Dunia mungkin tak akan mengenang Jean Henry Dunant, seorang bangsawan Swiss, jika ia tidak ke Kota Solferino di Italia. Sebenarnya ia tengah dalam perjalanan bisnis guna menemui Napoleon III, Kaisar Perancis kala itu.
Namun, betapa terkejutnya manakala ia melintasi Solferino pada 24 Juni 1859 yang sedang mengalami perang dahsyat antara pasukan Perancis – Italia melawan tentara Austria. Perang ini berlangsung sampai malam dan menewaskan lebih dari 40.000 orang.
Semakin menyayat hati ketika mendengar jeritan korban perang yang terluka dan tengah sekarat akibat dehidrasi. Ia melihat banyak prajurit yang tewas bukan saja karena berlaga di medan perang, namun ketika mereka terluka parah, justru tidak segera diberi pertolongan akibat terbatasnya tenaga medis dan obat-obatan.
Melihat kondisi ini, ia lantas mengajak penduduk sekitar kota tersebut untuk menolong dan merawat korban yang terluka.
Kenangan Pilu Solferino dan Konvensi Jenewa
Sekembalinya ke Swiss, kenangan akan kepiluan “Perang Solferino” terus membayang di pikirannya. Pemuda kelahiran 8 Mei 1828 ini tak bisa melupakan bagaimana para prajurit itu merintih kesakitan. Ternyata ada bencana kemanusiaan yang selama ini tidak disadari, yaitu kurangnya pertolongan medis terhadap korban peperangan.
Semua buah pikirannya ini kemudian ia tulis dalam sebuah buku yang berjudul “Kenangan dari Solferino”. Terbitnya buku itu segera mendapat tanggapan yang luas dari para pemimpin Eropa. Terbukti di tahun 1864, pemerintah Swiss mengundang delegasi dari berbagai negara yang menghasilkan “The Convention of Geneva” (Konvensi Jenewa).
Perjanjian ini terdiri dari sepuluh artikel, pada intinya menjamin netralitas lembaga kemanusiaan yang bertugas saat terjadi perang dan setiap negara wajib melindungi kepentingan lembaga kemanusiaan ini sekalipun dari pihak musuh. Konvensi inilah yang menjadi salah satu rujukan hukum peperangan sampai sekarang.
Selain menghasilkan Konvensi Jenewa, dari gagasan Dunant ini juga terbentuk “International Committee for Relief to the Wounded” (Komite Internasional untuk Pertolongan terhadap Korban Cedera), yang kemudian berganti nama menjadi “International Committee of the Red Cross” atau ICRC (Komite Palang Merah Internasional) di tahun 1876.
Dunant bersama empat orang lainnya menjadi pengurus di lembaga ini yang sering disebut dengan komite lima. Karena terlalu sibuk mengurusi komite ini, Dunant mengabaikan urusan bisnisnya hingga ia menjadi bangkrut.
Untunglah masih ada yang peduli dengan nasibnya, di tahun 1901 komite Nobel menganugerahinya penghargaan Nobel pertama bidang perdamaian bersama F. Passy. Hadiah ini menjadi nafkah hidupnya sampai ia wafat pada 30 Oktober 1910.
Diawali dari ICRC di Swiss
Di awal abad ke 20, peran Palang Merah sebagai organisasi kemanusiaan semakin terasa dibutuhkan keberadaannya. Meskipun manusia telah melampaui teknologi yang teramat canggih, ternyata hal itu tidak menjamin dunia akan menjadi damai, justru sebaliknya karena ambisi dari setiap negara penjajah yang ingin menguasai negara lain, sehingga meletuslah Perang Dunia (PD) I dan II.
Dalam kedua perang terbesar sepanjang sejarah ini,
Palang Merah punya andil yang sangat besar untuk menyelamatkan korban perang.
Selama PD I, ICRC berhasil mengirim 20 juta surat dan pesan, 1,9 juta paket,
dan sekitar 18 juta franc Swiss untuk sumbangan bagi tawanan perang. Bahkan, mereka berhasil mengembalikan 200.000 tawanan perang ke negara asal masing-masing.
