Sepak bola di Indonesia lebih dari sekadar olahraga; ia telah menjadi bagian dari identitas budaya yang mempersatukan jutaan orang. Di tingkat global, Piala Dunia adalah simbol kebanggaan nasional, dengan lebih dari 200 negara berpartisipasi sejak pertama kali digelar pada 1930.
Ajang ini bukan hanya panggung bagi negara besar tetapi juga peluang bagi negara berkembang untuk bersinar. Bagi Indonesia, tampil di Piala Dunia masih menjadi mimpi. Namun, kemajuan timnas di babak ketiga kualifikasi zona Asia pada tahun 2025 ini memberikan harapan baru.
Di tengah euforia ini,
pergantian pelatih dari Shin Tae Yong (STY) ke Patrick Kluivert menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Artikel ini akan membahas keputusan tersebut melalui sudut pandang manajemen risiko dan pengambilan keputusan.
Berdasarkan berbagai referensi jurnal akademik, terdapat beberapa faktor yang menentukan performa tim nasional. Pertama, kualitas individu pemain dan keseluruhan dalam tim merupakan faktor utama yang menentukan performa tim.
Beberapa aspek penting yang memengaruhi kualitas ini meliputi:
- Kemampuan Individu yaitu memiliki keterampilan teknis luar biasa, kekuatan fisik yang baik, dan pemahaman taktis yang mendalam dapat memberikan pengaruh besar terhadap hasil pertandingan (Sigler & Cooper, 2021).
- Kekompakan Tim (Team Chemistry) yaitu sinergi antar pemain, yang sering disebut sebagai kekompakan tim, dapat meningkatkan performa secara keseluruhan melampaui kemampuan individu masing-masing (Boen et al., 2013).
- Terakhir, kedalaman skuad (Squad Depth) yaitu kemampuan menjaga performa sepanjang kejuaraan, membutuhkan kedalaman skuad yang memadai (Peeters, 2018).
Kedua, pengaruh pelatih terhadap performa tim sangat besar, meskipun sering kali sulit diukur dengan jelas. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kesuksesan seorang pelatih meliputi:
- kemampuan untuk merancang strategi permainan yang efektif dan beradaptasi dengan berbagai lawan di lapangan,
- kemampuan dalam memotivasi pemain,
- menyelesaikan konflik di dalam tim, dan membangun kekompakan tim yang solid, dan
- menggunakan pemain yang tersedia secara optimal.
Keseluruhan faktor ini menunjukkan bahwa peran pelatih tidak hanya sebatas mengatur strategi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung kesuksesan tim secara menyeluruh.
Dua faktor di atas, pemain dan pelatih, merupakan dua faktor utama yang memegang peranan penting dalam kesuksesan tim nasional sebuah negara. Memahami pentingnya dua hal tersebut, PSSI sejak era Ketua Iwan Bule hingga saat ini diketuai oleh Eric Thohir terus berbenah.
Keputusan yang Tidak Mudah
Merekrut pelatih sekaliber STY tentu tidak mudah, terlebih dengan rekam jejak melatih tim nasional Korea Selatan di Piala Dunia. PSSI yakin gaya kepelatihan ala Korea Selatan cocok dengan para pemain dari Asia Tenggara, seperti negara-negara ASEAN lain yang juga percaya dengan pelatih dari Negeri Ginseng sana.
Kemudian, menyadari bahwa kualitas pemain yang berlaga di liga domestik belum memadai maka Indonesia ‘mengajak’ para pemain sepak bola keturunan Indonesia untuk bergabung. Hasilnya, satu per satu pemain bergabung dengan kualitas yang semakin meningkat.
Bagaimana dampaknya? Peringkat Indonesia berdasarkan ranking FIFA terus melonjak dari 176 menjadi 125-130-an dalam waktu kurang dari 5 tahun. Tak hanya soal rangking, Indonesia pun terus melaju di babak kualifikasi menuju Piala Dunia 2026.
Lalu, jika semua fakta menggambarkan hasil positif, mengapa STY harus digantikan di tengah jalan? Poin of View (PoV) PSSI sedikit banyak tergambar dari petikan pernyataan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang menyampaikan bahwa keputusan untuk memecat pelatih STY telah dipertimbangkan dengan matang.
Ia menegaskan bahwa meskipun ada risiko dalam mengambil keputusan ini,
lebih baik mengambil risiko sekarang daripada menyesal di kemudian hari. Penyesalan seperti apa? Kemungkinan besar penyesalan ketika Indonesia gagal melaju ke Piala Dunia 2026.
