Guru: Jabatan Fungsional Rasa Bawahan Struktural Pelaksana

by Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer | May 14, 2023 | Birokrasi Berdaya | 7 comments

man in brown blazer with white mask

Menyaksikan unjuk rasa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (nakes) yang tergabung dalam berbagai organisasi profesi terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan “Omnibus Law”, saya menjadi teringat dengan aksi mulia yang pernah dilakukan oleh para guru pada tahun 2007. 

Pada saat itu para guru juga melakukan unjuk rasa menuntut kepada pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar (UUD) 1945 agar mengalokasikan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Berkat dari aksi ini, pada akhirnya sejak Indonesia merdeka, sektor pendidikan menjadi prioritas negara yang dibuktikan dengan besarnya anggaran negara untuk pendidikan, meskipun di sisi lain, belum semua guru dapat merasakan kesejahteraan sebagai bagian dari anggaran pendidikan yang sedemikian besarnya.

Guru dan Dosen, Undang-undang Sama Tapi Nasib Beda

Di antara berbagai profesi dan jabatan fungsional, para guru mungkin dapat berbangga diri, karena sudah sejak lama ada satu undang-undang khusus yang mengatur tentang profesi guru. 

Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah sejak lama mengatur kedudukan guru dan dosen dan kemudian menjadi acuan bagi aturan di bawahnya. 

Meskipun guru dan dosen sama-sama merupakan tenaga pengajar dan diatur dalam UU yang sama pula, keduanya tetaplah berbeda. Guru adalah pengajar pada tingkat dasar dan menengah, sedangkan dosen adalah akademisi atau ilmuwan yang mengajar pada tingkat dewasa. 

Dengan adanya perbedaan di antara keduanya ini harusnya jangan sampai menimbulkan perbedaan nasib yang begitu kontras. Namun, ternyata perbedaan nasib ini justru terlalu mencolok dan memprihatinkan.

Seorang dosen biasa, biasanya, bertanggung jawab kepada Ketua Jurusan yang notabene adalah dosen juga. Demikian hierarki ke atas hingga sampai kepada rektor yang semuanya adalah dosen. Atasan rektor adalah Menteri Pendidikan, sehingga secara hakikat hanya menteri lah yang ditakuti oleh dosen. 

Adapun guru berada di bawah Kepala Sekolah, namun atasan Kepala Sekolah adalah pejabat struktural eselon III, bahkan ada yang menempatkan di bawah pejabat eselon IV

Akibatnya, meskipun guru adalah pejabat fungsional, tapi diperlakukan seperti bawahan dari pejabat struktural pelaksana atau dalam bahasa lainnya staf biasa. 

(Mohon maaf kepada pembaca birokratmenulis.org, rasanya terlalu panjang kalau harus saya jelaskan di sini apa itu eselon, fungsional dan struktural. Silahkan Anda baca sendiri artikel-artikel tentang hal tersebut, salah satunya ada di sini)

Indikasi yang tampak adalah, masih jarangnya kita dapati ada guru yang mencapai jenjang Fungsional Utama (golongan (IV/e)), sedangkan dosen sangat banyak yang mencapai jabatan Guru Besar. Hal ini karena universitas sebagai lembaga otonom juga dapat mengurus urusan kepegawaian dosen. 

Sebaliknya dengan para guru yang urusan kepegawaiannya harus melalui banyak tempat, dari sekolah, menuju Cabang Dinas, kemudian ke Dinas, selanjutnya ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD), barulah kepada Badan Kepegawaian Negara dan Menteri Pendidikan.

Kesenjangan Jabatan dan Diskriminasi

Selain itu, kita sering mendapati pejabat eselon II ke atas diisi oleh para dosen, dengan alasan bahwa mereka dianggap memiliki ilmu yang mumpuni untuk menyelesaikan tugas pada jabatan struktural tersebut. 

Namun, para guru sangat jarang yang mendapat kesempatan seperti ini, bahkan untuk menjadi Kepala Dinas Pendidikan yang memang sepantasnya dijabat oleh guru. Jangankan itu, anggota Dewan Pendidikan saja lebih sering diisi oleh profesi lain daripada oleh guru. 

Jika hal ini karena kualifikasi pendidikan guru yang dianggap “rendah” karena hanya tamatan sarjana (S1), maka mengapa tidak ditingkatkan saja pendidikan para guru seperti di luar negeri yang mensyaratkan pendidikan tinggi bagi para guru.