Pada PD II ICRC juga sukses menyelamatkan puluhan ribu korban perang dari kekejaman NAZI dan berhasil mengirimkan 1,1 juta paket langsung ke dalam kamp konsentrasi yang terkenal angker. Atas jasa-jasa ini, Panitia Nobel menganugerahi ICRC dengan Hadiah Nobel di bidang perdamaian pada tahun 1914 dan 1944.
Meskipun bersifat internasional, ICRC bukanlah seperti PBB atau ASEAN yang keanggotaannya berasal dari semua negara. Sejatinya badan yang ikut didirikan oleh Dunant ini adalah sebuah asosiasi swasta yang tunduk pada hukum di Swiss dan mempunyai ruang kerja internasional. Dengan demikian, anggota komite adalah warga negara Swiss yang berjumlah 15 sampai 25 orang.
Oleh karena itu, Palang Merah yang ada di setiap negara bukanlah cabang dari ICRC, seperti Palang Merah Indonesia (PMI) yang merupakan organisasi asli Indonesia, karena tugas ICRC adalah menyetujui pendirian organisasi palang merah di suatu negara dan tidak ikut campur tangan dalam masalah pendiriannya.
Namun, karena ICRC bertugas di bidang kemanusiaan dan merupakan penggagas Hukum Perang Internasional (HPI), maka keberadaan ICRC wajib dilindungi oleh setiap negara yang menandatangani Konvensi Jenewa dan ICRC berhak mengawasi pelaksanaan HPI di setiap negara.
Perkembangan Palang Merah yang semakin Mendunia
Sejalan dengan waktu, tugas ICRC hanya terfokus pada korban peperangan saja, padahal tak jarang banyak korban berjatuhan akibat bencana alam atau penyebaran penyakit mematikan dan gangguan darurat lainnya.
Maka, Henry Davison dari Palang Merah Amerika Serikat, mengusulkan pembentukan Liga Perhimpunan Palang Merah yang mempunyai ruang lingkup lebih luas, termasuk menangani masalah yang berkaitan dengan bencana alam, seperti penyaluran bantuan atau merawat korban bencana alam.
Usul ini dicetuskan dalam Konferensi Kesehatan Internasional di Cannes, Perancis dan mendapat sambutan positif dari Palang Merah Prancis, Inggris, Italia dan Jepang. Liga ini berdiri pada 5 Mei 1919 dan segera memberikan bantuan kepada korban kelaparan dan epidemi tifus di Polandia.
Pada tahun 1983, terjadi penambahan nama menjadi Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah untuk merangkul organisasi Bulan Sabit Merah di berbagai negara dan menunjukkan kesetaraan antara Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Liga ini kembali mengubah namanya menjadi International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) di tahun 1991.
Di samping itu Palang Merah juga mempunyai tujuh prinsip dasar yaitu Kemanusian, Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Dalam menjalankan program kemanusiaan, Palang Merah juga menerapkan beberapa strategi, seperti Strategi 2020 yang secara garis besar bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari bencana dan krisis, menggalakkan hidup sehat dan aman, serta mempromosikan budaya anti kekerasan.
Kontroversi Seputar Lambang Palang Merah.
Asal simbol Palang Merah bermula pada 17 Februari 1863. Saat itu diputuskan untuk membuat suatu lambang bagi tenaga sukarela yang dapat dilihat dengan mudah dari jauh dan dikenali oleh semua pihak.
Atas usul Jenderal Duffour, anggota komite lima, ditentukanlah lambang berupa palang berwarna merah di atas latar putih, atau kebalikan dari bendera Swiss. Adapun tanda pengenal bagi para sukarelawan ialah palang merah di atas gelang yang terbuat dari kain putih. Perang Dybbol (1864) menjadi penggunaan pertama simbol ini di kancah perang.
Walaupun Daulah Utsmaniyah (Turki) mendukung gerakan Palang Merah, simbol Palang Merah tidak disetujui pemakaiannya oleh negara ini. Alasannya adalah simbol tersebut pernah digunakan menjadi bendera negara-negara musuh Daulah Utsmaniyah dan Kekhalifahan Islam.
Apalagi ketika terjadi perang antara Kekaisaran Rusia berhadapan dengan Daulah Utsmaniyah tahun 1877-1878, simbol Palang Merah dianggap pengejawantahan lambang Kekaisaran Rusia yang menjadi seteru Daulah Utsmaniyah.