Dalam bahasa manajemen risiko, tujuan utama yang akan dicapai, merupakan pondasi dari segala hal yang akan dilakukan. Pada konteks ini tentu tujuannya adalah “Indonesia lolos Piala Dunia 2026”, clear? Mari kita coba uraikan.
Target lolos Piala Dunia memang dicanangkan oleh PSSI, tetapi berdasarkan beberapa pernyataan Ketum dan EXCO, targetnya adalah tahun 2030. Hal ini juga jadi landasan tepatnya STY dipercaya melatih timnas karena cenderung berani mencoba pemain-pemain muda, sehingga jargon ‘percaya pada proses’ tepat jika pandangannya adalah 2030.
Nah, pergeseran mulai muncul ketika ternyata lobi-lobi ke pemain diaspora semakin memberikan hasil positif hingga satu per satu pemain berkualitas mulai bergabung. Bertanding melawan Vietnam dan Filipina mulai bisa dimenangkan.
Selain meloloskan Indonesia ke babak ketiga, juga melambungkan kepercayaan diri kita bahwa di Asia kita bisa. Tujuan yang tadinya masih jauh di sana, mendadak muncul milestone jangka pendek di depan mata, Piala Dunia 2026.
Melihat Pencapaian Tujuan dalam Sudut Pandang Manajemen Risiko
Dalam konsep manajemen risiko, kita mengenal dua sisi ketidakpastian atau uncertainty, yaitu upside risk atau bisa disebut juga dengan peluang (opportunity) dan downside risk atau yang biasa kita kenal dengan sebutan risiko.
Perubahan atau penambahan tujuan ini tentu akan memberikan implikasi yang berbeda dari sisi PSSI dan timnas-nya. Dari awalnya mungkin, mencari pengalaman sebanyak-banyaknya untuk lebih siap di 2030, menjadi, manfaatkan semua pertandingan untuk lolos ke Piala Dunia 2026.
Biasanya, dalam manajemen risiko, setelah memahami tujuan yang akan dicapai, kita harus melihat langkah menuju ke sana. Dalam konteks ini tentu satu pertandingan ke pertandingan lainnya. Melihat ke belakang, sebagai data historis kita akan melihat bagaimana hasil-hasil pertandingan sejauh ini. Dalam 6 pertandingan, Indonesia 1x menang, 3x imbang, dan 2x kalah.
Melihat ke depan, Indonesia masih memiliki 4 pertandingan, dengan target 2x menang dan 1x imbang. Dari sanalah hitung-hitungan dimulai, bagaimana memperbesar probabilitas target tersebut tercapai?
Mari kita memandang ini dengan POV PSSI, kita menargetkan 2x menang dan 1x imbang atau 7 poin dalam 4 pertandingan, mudahkah? Berdasarkan data historis, tentu tidak karena dalam 6 pertandingan sebelumnya poin yang berhasil diperoleh adalah 6 poin.
Sekali lagi, dengan pergeseran target dari ‘mencari pengalaman’ menjadi ‘lolos piala dunia’, narasi tentang ‘pencapaian baik yang belum pernah dicapai oleh Indonesia sebelumnya’, sementara kita kesampingkan dulu.
Dari sisi hitung-hitungan matematika sederhana, tidak linier, artinya jika berjalan seperti 6 pertandingan sebelumnya, target itu probabilitas tercapainya rendah menuju menengah. Tentu sepak bola bukan matematika, maka formula optimalisasi pemain dan pelatih adalah kuncinya, sebagai upaya meningkatkan probabilitas.
Sudah bukan jadi rahasia, Indonesia hampir meraih kemenangan di Bahrain, yang sayangnya terenggut dengan segala kontroversinya. Setelahnya, Indonesia melawan China yang diprediksi mudah dikalahkan, tetapi hasilnya jauh dari harapan.
Opsi-opsi yang Harus Dipilih
Singkat cerita, secara teknis mulai banyak dibahas bagaimana STY dinilai kurang maksimal dalam meng-utilize para pemain yang ada termasuk diaspora yang susah payah dibujuk bergabung. Termasuk taktik dan formasi yang ‘berbeda’ saat melawan China hingga berakhir kekalahan pertama bagi Indonesia.
Padahal dari sisi pemain, Indonesia selalu menambah kekuatan diaspora di setiap laga, yang sayangnya beberapa belum bisa menampilkan performa biasanya atau bahkan tak bisa masuk daftar pemain yang siap berlaga. Kondisi-kondisi inilah yang mungkin menjadi dasar pemikiran adanya opsi pergantian pelatih.
Sebagai penyederhanaan, kita gambarkan ini dalam beberapa opsi keputusan yang bisa diambil oleh PSSI sebagai upaya mengelola risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan utama.
