksi administrasi atau moral, melainkan harus dimintai pertanggungjawaban pidana. Tujuannya bukan semata-mata untuk menghukum, tapi untuk mengembalikan marwah pelayanan publik sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat.
Efek Jera dan Deterrent System
Salah satu nilai penting dari hukum pidana adalah kemampuannya menciptakan efek jera (deterrent effect). Ketika aparat negara melihat adanya risiko tinggi terhadap pelanggaran, mereka akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas.
Di sinilah keberanian penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian sangat dibutuhkan untuk membongkar praktik pelanggaran yang terorganisir.
Namun hukum pidana tidak boleh hanya dipahami sebagai “alat pemukul” di akhir proses. Ia harus menjadi bagian integral dari sistem pencegahan.
Misalnya, dalam proses pelayanan publik yang berbasis digital, seharusnya ada sistem deteksi dini terhadap potensi penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana.
Di sisi lain, internalisasi nilai-nilai anti-korupsi dan edukasi hukum pidana kepada ASN juga menjadi penting, agar aparatur memahami konsekuensi dari setiap tindakan administratif yang mereka ambil.
Sistem administrasi negara yang baik harus mampu mengelola wewenang secara proporsional. Ketika wewenang digunakan untuk melayani, maka negara berfungsi sebagaimana mestinya. Tapi ketika wewenang disalahgunakan, maka hukum pidana harus hadir untuk menegakkan kembali keadilan dan akuntabilitas.
Antara Penindakan dan Pencegahan
Hukum pidana tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan hukum administrasi negara dalam konteks tata kelola pemerintahan. Namun kekhususan hukum pidana terletak pada sifatnya yang koersif, memaksa, dan menimbulkan penderitaan hukum (pidana).
Oleh karena itu, penggunaannya harus proporsional dan selektif, namun tetap tegas dan tidak kompromistis terhadap pelanggaran serius.
Misalnya, ketika seorang pejabat publik dengan sengaja memperlambat proses perizinan agar bisa “bermain” dengan pemohon, ini bukan semata pelanggaran disiplin, tapi bisa menjadi pintu masuk bagi penyidikan dugaan pemerasan atau gratifikasi.
Dalam kasus ini, hukum pidana bukan hanya menyelesaikan satu perkara, tapi juga memberikan pesan simbolik kepada birokrasi: bahwa negara tidak akan membiarkan pelayanan publik disandera oleh kepentingan pribadi.
Namun demikian, penegakan hukum pidana juga harus diimbangi dengan pendekatan pencegahan yang sistematis. Pemerintah perlu membangun sistem pelayanan publik yang transparan, berbasis digital, dan minim sentuhan langsung antara aparat dan pengguna layanan. Pendekatan semacam ini secara tidak langsung akan meminimalisir ruang bagi kejahatan birokrasi.
Epilog: Menjaga Citra Negara di Mata Rakyat
Di era demokrasi modern, kepercayaan publik terhadap negara tidak hanya ditentukan oleh janji-janji politik atau program pembangunan fisik. Ia juga sangat ditentukan oleh kualitas interaksi harian masyarakat dengan birokrasi, baik di kelurahan, rumah sakit, sekolah negeri, hingga kantor pelayanan terpadu.
Ketika pelayanan publik berlangsung cepat, ramah, dan profesional, maka rakyat merasa dihargai. Tapi sebaliknya, ketika layanan menjadi ladang pungli, diskriminatif, dan penuh jebakan hukum, maka citra negara ikut rusak.
Hukum pidana menjadi instrumen penting untuk menindak oknum yang mencoreng citra institusi, sekaligus menjaga kepercayaan rakyat terhadap wibawa negara.
Sebagaimana adagium klasik berbunyi, “Fiat justitia ruat caelum”—biarlah keadilan ditegakkan walau langit runtuh—maka dalam konteks pelayanan publik, biarlah hukum pidana ditegakkan walau birokrasi terusik.
Karena sejatinya, birokrasi bukanlah menara gading yang kebal hukum, melainkan pelayan rakyat yang harus tunduk pada nilai integritas dan keadilan.
Hubungan antara hukum pidana dan kinerja pelayanan publik bukanlah hubungan yang terpisah atau saling mengabaikan. Keduanya saling terkait secara erat.
Tanpa penegakan hukum yang adil dan tegas, semua upaya perbaikan pelayanan akan sia-sia. Sebaliknya, penegakan hukum yang represif tanpa perbaikan sistem dan kompetensi juga hanya akan menimbulkan ketakutan, bukan transformasi.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan hari ini adalah sinergi antara sistem hukum, tata kelola pelayanan, dan integritas aparatur. Hukum pidana tidak boleh lagi diposisikan sebagai alat terakhir (ultimum remedium), tetapi sebagai bagian dari keseluruhan ekosistem birokrasi yang sehat, responsif, dan bersih.
0 Comments