Gelar Tinggi, Moral Rendah? Menguak Relasi Antara Pendidikan dan Korupsi

by | Aug 5, 2025 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

“Education without values, as useful as it is, seems rather to make man a more clever devil.”
— C.S. Lewis

Di negeri yang menjunjung tinggi gelar akademik, masih saja kita menyaksikan deretan nama mentereng bergelar S1, S2, bahkan S3, yang terjerat kasus korupsi. Dari ruang kementerian hingga kantor gubernur, kasus demi kasus membuktikan satu hal: pendidikan tinggi tidak menjamin integritas.

Ketika Cendekia “Terperangkap

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2018–2022 jumlah tersangka korupsi terus meningkat, dari 580 orang (2018) menjadi 1.396 orang (2022). Anehnya, sebagian besar pelaku adalah kalangan terdidik—bahkan menjabat sebagai menteri, kepala daerah, dan pejabat tinggi negara.

Fenomena ini bukan kebetulan. Sebuah studi oleh Syechalad et al. (2018) dalam International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences menyatakan bahwa “tingkat pendidikan tidak berkorelasi negatif terhadap korupsi secara konsisten; dalam beberapa konteks, individu terdidik justru lebih mampu memanipulasi sistem secara legalistik.”

Mengapa Gelar Tak Selalu Menjaga Moral?

Ada beberapa penjelasan yang bisa kita uraikan untuk menjawab pertanyaan sederhana tapi fundamental ini:

  1. Rasionalisasi Canggih
    Orang berpendidikan tinggi memiliki kemampuan argumentatif yang kuat, sehingga mereka mampu membungkus tindakan koruptif sebagai “kepentingan organisasi” atau “kompensasi moral.”
  2. Jaringan dan Akses
    Pendidikan tinggi seringkali membuka pintu jejaring elite—akses terhadap proyek, kekuasaan, dan peluang yang justru memperbesar risiko penyimpangan.
  3. Etika yang Tidak Ditanamkan
    Kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia umumnya fokus pada kemampuan teknis dan kognitif, bukan pada pembentukan karakter moral.
    Seperti diungkapkan oleh Siregar (2020) dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, “kegagalan pendidikan tinggi dalam membentuk integritas moral menjadi faktor struktural dalam tumbuhnya korupsi elite.”

Studi Kasus: Moral versus Kredensial

Kisah tentang ASN muda yang ingin membangun sistem digital layanan desa tetapi justru ditekan oleh struktur birokrasi senior, mencerminkan ketimpangan nilai. Ketika integritas justru terhambat oleh sistem yang korup, maka gelar tak berarti apa-apa.

Sementara itu, pejabat dengan curriculum vitae (CV) akademik memukau bisa dengan mudah menyalahgunakan otoritasnya. Ironis, karena dalam literatur governance, Pellegrini & Gerlagh (2008) menunjukkan bahwa “human capital is not automatically linked to integrity unless supported by civic norms.”

Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?

  • Yang pertama, kita harus mendidik pemimpin yang etis, bukan sekadar tenaga ahli.
    Pendidikan tinggi tidak boleh hanya mencetak tenaga ahli. Ia harus melahirkan pemimpin etis. Pun, dalam situasi birokrasi, strateginya perlu dimasukkan ke dalam peraturan dan keseharian.
    Pada pendidikan, etika perlu ditanamkan dalam kurikulum. Nyatanya kini, pendidikan etika seakan sudah mulai memudar semenjak masa sekolah menengah atas (SMA) menuju kuliah. Padahal, pendidikan ini begitu penting untuk menanamkan nilai. 
  • Penilaian integritas pada aparatur sipil negara (ASN) juga perlu ditingkatkan.
    Pada teori terjadinya fraud, kita mengetahui bahwa peluang (opportunity) merupakan salah satu hal yang menjadi penyebab. Pada dunia ASN, ketiadaan sistem pengendalian ini tentu akan berdampak pada maraknya praktik korupsi.
  • Poin berikutnya adalah tentang keteladanan.
    Sebagai sebuah institusi yang komando berasal dari atasan ke bawahan, keteladanan menjadi faktor menarik. Ia tidak hanya menjadi pengendali, tapi sekaligus memainkan fungsi mentor sekaligus meneladankan penerapan nilai.
    Keberadaan atasan yang mampu melindungi dan mengayomi, akan membuat ekosistem antikorupsi bisa terbentuk. 

Kesimpulan: Bukan Soal Gelar, Tapi Nilai

Korupsi oleh pejabat berpendidikan tinggi membongkar mitos lama: bahwa sekolah tinggi otomatis menghasilkan manusia bermoral tinggi. Faktanya, tanpa nilai dan kontrol moral, ilmu hanya menjadi alat pembenaran.

Dalam birokrasi, gelar harus dibarengi dengan grit, karakter,
dan kepemimpinan etik. Jika tidak, maka seperti peringatan C.S. Lewis di awal tulisan ini, pendidikan hanya menjadikan manusia “iblis yang lebih cerdas.” 

Dan itulah bahaya terbesar dari birokrasi yang hanya mengejar kompetensi, tanpa keberpihakan pada integritas. Integritas bukanlah hasil dari seberapa panjang daftar gelar di belakang nama, melainkan buah dari komitmen pribadi dan sistem yang memberi ruang bagi kejujuran untuk tumbuh. 

Kita butuh transformasi budaya, bukan sekadar reformasi administratif. Pendidikan yang sejati adalah yang membentuk watak, bukan hanya otak; dan birokrasi yang sehat adalah yang menilai seseorang bukan dari CV-nya semata, tetapi dari keberaniannya: 

Berkata benar meski sendirian, dan atau dalam tekanan”.

2
0
Muhammad Satya Pradana ♥ Associate Writer

Muhammad Satya Pradana ♥ Associate Writer

Author

Penulis merupakan staf pada bidang Teknologi Pembelajaran di Badiklat BPK RI. Selain bekerja sebagai ASN, penulis juga masih aktif di dunia penerbitan sebagai editor lepas dan penerjemah buku.

1 Comment

  1. Avatar

    terimakasih Mas atas tulisannya, menjawab pertanyaan yang sering muncul di benak saya kenapa mereka yang memiliki pendidikan tinggi tetapi berlaku amoral, banyak juga kasusnya pemimpin-pemimpin dengan pendidikan tinggi tetapi pemikirannya kurang logis.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post