- Opsi Pertama, tetap dilatih oleh STY
- Opsi tetap dilatih oleh STY dengan dasar menghindari risiko perlunya adaptasi ulang baik di internal tim maupun memahami calon-calon lawan. Namun, dari sisi pemain khususnya diaspora, secara data dan fakta memang belum terutilisasi dengan maksimal dengan skema STY.
- Padahal, di klub masing-masing di Liga Eropa, mereka mampu tampil dengan baik dengan tingkat persaingan yang harusnya tak terlalu berbeda dengan babak penyisihan Piala Dunia ini.
- Hal ini masih belum termasuk adanya isu terkait keretakan di locker room antara pemain dan pelatih, yang sengaja tidak penulis tambahkan karena belum ada sumber yang dapat mengonfirmasi kebenaran ceritanya.
- Implikasinya, bisa jadi performa Indonesia membaik jika STY yang tetap menjadi pelatih mampu menemukan cara memanfaatkan para pemainnya sehingga Indonesia lolos ke Piala Dunia. Atau justru hasil yang hampir sama terjadi seperti di 6 pertandingan sebelumnya, ‘hampir’ menang atau kalah di situasi yang tidak terduga.
- Opsi Kedua, mengganti pelatih
- Opsi kedua, PSSI berani mengganti pelatih yang diperkirakan mampu menggantikan STY dalam meramu tim yang saat ini lebih banyak diperkuat oleh para pemain diaspora, untuk dapat memaksimalkan kemampuan individu masing-masing dengan dasar kesamaan visi bermain sepak bola.
- Namun, bisa jadi Kluivert yang baru pertama kali menjadi pelatih utama timnas di wilayah Asia belum memiliki banyak gambaran dan pengalaman, sehingga masih buta peta persaingan lawan di Asia.
- Implikasinya, Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026 karena pelatih bisa mendorong para pemain mengeluarkan seluruh kualitasnya, atau justru skema Kluivert yang sangat Belanda ternyata tidak cocok menghadapi lawan dari Asia.
- Opsi Ketiga, STY Bertahan dengan Skema Pemainnya
- Opsi ketiga, STY tetap bertahan sebagai pelatih Indonesia, dan memperbaiki suasana tim dengan hanya memainkan para pemain yang memahami dan mengikuti skema yang dia rancang.
- Artinya bisa jadi pemain yang STY pilih murni hanya datang dari para pemain liga domestik misalnya. Tapi tentu opsi ini bisa dibilang mustahil dilakukan karena harus diakui, untuk bersaing di babak ketiga saat ini, kualitas pemain liga domestik masih belum memadai.
- Oleh karena itu, PSSI hanya memiliki dua opsi yang bisa dipilih. Pembaca mulai tergambar mengapa keputusan ini diambil?
Sebagai catatan, tentu pada masing-masing opsi tersebut PSSI memiliki data dan fakta pendukung di belakangnya, yang kita tidak punya akses untuk bisa membacanya. Namun, secara garis besar, jika dilihat dari kacamata manajemen risiko, keputusan yang diambil tersebut sedikit banyak seperti itu alurnya.
Mempertimbangkan Semua Opsi dan Mengambil Keputusan
Opsi pertama cenderung risk averse, tidak terlalu berani mengambil risiko dengan asumsi bahwa dalam kondisi normal, kejadian demi kejadian akan berjalan sesuai prediksi sehingga tujuan utama dapat tercapai.
Sedangkan pada opsi kedua, memiliki kecenderungan risk taking, berani mengambil risiko dengan asumsi jika hanya kondisi normal, yaitu kejadian-kejadian akan terjadi hampir sama dengan kejadian-kejadian sebelumnya, maka tujuan tidak akan tercapai.
Oleh karena itu, PSSI merasa perlu melakukan perubahan, agar kejadiannya menjadi lebih dari sebelumnya, dalam hal ini kemungkinan kemenangan menjadi lebih besar.
Akhirnya, penjabaran panjang ini bermuara hanya pada satu asa
bahwa setiap opsi yang telah dipertimbangkan dan telah ditentukan, merupakan hasil pengambilan keputusan yang tepat dan cermat, bukan berdasar hanya pada pemikiran personal
yang tidak berdasar.
PSSI mungkin melihat bahwa berada di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia merupakan kondisi yang tidak terjadi setiap saat, sehingga semangat untuk menggapai peluang menjadi pertimbangan yang lebih besar dibandingkan bergerak dalam kehati-hatian dan berujung pada penyesalan.
Namun, pada hakekatnya, masyarakat yang selalu setia mendukung timnas Indonesia tentu juga perlu diyakinkan, bahwa keputusan ini diambil dengan dasar analisis yang terukur, bukan berdasar perdebatan ngawur.
0 Comments