Gaduh PNS Protes: Antara THR, Korpri dan Menyuarakan Aspirasi

by M. Isa Thoriq A. ▲ Active Writer | May 11, 2021 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

“PNS kok protes”,

“PNS kok minta THR, bersyukur sudah dikasih”,

“PNS kok mau mogok kerja”,

“PNS macam apa itu, kok berani melawan kebijakan pemerintah”.

Demikian respons beberapa pihak terkait fenomena penggalangan petisi meminta pemerintah untuk memasukkan tunjangan kinerja sebagai komponen dalam tunjangan hari raya (THR) beberapa waktu lalu.

Faktanya, tahun ini THR yang diberikan kepada PNS hanya berupa gaji pokok, dengan alasan kemampuan dan prioritas anggaran pemerintah yang lebih diperuntukan bagi penanggulangan Covid-19 yang tak kunjung usai. Kebijakan ini mendapat banyak respons dari kalangan PNS, terlihat ramai komentar di media sosial mengenai hal ini.

Petisi untuk mendorong pemerintah memasukkan unsur tunjangan kinerja ke dalam THR santer digerakkan oleh para PNS di dunia maya. Petisi yang ditandatangani lebih dari 19 ribu orang ini menjadi wujud protes atas kebijakan yang dianggap tidak sesuai.

Entah siapa yang memulai. Namun, pastinya kritikan dan sindiran di media sosial mengenai pemberian THR diwujudkan dalam pembuatan petisi kepada pemerintah.

PNS Protes itu memalukan

Beberapa pihak melihat protes para PNS sebagai wujud ketidakdisiplinan, sikap yang tidak patriotik, memalukan korps, hingga dianggap tidak bersyukur. Pihak ini menganggap bahwa seharusnya PNS adalah bagian dari pemerintah yang selalu mendukung apapun kebijakan yang telah ditetapkan dengan dalih menjadi teladan bagi masyarakat.

PNS adalah kelompok masyarkat yang mestinya berada di garis depan dalam mendukung kebijakan pemerintah. Tak hanya itu, sebagai abdi negara mestinya PNS mementingkan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi.

Menjadi PNS adalah pengabdian kepada negara yang diwujudkan dengan tunduk kepada semua aturan dan meyakini bahwa semua aturan adalah lambang dari kewibawaan negara. Kalau PNS melanggar aturan atau memprotes kebijakan berarti ia telah menginjak kewibawaan negara.

Di tengah penanganan pandemi yang belum usai, THR yang hanya terdiri dari gaji pokok menjadi bagian dari “pengorbanan” PNS demi bangsa dan negara. Sehingga, adanya PNS yang memprotes hingga membuat petisi dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian dan sangat memalukan.

Benarkan pendapat ini? Sebentar, kita lihat pendapat yang lainnya.

Mereka adalah PNS generasi muda

PNS yang berani menyuarakan protes ini berasal dari kalangan generasi muda, mengapa demikian? Karena gerakan meraka ada di media sosial, cara penyampaian dan gaya bahasa satir khas anak muda sangat terasa.

Kalau begitu apakah PNS generasi di atasnya tidak mendukung gerakan ini? Belum tentu, bisa jadi banyak yang mendukung tapi tidak berani mengutarakan. Begitu juga apakah semua PNS generasi muda memilih protes terhadap kebijakan ini? Tentu saja tidak, barangkali sebagian menerima begitu saja atau dalam Bahasa Jawa disebut nrimo.

Data survei dari Pusat Kajian Reformasi Administrasi menunjukan dari 43,1 % mahasiswa yang ingin jadi PNS hanya 1% yang memilih bekerja di pemerintah karena passion. Mayoritas karena ingin bekerja dengan aman, mendapat uang dan terjamin kehidupannya.

Dari sini kita melihat hanya sedikit yang motivasi awalnya ingin mengabdi kepada negara. Padahal, salah satu nilai dasar PNS ialah memiliki jiwa pengabdian kepada negara dan rakyat. Selanjutnya, setelah mereka jadi PNS apakah mereka mendapatkan transfer of value yang cukup memadai sehingga mampu membentuk karakter sebagai abdi negara?

Jika kita lihat hal pertama yang diperoleh PNS di lingkungan kerja ialah budaya kerja. Artinya, mereka akan melihat langsung budaya kerja yang ada di lingkungannya, bukan budaya kerja normatif sesuai aturan.

Jika yang dilihat sesuatu yang baik, maka mereka akan menangkap value yang baik. Sebaliknya, jika yang dilihat value yang buruk, maka mereka akan menangkap value yang buruk juga. Biasanya proses transfer of value yang sistematik terjadi saat PNS mengikuti diklat prajabatan.

Yah, sebatas diklat saja, akan menggebu dan menjadi idealis saat diklat, tapi ketika kembali dihadapkan pada realitas yang sulit dihindari. Sama halnya Diklatpim yang baru dilaksanakan setelah sekian lama PNS menduduki jabatan struktural, atau seremonial lainya (apel, upacara, peringatan hari besar) yang biasanya malah dihindari.

Mencari penghasilan, bukan pengabdian

Dengan kondisi motivasi pengabdian yang rendah, minimnya transfer of value ditambah tontonan sehari- hari tentang praktik kebangsaan yang buruk; akankah para PNS memiliki mindset ideal sebagai abdi negara? Rasanya sulit untuk mencapainya.

Dalam kondisi seperti itu faktor yang paling kuat berarti motivasi sebagai pencari penghasilan. Artinya satu-satunya alasan kuat menjadi PNS ialah memperoleh penghasilan yang layak. Slogan “mengabdi untuk negara” diganti menjadi “mencari penghasilan di negara”.