Oleh karena itu, Daulah Utsmaniyah mengusulkan penggunaan simbol bulan sabit merah khusus di wilayahnya yang notabene mencakup hampir seluruh negara-negara Islam setelah Daulah ini runtuh di tahun 1923. Usul ini diterima oleh Komite Palang Merah dan berlaku sampai sekarang.
Selain itu, Kerajaan Iran mengajukan lambang khusus di negerinya, yaitu Singa Merah dan Matahari. Simbol ini berasal dari bendera Iran yang diwarnai merah. Kerajaan Iran beralasan bahwa mereka tidak mungkin menggunakan simbol Palang Merah yang telah digunakan oleh Rusia dan Bulan Sabit Merah yang dipakai Daulah Utsmaniyah.
Padahal, Iran masih bermusuhan dengan kedua negara ini. Usul ini diterima, namun Komite hanya membatasi tiga lambang ini sebagai simbol yang diakui secara resmi di seluruh dunia guna menjaga netralitas lembaga kemanusiaan ini dari intervensi politik.
Pengajuan Lambang Palang Merah Israel
Setelah Israel membuat negaranya di atas tanah Palestina, negeri ini mengajukan lambang sendiri pada konvensi Jenewa ke-4 (tahun 1949). Mereka membuat lambang bintang Daud merah (Magen David Adom) dan ingin mendapat kesetaraan dengan palang merah lainnya.
Menurut mereka, palang merah diambil dari simbol nasrani dan bulan sabit adalah lambang agama Islam, sehingga kedua simbol ini tidak bisa dipakai di tanah suci umat Yahudi. Namun komite menolak usul ini karena Palang Merah dan Bulan Sabit Merah bukanlah lambang agama tertentu.
Perkembangan berikutnya, Kerajaan Iran berubah menjadi Republik Islam Iran setelah revolusi yang dilakukan rakyat berhasil menjungkalkan Reza Pahlevi dari tampuk kepemimpinan sebagai Syah (Raja) Iran.
Semua lambang yang merupakan warisan dari Kerajaan dihapus, termasuk simbol Singa Merah dan Matahari. Pemerintah Iran memilih simbol bulan sabit merah dan menggunakannya sampai sekarang. Sementara itu Komite Palang Merah tetap mengakui lambang singa merah dan matahari sebagai simbol yang sah berdasarkan Protokol III Konvensi Jenewa.
Pada 1990-an perdebatan mengenai lambang palang merah terus berlanjut. Hal ini karena banyak usulan agar menggunakan lambang yang lebih universal dan tidak menggambarkan kelompok atau agama tertentu.
Setelah berbagai diplomasi yang alot, akhirnya federasi mengambil jalan tengah, yaitu penambahan simbol kristal Merah di samping palang merah dan bulan sabit merah pada 8 Desember 2005 yang diresmikan 22 Juni 2006. Sekarang, 151 negara menggunakan lambang Palang Merah dan 33 negara memakai simbol Bulan Sabit Merah.
Palang Merah dan Kemerdekaan Indonesia
Terlepas dari berbagai kontroversi yang mendera Palang Merah, sesungguhnya peradaban kita tidak akan pernah melupakan jasa-jasa Palang Merah.
Sejarah kemerdekaan Indonesia sendiri tidak bisa dilepaskan dari peran Palang Merah. Sebab organisasi ini ikut membantu para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan yang hendak diambil paksa oleh Belanda.
Tanpa memedulikan risiko, relawan PMI memberikan pertolongan pertama kapanpun dan di manapun kepada para pejuang kita yang terluka. Sampai saat ini, para relawan Palang Merah terus berkontribusi untuk menolong sesama.
Kita pun bisa menjadi pahlawan tanpa harus
menjadi Super-Man,
dengan cara ikut membantu Palang Merah dalam menjalankan tugasnya
di bidang kemanusiaan.
Dunant memang tak lebih dari manusia lainnya, namun karena ia punya kepedulian yang tinggi, dunia mengenangnya hingga kini. Karena sekecil apapun yang kita perbuat untuk menolong sesama adalah hal yang tak ternilai harganya.
0 Comments