
Pernyataan Mahfud MD tentang gaji anggota DPR yang mencapai “miliaran per bulan”—bukan sekadar Rp 230 juta seperti pemahaman publik—kembali menampar kesadaran kita tentang realitas absurd demokrasi Indonesia. Sementara upah minimum 2025 hanya naik menjadi Rp 5,4 juta dari Rp 5,07 juta tahun sebelumnya.
Jika angka yang diutarakan oleh Mahfud MD akurat,
rasio gaji wakil rakyat dengan UMR mencapai ratusan kali lipat—angka yang melampaui batas kewajaran di negara manapun. Ini bukan lagi kesenjangan, tetapi jurang menganga antara
penguasa dan yang dikuasai.
Bandingkan dengan UMK terendah di Indonesia yaitu Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah di 2025 yang hanya Rp 2,170 juta—artinya seorang anggota DPR mendapat penghasilan setara akumulasi ratusan pekerja di daerah dengan UMR terendah.
Ketimpangan Struktural
Robert Michels mengembangkan konsep tentang kecenderungan alamiah organisasi demokratis membentuk elite penguasa yang pada akhirnya mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang massa.
Di Indonesia, pola oligarki politik ini terlihat jelas: struktur kompensasi yang memungkinkan elite politik hidup dalam kemewahan yang tak dapat dijangkau oleh masyarakat yang mereka wakili.
Fenomena ini mengingatkan pada realitas pahit bahwa sistem demokratis tidak otomatis menjamin keadilan distributif. Justru sebaliknya, tanpa kontrol yang memadai, sistem elektoral dapat dimanfaatkan untuk melanggengkan privilese kelompok kecil yang berkuasa.
Ketika tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan—yang hanya berlaku Oktober 2024 sampai Oktober 2025—hanyalah satu komponen kecil dari struktur kompensasi yang jauh lebih kompleks, kita menyaksikan betapa sistematis upaya menciptakan jarak ekonomi antara penguasa dan rakyat.
Psikologi Kekuasaan dan Disconnect Kognitif
Pierre Bourdieu menjelaskan bagaimana lingkungan sosial membentuk pola pikir dan perilaku seseorang melalui apa yang disebutnya sebagai disposisi yang tertanam.
Ketika pejabat publik berada dalam lingkungan ekonomi yang sangat berbeda dari masyarakat yang diwakilinya, mereka cenderung mengembangkan cara pandang elite yang terpisah dari kenyataan hidup rakyat biasa.
Disconnect kognitif ini berbahaya bagi demokrasi.
- Bagaimana seseorang yang menghabiskan uang makan siang senilai gaji bulanan pekerja minimum bisa memahami kebijakan subsidi sembako?
- Bagaimana mereka yang mobil dinasnya seharga ratusan juta bisa merasakan penderitaan masyarakat yang berjuang mencari ongkos transportasi umum?
Inilah yang terjadi ketika anggota DPR berbicara tentang “gaji Rp 3 juta per hari” seolah-olah wajar. Lingkungan sosial-ekonomi tempat mereka bergerak telah mengubah persepsi tentang nilai uang dan kebutuhan hidup layak.
Legitimasi yang Rapuh
Max Weber membagi otoritas politik menjadi tiga kategori: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Dalam demokrasi modern, legitimasi kekuasaan seharusnya bersumber pada kepercayaan bahwa penguasa dipilih melalui prosedur sah dan menjalankan kekuasaan demi kepentingan publik.
Namun ketika kompensasi pejabat mencapai tingkat tak masuk akal, legitimasi ini terkikis. Rakyat meragukan apakah wakil mereka benar-benar memperjuangkan kepentingan publik atau justru memperkaya diri dengan menggunakan kekuasaan yang dipercayakan.
Kenaikan rata-rata upah minimum nasional (UMN) sekitar 6,5% di 2025 mungkin terasa signifikan bagi pemerintah, tetapi dalam konteks inflasi dan kenaikan biaya hidup, peningkatan ini nyaris tidak terasa bagi pekerja. Sementara tidak ada pembatasan atau pengawasan ketat terhadap kenaikan kompensasi pejabat publik.
Teori Keadilan dalam Konteks Indonesia
Perdebatan kompensasi tinggi anggota DPR selama ini cenderung terjebak pada pertanyaan distributif: apakah gaji besar tersebut sebanding dengan kinerja mereka? Padahal, masalah yang lebih mendasar terletak pada cacat prosedural sistem itu sendiri.
Filsuf politik Robert Nozick berargumen bahwa keadilan sejati terletak pada keabsahan cara memperoleh dan memindahkan kepemilikan, bukan semata-mata pada hasil pembagian kekayaan.
Pertanyaan krusialnya: dari mana anggota DPR memperoleh hak untuk menentukan gaji sendiri menggunakan dana pajak rakyat? Sistem di mana pejabat dapat menetapkan kompensasi mereka sendiri tanpa mekanisme kontrol independen yang memadai pada dasarnya melanggar prinsip keadilan prosedural.
Kompensasi DPR yang bersumber dari pajak melibatkan transfer paksa dari warga negara ke pejabat legislatif. Menurut teori Nozick, transfer dapat dikatakan adil jika dilakukan atas persetujuan sukarela pihak pemberi, proporsional dengan layanan yang diberikan, dan tidak melanggar hak orang lain.
Bukti empiris menunjukkan sebaliknya: penetapan gaji DPR sering tidak transparan, tanpa konsultasi publik memadai, dan besarannya tidak sebanding dengan produktivitas legislatif.
Jika membayangkan sistem pasar murni di mana rakyat secara sukarela “membeli” jasa legislatif, berapa banyak yang bersedia membayar untuk kinerja DPR saat ini?