Satu lagi perbedaan nasib yang sangat kontras antara guru dan dosen adalah ketika mereka terlibat dalam masalah pidana. Ketika ada guru yang didakwa melakukan “tindakan kekerasan” kepada siswa, maka tidak ada yang membela, baik dari sekolah, organisasi profesi apalagi dari instansi pemerintah yang menaungi pendidikan. 

Bahkan tak sedikit Kepala Dinas maupun bawahannya bak pahlawan kesiangan dengan wajah begitu sumringah langsung menjatuhkan sanksi kepada guru. Namun ketika dosen melakukan tindakan asusila, tidak terlihat upaya dari universitas seperti yang dialami oleh guru.

Ketimpangan Pendapatan Guru

Kalau di sini saya membahas tentang kesejahteraan guru yang masih di bawah harapan, akan banyak yang kontra dengan pendapat saya. Bahkan bu Sri Mulyani saja mengatakan bahwa tunjangan profesi guru (TPG) besar tapi tetap tak berkualitas. 

Padahal, kalau dibandingkan dengan tunjangan pegawai Kementerian Keuangan, mengutip istilah kekinian, TPG bak remah rengginang yang jatuh ke dasar laut. 

Belum lagi kalau melihat kepada masih banyaknya guru honorer di sekolah yang mendapatkan gaji hanya dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang gajian sekali tiga bulan, itupun disunat pula oleh “oknum”. 

Guru yang mengajar di sekolah swasta juga tidak jauh beda peruntungannya. Tentulah jangan kita jadikan sekolah swasta di Jakarta sebagai patokan, yang uang sekolahnya saja sudah jutaan per bulan, tetapi guru-guru swasta di daerah terpencil dengan orang tua siswanya yang masih kurang peduli dengan pendidikan, sehingga menganggap uang sekolah begitu berat untuk dibayar.

Ketika pemerintah melalui UU Guru dan Dosen pada akhirnya memberikan TPG kepada guru, banyak di antara jabatan lain yang iri dengan guru karena dianggap memiliki beban kerja yang enteng plus memiliki libur seperti anak sekolah. 

Karena itu, diberikanlah tugas-tugas administrasi kepada guru dengan membuat berbagai macam berkas yang diberi nama “buku kerja guru”. 

Namun anehnya, ketika akhirnya pemerintah memberikan remunerasi kepada seluruh PNS berupa Tunjangan Kinerja, hanya jabatan guru lah yang tidak mendapatkannya

Hal ini karena guru dianggap telah sejahtera karena menerima TPG. Masalahnya tidak semua guru menerima TPG, contohnya mereka yang baru lulus seleksi CPNS harus bersabar untuk dapat mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG), barulah boleh mendapatkan TPG.

Pembedaan seperti ini pastilah akan menimbulkan kasta-kasta, di antara sesama jabatan fungsional, bahkan di antara jabatan guru itu sendiri. Bagi para pejabat fungsional guru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berada di bawah Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan kementerian lainnya (kecuali Kementerian Agama) akan mendapatkan Tunjangan Kinerja seperti layaknya PNS lain. 

Namun, bagi guru di bawah pemerintah daerah terkadang mendapat diskriminasi dalam hal remunerasi ini, yang tak jarang hanya mendapatkan gaji pokok saja. Tentu saja nasib yang miris ini akan berbeda dengan fungsional lain seperti dosen dan widyaiswara yang mendapatkan tambahan penghasilan lain di luar gaji pokok.

Organisasi Profesi Guru: La Yamuutu Walaa Yahya

Sesuai dengan prinsip jabatan fungsional yang lebih menekankan pada asas profesionalitas, maka jabatan guru juga harus memiliki suatu organisasi sebagai wadah profesional. 

Hal ini sudah diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen, dan lebih ditegaskan lagi dalam Permenpanrb no. 1 tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Guru sebagai profesi memerlukan keahlian yang ditopang oleh suatu jenis pendidikan khusus dan sistematis. 

Oleh karena itu, tidak semua orang boleh menjadi guru, sama hal nya tidak semua orang dapat menjadi dokter. Harus melalui pendidikan dan khususnya pendidikan profesi.

Kenyataan yang agak miris menunjukkan bahwa organisasi profesi guru yang ada hanya sekadar membayar iuran dan ngumpul, sampai terbentuk suatu ungkapan bahwa MGMP yang harusnya adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran menjadi Mangan-Guyon-Minum-Pulang

Salah satu penyebabnya karena yang duduk dalam kepengurusan adalah profesi selain guru. Hal ini sangat berbeda dengan organisasi profesi di bidang kesehatan yang bahkan dapat menerbitkan Surat Tanda Registrasi (STR). 

