Penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk kementerian dan lembaga sudah dilaksanakan pada penghujung 2017 lalu. Rata-rata pelamar adalah mereka yang memiliki usia antara 22 hingga 30 tahun karena memang rentang usia itulah yang disyaratkan oleh kebanyakan instansi. Meskipun demikian, ada juga beberapa instansi yang mensyaratkan usia minimal 18 tahun untuk kualifikasi pendidikan SMA atau usia maksimal 35 tahun untuk kualifikasi pendidikan S2.
Pelamar pada rentang umur tersebut dikenal sebagai generasi milenial atau disebut juga dengan generasi Y. Generasi milenial ini adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 sampai dengan awal tahun 2000.
Karakter Pekerja Generasi Milenial
Beberapa ahli memiliki perbedaan identifikasi tentang rentang usia generasi milenial, tetapi mereka mayoritas sepakat bahwa generasi milenial adalah generasi muda yang lahir saat globalisasi teknologi digital berkembang sangat kuat. Oleh karena itulah generasi milenial pada umumnya lebih ahli dalam penggunaan teknologi dibandingkan dengan generasi sebelumnya (generasi X).
Karakter generasi milenial tentu berbeda di setiap wilayah dan juga bergantung pada kondisi sosial-ekonomi. Yoris Sebastian, seorang penulis buku Generasi Langgas Millennials Indonesia, melihat karakter milenial dalam lingkup pekerjaaan adalah sekumpulan anak muda yang menyukai hal serba instan, efisien, suka belajar, dan menyenangi tantangan.
Generasi ini adalah generasi yang melek teknologi. Perkembangan teknologi yang semakin cepat ternyata memengaruhi karakter para generasi milenial. Sebut saja misalnya saat mereka membutuhkan informasi, mereka akan memilih berselancar ke dunia maya daripada mencari data di buku. Mereka cenderung ingin bekerja praktis dan tidak mau susah. Saat menerima tugas baru yang belum pernah dikerjakan, mereka akan meminta contoh format pengerjaan yang gunanya untuk menghemat waktu pekerjaan.
Bukan hanya gaji dan fleksibilitas waktu, generasi milenial juga menginginkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan terus belajar.
Generasi milenial pun ternyata menolak terjebak pada zona nyaman. Mereka tidak segan untuk mencari tantangan baru jika dirasa pekerjaannya terlalu monoton. Hal itu bukan berarti mereka tidak loyal terhadap pekerjaannya, tetapi mereka hanya loyal pada sesuatu yang memang perlu disetiakan.
Bonus Demografi
Generasi milenial memiliki proporsi usia yang besar dibandingkan rentang usia lainnya. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 271 juta jiwa. Jika penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) diperkirakan mencapai 67,7%,—dimana sebanyak 35% dari jumlah penduduk adalah generasi milenial—maka sebanyak 51,7% dari jumlah penduduk usia produktif tersebut adalah generasi milenial (usia 20-40 tahun).
Hal ini berarti Indonesia sedang mengalami bonus generasi milenial dibandingkan penduduk usia produktif lainnya. Dengan demikian, generasi ini menjadi bagian penting yang memiliki peran dalam kemajuan bangsa, termasuk di dunia birokrasi pemerintahan.
Generasi Milenial di Birokrasi
Terlepas dari karakter negatif yang dimiliki generasi milenial seperti ingin instan, tidak mau susah, narsis, pemalas, dan senang melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, generasi milenial juga dapat membawa keuntungan bagi organisasi asalkan mereka dikelola secara proporsional.
Generasi milenial yang melek teknologi dapat membantu perbaikan berbagai persoalan pemerintah di negeri ini, seperti peningkatan standar pelayanan publik yang lebih efisien, salah satunya adalah penerapan sistem e-government yang lebih transparan dan terintegrasi.
Namun, karena pada umumnya generasi ini memiliki sifat ‘labil’, keberadaan mereka masih harus selalu diarahkan untuk mengacu kepada nilai-nilai mental yang baik, sebagaimana yang diamanatkan pada area perubahan dalam roadmap reformasi birokrasi jilid ke-2.
Pada area perubahan tersebut, mental aparatur negara harus mengacu pada upaya peningkatan profesionalisme, peningkatan citra positif aparatur sebagai pelayan masyarakat, dan peningkatan kepuasan masyarakat sebagai pihak yang dilayani.
Survei Terbatas tentang Generasi Milenial
Seluruh instansi pemerintahan pasti sudah merasakan kehadiran generasi milenial setelah penerimaan CPNS tahun 2017 silam. Apakah kehadiran mereka memiliki potensi memberikan manfaat bagi organisasi, atau mereka hanya menambah beban keuangan negara karena perilaku mereka yang cenderung banyak dianggap negatif? Saya ingin mengetahui motivasi dan ide perubahan yang ingin mereka bawa ke birokrasi.
Untuk menjawabnya, saya mencoba melakukan survei terbatas pada bulan Maret 2018. Survei tersebut saya tujukan ke sejumlah CPNS di lingkungan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Sebanyak 132 orang lolos pada penerimaan CPNS BKN tahun 2017 silam. Namun, hanya 27 responden atau hanya sekitar 20% saja dari jumlah formasi yang berpartisipasi mengisi survei melalui Google Form.