Argumen Kontra: Realitas Politik Biaya Tinggi
Diskusi tentang pembatasan gaji pejabat tidak lengkap tanpa mengakui kompleksitas sistem politik Indonesia. Para pembela status quo berargumen bahwa gaji tinggi anggota DPR memiliki justifikasi dalam ekosistem politik yang ada.
- Pertama, sistem setoran kepada partai politik. Besaran iuran beragam, dari jutaan hingga puluhan juta rupiah yang dipotong dari gaji anggota dewan. Biaya ini digunakan untuk operasional fraksi, sekretariat, staf, penelitian, hingga kegiatan politik di daerah.
- Kedua, biaya politik astronomis. Para caleg DPR-RI harus menyiapkan Rp 750 juta hingga Rp 4 miliar untuk membiayai logistik pencalonan. Riset menunjukkan rata-rata biaya pemenangan pemilu mencapai miliaran, mencakup mahar politik, kampanye, tim pemenangan, dan konsultasi politik.
Mahalnya ongkos politik juga disebabkan tingginya biaya mendirikan partai politik. Sistem ini menciptakan lingkaran setan: partai memerlukan dana besar untuk beroperasi, dipenuhi melalui setoran anggota terpilih yang memerlukan gaji tinggi untuk menutupi biaya politik mereka.
Kritik atas Argumentasi Status Quo
Argumentasi ini memiliki kelemahan mendasar.
- Pertama, menormalisasi sistem problematis tanpa menawarkan alternatif perbaikan. Jika sistem politik memerlukan biaya tinggi, mengapa tidak mereformasi sistem itu sendiri?
2. Kedua, menciptakan dependensi patologis antara gaji pejabat dan sistem politik. Jika partai politik hanya bisa survive melalui setoran anggota DPR, berarti partai tersebut tidak memiliki basis dukungan grassroots yang murni dan tulen. Partai sehat seharusnya memiliki sumber pendanaan beragam dan transparan.
3. Ketiga, politik biaya tinggi otomatis mengeksklusikan kandidat dari kalangan menengah ke bawah, menciptakan oligarki politik yang self-perpetuating. Sistem yang memerlukan biaya astronomis untuk berpartisipasi secara otomatis menyingkirkan kedaulatan rakyat.
Jalan Keluar: Reformasi Sistemik
Solusi tepat bukan mempertahankan status quo atau memotong gaji tanpa reformasi sistemik. Yang diperlukan adalah reformasi menyeluruh: dana bantuan operasional partai yang transparan dan akuntabel, pembatasan biaya kampanye ketat, transparansi total pendanaan politik, dan penguatan lembaga pengawas dengan kewenangan besar dan sanksi tegas.
Saatnya Indonesia menerapkan “cap ratio“—pembatasan rasio maksimal antara gaji tertinggi dan terendah dalam sektor publik. Untuk konteks Indonesia, rasio 1:10 atau maksimal 1:15 antara kompensasi total pejabat tertinggi dengan UMR nasional bisa menjadi titik awal masuk akal.
Transparansi total juga krusial. Setiap rupiah yang diterima
pejabat publik—dari gaji pokok, tunjangan, fasilitas, hingga kompensasi tidak langsung—harus dipublikasikan secara real-time dan mudah diakses publik.
Berbagai negara dengan ekonomi maju telah menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang berkualitas dapat berjalan tanpa memberikan kompensasi berlebihan kepada para pejabatnya.
Sebagai contoh, Perbandingan upah legislator terhadap rata-rata pendapatan warga di Jerman hanya 2,4:1, sedangkan Australia 2,8:1. Rasio yang proporsional ini membantu menjaga hubungan yang tidak terlalu timpang antara rakyat dan wakil-wakilnya.
Dampak Psikologis dan Sosiologis
Kesenjangan ekstrem ini menciptakan fenomena yang disebut sosiolog sebagai perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul dari perbandingan dengan kelompok lain—bukan dari kemiskinan mutlak. Ketika masyarakat menyaksikan wakilnya hidup dalam kemewahan yang mustahil dijangkau, timbul rasa ketidakadilan yang mendalam dan berpotensi merusak kestabilan sosial.
Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap institusi demokratis dan memandang politik sebagai jalan menuju kekayaan pribadi, bukan pelayanan publik.
Penutup: Demokrasi yang Membumi
Argumen tentang biaya politik tinggi memang memiliki dasar faktual, namun tidak dapat dijadikan justifikasi permanen untuk mempertahankan sistem yang tidak adil.
KPK mengingatkan ongkos politik mahal jangan jadi pemicu korupsi. Ketika sistem politik hanya bisa dibiayai melalui gaji tidak proporsional atau bahkan korupsi, sistem itu perlu diubah secara struktural dan sistematis.
Bahkan di Bekasi dengan UMK tertinggi (Rp 5,69 juta), seorang pekerja harus bekerja 10-15 tahun tanpa mengeluarkan sepeser pun untuk mengumpulkan gaji anggota DPR sebulan.
Demokrasi sejati mensyaratkan kedekatan antara penguasa dan rakyat—bukan hanya simbolik, tetapi dalam pengalaman hidup sehari-hari. Sudah saatnya pejabat publik di Indonesia menerapkan “servant leadership”: pejabat sebagai pelayan rakyat, bukan raja yang hidup dari pajak rakyat.
Tanpa reformasi mendasar dalam sistem kompensasi pejabat publik dan struktur politik secara keseluruhan, demokrasi Indonesia akan terus menjadi oligarki berselimut ritual elektoral. Jelas ini bukan model demokrasi ideal yang ingin kita wariskan ke generasi mendatang.
0 Comments