Sebaliknya dalam program PPG  misalnya, tidak pernah melibatkan organisasi profesi guru sebagai narasumber, melainkan hanya mengambil dosen sebagai narasumbernya. Hal ini tentu sangat rancu karena dosen hanyalah akademisi, sedangkan ilmu dari para praktisi malah tidak diikutkan.

Padahal di sisi lain, organisasi profesi guru begitu banyak jumlahnya. Namun, tak banyak yang kemudian memang benar-benar duduk dalam menjalankan tugas keprofesian, kebanyakan malah hanya pelatihan-pelatihan teknis seperti pembuatan soal Computer Based Test

Namun di sisi lain, banyak juga semi organisasi profesi yang kemudian ternyata lebih aktif karena memiliki jumlah keanggotaan yang lebih sedikit sehingga lebih fokus. Ambil contoh MGMP yang ternyata lebih aktif bahkan tanpa ada sokongan dana dari pemerintah. 

Namun sialnya, mereka yang aktif di MGMP akan dicap sebagai pembangkang oleh Kepala Sekolah dan dipersulit untuk mengembangkan profesinya dengan alasan bahwa masih banyak tugas yang harus dikerjakan di sekolah.

Maka tak heran akhirnya organisasi profesi guru menjadi La Yamuutu Walaa Yahya, antara ada dan tiada, hidup segan mati tak mau. Hal ini juga turut dipengaruhi tidak sinkronnya hubungan antara “akademisi” dan “praktisi” pendidikan. 

Pada organisasi profesi jabatan fungsional lain, terdapat riset tentang keprofesiannya. Hal ini karena seorang praktisi diperbolehkan juga menjadi dosen dan sebaliknya, sehingga perkembangan ilmu profesi tersebut akan pesat karena antara teori dan praktik saling melengkapi. 

Sebaliknya dengan guru, dengan alasan kekurangan guru, maka tidak diperkenankan menjadi akademisi berdasarkan Surat Edaran MENPAN nomor SE/15/M.PAN/4/2004. 

Hal ini menyebabkan ilmu yang didapat di Fakultas Ilmu Pendidikan kurang update dengan kondisi di lapangan. Di sisi lain para guru juga kurang mendapat keterampilan untuk melakukan penelitian, karena berada di lingkungan yang terlalu birokratik.

Khatimah

Sebenarnya ada banyak sekali hal yang ingin saya bahas, tapi tidak mungkin dibahas dalam artikel sependek ini. Biarlah artikel ini menjadi sekadar pembuka wacana, semoga akan dibahas lebih lanjut oleh para pemangku kepentingan. 

Toh, mereka telah digaji oleh negara untuk melakukan tugas tersebut, mosok kita sebagai rakyat jelata yang harus memikirkannya lagi. 

Kebanyakan guru berasal dari rakyat, dan memang terpanggil menjadi guru karena ingin mencerdaskan rakyat, karena untuk menjadi guru harus bisa merakyat!

3
0
Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Jejaka yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah.

Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Author

Jejaka yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah.

7 Comments

  1. Avatar

    hampir sbagian besar nasib JF spt itu sama dirasakan smp instansi vertikal pun, pejabat kelas 2

    Reply
  2. Avatar

    cocok nih jadi Kasi Kurikulum atau Kasi GTK….hehe…m

    Reply
  3. Avatar

    Memang itulah pemerintah kita,… belum sadar sama sekarang bahwa negara maju gara gara Guru. Buktinya salah satu cina,….

    Reply
  4. Muhammad Abduh

    Terima kasih banyak atas apresiasinya, Pak.
    Semoga semakin banyak guru yang seperti Bapak, sehingga birokrasi pendidikan kita mau tidak mau akan berubah, seperti Reza Husein di Pangandaran yang membuka mata akan kasus yang sebenarnya seperti gunung es

    Salam hangat dari Deli Serdang

    Reply
  5. Avatar

    Betul sekali pak, harusnya kita semakin kencang menyuarakan ini. Di beberapa daerah ngeri pak, izin belajar susah, cuma dapat gaji tok. Terimakasih untuk artikel yang sangat mencerahkan ini. Salam dari Humbang Hasundutan!!

    Reply
    • Avatar

      Salam dari kami pengurus IGPKhI PC Purwakarta sukses selalu semoga semakin terdengar suara suara positifnya.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post