Tentu saja jumlah tersebut tidak memenuhi teori sampling manapun, dan tulisan ini tidak bisa disebut sebagai penelitian ilmiah. Namun, saya tetap mencoba membagikan apa yang saya dapatkan agar kiranya bisa menjadi bahan diskusi selanjutnya tentang pekerja milenial ini.
Beberapa pertanyaan yang saya lontarkan dalam suvei tersebut adalah: alasan bekerja di birokrasi, harapan untuk birokrasi, rencana atau ide untuk memajukan birokrasi, dan peran apa yang dilakukan untuk memperbaiki birokrasi.
Untuk pertanyaan pertama tentang alasan mereka ingin bekerja di birokrasi, hanya sedikit responden yang menjawab ingin mencari uang dan karena pekerjaan di pemerintahan lebih menjanjikan dibandingkan bekerja di sektor swasta. Namun, yang membuat saya bangga lebih banyak responden yang menjawab karena mereka ingin berkecimpung di dunia birokrasi. Lebih dari sekedar motif mencari uang, mereka ingin menjadi agen perubahan, atau ingin mengubah birokrasi Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Pada pertanyaan kedua, yaitu tentang harapan mereka untuk birokrasi, kebanyakan mereka menginginkan prosedur yang tidak rumit, lebih efisien, dan transparan. Bisa jadi mereka menjawab itu karena mereka sudah lelah dengan prosedur birokrasi saat ini yang masih terkesan ribet dan tidak efisien. Mereka hadir di birokrasi untuk membenahinya.
Di pertanyaan ketiga soal rencana atau ide untuk memajukan birokrasi, pemanfaatan teknologi informasi (TI) adalah jawaban yang paling mendominasi. Jawaban tersebut tidak mengherankan mengingat tipikal generasi milenial yang memang melek teknologi. Bahkan, mereka memiliki ide untuk mengadakan pelatihan TI terpadu bagi pegawai yang belum melek teknologi.
Pertanyaan terakhir tentang peran untuk memperbaiki birokrasi, mereka menjawab bahwa salah satu jalan perbaikan adalah dengan berperan masuk ke dalam birokrasi dan mengubahnya dari dalam. Mereka tak sungkan menuangkan ide dan kemampuannya, terutama dalam bidang TI untuk membuat pelayanan publik menjadi lebih mudah dan lebih efisien.
Epilog
Berdasarkan pandangan mereka yang saya kumpulkan dari hasil survei, saya melihat bahwa mereka memiliki potensi memberikan manfaat kepada organisasi. Hal ini dibuktikan dari jawaban pertanyaan ketiga bahwa mereka concern dalam pemanfaatan TI untuk efisiensi dan perbaikan pelayanan ke masyarakat.
Pada akhirnya, potensi ini tergantung pada generasi old apakah akan memberikan kesempatan kepada mereka agar potensi tersebut dapat direalisasikan atau tidak. Sebagaimana kita tahu, jika potensi tersebut terealisasi dengan baik, maka pada akhirnya akan membawa manfaat bagi organisasi.
Pembaca perlu berhati-hati dalam melihat simpulan survei yang saya lakukan. Sebab, survei hanya mengumpulkan data dari CPNS yang diterima di BKN pada tahun 2017 silam. Jumlah responden yang berpartisipasi hanya 27 orang, atau sekitar 20% dari 132 responden yang ada. Oleh karena itu, saya menyarankan agar pemerintah melakukan penelitian lebih dalam atas generasi milenial ini.
Namun, dari hasil survei kecil ini, paling tidak saya merasa optimis bahwa generasi milenial yang terlibat di dunia birokrasi pemerintahan dapat membawa perubahan positif, khususnya dalam meningkatkan pelayanan publik.
Saya, dan juga mungkin Anda, berharap semoga mereka masih tetap berdiri dengan idealismenya sehingga mampu mengubah budaya birokrasi yang sudah terlanjur dipandang negatif di mata masyarakat, bukan malah terkontaminasi ikut larut di dalamnya. ***
P.S. Saya mengucapkan terima kasih kepada I Gusti Ayu Agung Diah Acintya yang telah membantu menyebarkan kuesioner dan kepada seluruh responden yang telah berkenan mengisi kuesioner.
Menjadi bagian dari perbaikan dengan “masuk ke dalam” sistem adalah pilihan yg cerdas. Jadi bukan hanya bisa mengkritik tanpa solusi.
Salut untuk salah satu alasan mereka memilih profesi ini karena ingin menjadi bagian dari perbaikan pelayanan publik. Semoga terjadi🙏🙏
Iya pak Atas karena di artikel juga udah disebutin kalau gen milenial punya potensi yang bagus dan bisa membangun organisasi asalkan dikelola secara proporsional. Kalau masalah “bergantung pada generasi old”, kan memang generasi old lebih senior dan lebih pengalaman di organisasi. Ko aku jadi mbulet ya hehe *salim
memberikan pemahaman generasi old mengenai karakter para milenial
Epilog nya itu lho, kesempatan gen milenial untuk berkarya masih sangat tergantung kepada generasi old yang masih ‘bercokol’ di mayoritas kantor. Berarti ada PR luar biasa untuk memberikan generasi old mengenai karakter para milenial ini