
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Dari tambang emas di Papua hingga hamparan hutan tropis Kalimantan, hingga kekayaan laut di perairan laut timur Indonesia.
Sumber daya alam yang melimpah tersebut menjadi berkah tersendiri bagi negara, menjadi aset penting dan salah satu penopang perekonomian Indonesia. Dari keberadaannya, ia dapat menghidupi jutaan penduduk Indonesia.
Antara Berkah dan Kutukan
Namun, sumber daya alam tersebut tidak selalu membawa sisi positif kepada negara. Sejarah mencatat bahwa kekayaan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi menjadi berkah, tetapi di sisi lain bisa berubah menjadi kutukan. Yaitu, jika tidak dikelola secara bijak, transparan, dan berkeadilan.
Sumber daya alam seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan semua makhluk hidup, namun tak jarang hal itu justru disalahgunakan untuk menguntungkan sekelompok orang saja.
Oleh karenanya, Indonesia harus bisa memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang ada memberikan manfaat optimal bagi kemakmuran rakyat. Sayangnya, fenomena yang kian meresahkan adalah maraknya praktik kejahatan lingkungan yang terselubung dalam aktivitas ekonomi legal.
Salah satu bentuk kejahatan ini dikenal sebagai Green Financial Crime (GFC), yaitu tindak kejahatan keuangan yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Green Financial Crime
Hari–hari ini kita sering mendengar istilah Green Financial Crime.
Green Financial Crime merupakan tindak kejahatan keuangan di bidang sumber daya alam dan lingkungan, terutama eksploitasi sumber daya secara legal maupun ilegal yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kerugian bagi negara dan atau perekonomian negara (Laporan Tahunan PPATK, 2023).
Green Financial Crime bukan hanya merusak lingkungan secara fisik tetapi juga menggerogoti sistem ekonomi, hukum, dan bahkan demokrasi suatu negara.
Berbagai kegiatan pemerasan sumber daya alam secara ilegal seperti pertambangan liar, pembalakan hutan, sampai kepada aktivitas perdagangan satwa liar dapat disertai dengan kegiatan pencucian uang yang menyebabkan sulitnya kejahatan ini diungkap oleh penegak hukum.
Pelakunya tidak jarang bersembunyi di balik perusahaan legal, menggunakan skema bisnis yang rumit, dan memanfaatkan celah regulasi untuk menutupi praktik mereka.
Salah satu modusnya adalah co-mingling, yakni mencampur produk legal dengan ilegal di awal rantai pasok, agar hasil eksploitasi ilegal sulit dilacak di kemudian hari.
Yang lebih mengkhawatirkan, kejahatan ini seringkali berjalan beriringan dengan praktik korupsi, kolusi, dan gratifikasi. Dalam banyak kasus, pelaku dapat memperoleh izin eksploitasi sumber daya alam dengan menyuap atau memberikan keuntungan pribadi kepada oknum pejabat publik.
Proses ini menciptakan sistem yang tidak adil dan merusak kepercayaan Masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan, laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa sebanyak Rp 45 Triliun dana hasil kejahatan lingkungan digunakan untuk membiayai kampanye politik pada pemilu 2024.
Fakta ini menunjukkan bahwa Green Financial Crime telah menjelma menjadi ancaman sistemik yang menyentuh pilar-pilar utama demokrasi.
Dampak Masif yang Ditimbulkannya
Dampak dari kejahatan ini begitu luas dan merugikan banyak pihak. Secara lingkungan, kita melihat hutan yang habis ditebang, bahkan terjadi konflik dengan masyarakat adat di berbagai daerah terkait pembukaan lahan.
Masyarakat adat yang sudah lama menjadi penghuni hutan tersebut harus tersingkir dari tempat tinggalnya sendiri akibat keserakahan segelintir orang. Selain itu, bencana-bencana pun terjadi:
- tanah longsor akibat tambang tanpa reklamasi,
- pencemaran sungai oleh limbah industri, serta
- punahnya berbagai spesies hewan karena perburuan liar.
Namun, kerugian tidak berhenti di sana. Negara kehilangan potensi pendapatan dari sektor sumber daya alam karena praktik penghindaran pajak dan transaksi ilegal. Di sisi lain, petani dan nelayan yang hidup bergantung pada alam juga menjadi korban karena kehilangan akses terhadap lahan dan sumber daya.
Isu yang Masih Diabaikan
Sayangnya, isu Green Financial Crime belum mendapat perhatian serius dari publik. Isu lingkungan umumnya hanya ramai dibicarakan saat terjadi bencana alam, seperti banjir atau kabut asap.
Jarang ada diskusi mendalam tentang bagaimana kerusakan itu terjadi akibat sistem ekonomi dan keuangan yang disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang. Padahal, jika dibiarkan terus terjadi, Green Financial Crime berpotensi menjadi bom waktu yang mengancam keberlanjutan pembangunan dan stabilitas negara.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat telah berusaha mengangkat isu ini ke permukaan. Laporan Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan:
Sepanjang tahun 2023 kejahatan lingkungan hidup telah mencapai 908 kasus dan sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2024 telah terdapat pengaduan atas 7.870 kasus.
WALHI juga dalam laporan nya pada tahun 2022 mengungkap bahwa 94,8 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi besar, sementara rakyat hanya mengelola sebagian kecil.
Ketimpangan ini menjadi gambaran jelas bahwa sistem pengelolaan sumber daya alam saat ini belum berpihak kepada keadilan sosial dan lingkungan.
Menantikan Kesadaran Kita untuk Beraksi
Ketika lahan, hutan, dan tambang lebih banyak dikendalikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka semakin besar potensi kejahatan finansial berbasis lingkungan ini terjadi.
PPATK melaporkan selama periode 2022 – 2023
terdapat dugaan aliran dana ilegal dari 53 laporan yang diterima, termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang, terkait kejahatan di sektor lingkungan dengan
nilai yang mencapai 20 triliun Rupiah.
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja sama dari berbagai elemen bangsa.
- Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap sektor sumber daya alam, serta menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan dan pejabat yang terlibat.
- Dunia usaha, khususnya yang bergerak di sektor ekstraksi alam, harus menunjukkan komitmen terhadap prinsip tata kelola yang baik dan berkelanjutan.
- Institusi pendidikan dan akademisi juga memiliki peran penting dalam melakukan riset dan menyebarkan informasi yang objektif kepada publik.
- Media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, diharapkan aktif menyuarakan isu-isu lingkungan yang seringkali luput dari perhatian utama.
- Dan yang paling penting, masyarakat harus mulai sadar dan peduli terhadap pentingnya pengelolaan alam yang adil dan bersih.
Kekayaan alam Indonesia adalah warisan yang tak ternilai bagi generasi sekarang dan masa depan. Namun, jika dibiarkan dikuasai oleh mafia lingkungan, ditutupi oleh praktik pencucian uang, dan dilindungi oleh sistem korup, maka kekayaan ini justru akan menjadi kutukan.
Saatnya kita semua membuka mata dan mengambil sikap. Green Financial Crime bukan hanya soal lingkungan – ini soal keadilan, keberlanjutan, dan masa depan bangsa.
0 Comments