Sehingga, jika ada sesuatu yang bersinggungan dengan pendapatan bisa memunculkan rasa kebersaman di antara PNS. Misalnya jika ada penurunan gaji, THR turun, atau tidak mengalami kenaikan gaji selama 5 tahun; akan terbentuk perasaan kecewa yang menjadi nilai komunal.

Namun, apakah hal yang sama akan terjadi ketika negara dalam keadaan krisis, misalnya? Atau negara dalam ancaman ekonomi, kerusakan alam, perusakan hutan, pencurian sumber daya alam, atau korupsi, akankah muncul nilai komunal yang sama?

Di manakah (peran) KORPRI?

Rasanya agak berlebihan jika menganggap protes PNS sebagai hal yang berlawanan dari nilai-nilai abdi negara. Sebab, nilai itu sendiri selama ini tidak terinternalisasi dengan baik, bahkan yang dipertontonkan oleh para pemangku kebijakan adalah hal yang sebaliknya.

Suatu kebijakan yang dianggap keliru terutama yang menyangkut PNS, akan direspons dengan kritik dan sindiran. Toh, selama ini tidak ada wadah yang menjembatani kegelisahan para PNS. Sumbatan aspirasi melalui Korpri sebagai wadah korps PNS hanya terlihat setahun sekali ketika memperingati HUT, atau saat kegiatan seremonial dan kemanusiaan.

Korpri tidak muncul di tengah kehidupan PNS. Keberadaanya hanya tampak pada baju yang dipakai setiap tanggal 17 atau di hari besar. Korpri belum mengarah kepada organisasi profesi yang memperjuangkan aspirasi PNS, sehingga para PNS melakukan jalannya sendiri saat melayangkan protes terhadap kebijakan.

Melalui media sosial semua orang dapat menyampaikan aspirasi, pandangan atau sekedar curhat. Kanal inilah yang dipakai oleh para PNS generasi muda untuk mencurahkan ide, gagasan, dan protes yang tidak terakomodir oleh institusi. Sayangnya, terkadang protes atau kritik itu dianggap sebagai hal yang merusak institusi, tak jarang berakhir dengan stigmatisasi, tekanan dan “intimidasi” kepada para pengkritik.

Munculah berbagai komunitas PNS di media sosial dengan berbagai genre, seperti Birokrat Menulis, Abdi Negara Muda, ASN Muda, ASN E-sport, ASN Run, dll. Komunitas tersebut manjadi alternatif para PNS generasi muda untuk berkiprah membicarakan ide, gagasan, gerakan hingga kritik terhadap kebijakan. Inilah jawaban sementara dari keberadaan Korpri yang masih terlihat samar.

Kembali pada contoh tentang THR. Pihak yang menyayangkan dan mendorong kritik terhadap kebijakan THR masing-masing memiliki argumen. Tidak adanya jembatan dalam menyampaikan aspirasi menyebabkan PNS memilih caranya sendiri.

Demikian halnya upaya transfer of value yang sekedar formalitas tidak terinternalisasi dengan baik. Belum lagi praktik berbangsa dan bernegara yang terlihat sehari-hari belum dapat dijadikan contoh. Tampaknya ada krisis atau gap antara persepsi pemangku kebijakan dengan para PNS.

Epilog: Hey, dengarkanlah kami!

Jika dibiarkan saja maka tidak menutup kemungkinan suatu saat akan ada gerakan PNS yang lebih ekstrem seperti yang terjadi di Inggris, Australia, Spanyol, dan Myanmar. Mereka melakukan pemogokan kerja. Tanda-tandanya telah bermunculan.

Di beberapa daerah di Indonesia pernah terjadi pemogokan kerja yang dilakukan PNS, bahkan lembaga peradilan pernah melakukan pemogokan kerja dalam rangka menuntut kesejahteraan. Korpri sebagai wadah profesi PNS perlu melakukan introspeksi, akankah keberadaanya dipertahankan dengan kondisi seperti ini?

Jika demikian, maka gerakan mandiri para PNS tidak akan terbendung. PNS era 4.0 berbeda dengan 30 tahun yang lalu. Mereka tidak mudah dikendalikan, berpikir mandiri, profesional dan menguasai teknologi.

Proses penanaman nilai dasar PNS yang selama ini dilakukan perlu mendapat perhatian lebih, sebab pendekatan instruktif tanpa dibarengi dengan pembentukan kesadaran kolektif hanya akan menimbulkan penolakan secara tersembunyi.

Hal itu membutuhkan teladan di kalangan birokrasi dan pemangku kebijakan yang lain. Terakhir, fenomena petisi ini bisa jadi bola salju. Yang di kemudian hari, dan ini merupakan pesan bagi pemangku kebijakan, “Hey, dengarkanlah kami”.

2
0
Avatar

ASN di Inspektorat Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 2011. Sejak mahasiswa aktif di organisasi ekstra kampus. Dengan bekal ini Penulis masih menyimpan api idealisme dalam menjalankan tugasnya sebagai ASN. jalan birokrasi adalah jalan perjuangan.

M. Isa Thoriq A. ▲ Active Writer

M. Isa Thoriq A. ▲ Active Writer

Author

ASN di Inspektorat Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 2011. Sejak mahasiswa aktif di organisasi ekstra kampus. Dengan bekal ini Penulis masih menyimpan api idealisme dalam menjalankan tugasnya sebagai ASN. jalan birokrasi adalah jalan perjuangan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post