Salam Satu Akuntabilitas!
Pergantian Kepemimpinan dan Kebijakan
Saya tertegun mendengar cerita seorang teman di satuan kerja sarana prasana (satker sarpras). Teman saya ini ialah seorang perencana atau desainer kebijakan. Itulah mengapa ia sangat paham ketika bercerita tentang gaya kepemimpinan atasannya, sang pengambil kebijakan. Bahasa kerennya: decision maker.
Menurut teman saya, pergantian kepemimpinan sangat mempengaruhi kebijakan. Salah satu misalnya terkait dengan honor kegiatan di tempat dia bekerja. Menurut kebijakan pimpinan sebelumnya, kepada perencana diberikan insentif berupa honor sebesar Rp.150 juta dalam setahun, dengan asumsi satuan honor sebesar Rp.300.000 untuk sejumlah 500 output.
Kebijakan tentang honor ini berubah dalam periode kepemimpinan selanjutnya. Katanya, kebijakan baru dibuat lebih tersistem dan modern. Dengan melibatkan tim kerja yang lebih banyak, rata-rata 12 orang, plus kegiatan rapat-rapat, dana yang dibutuhkan juga semakin besar. Pengeluaran membengkak menjadi Rp. 3,36 Milyar, dengan hitung-hitungan 12 orang x 7 kali rapat x Rp.80.000 x 500 output.
Fantastis sekali ya. Biayanya membengkak puluhan kali lipat.
Dengan output yang sama, yaitu 500 gambar dan output berupa dokumen rencana anggaran biaya (RAB), terjadi selisih pembiayaan ribuan %. Setelah dihitung-hitung, terjadi inefisiensi sebesar Rp.3,21 Milyar.
Free Rider Effect dan Inefisiensi
Mari coba kita cari tahu, di mana letak permasalahannya. Rupa-rupanya, inefisiensi yang terjadi salah satunya disebabkan oleh adanya Free Rider Effect. Definisi dari istilah ini adalah, “Beberapa Individu dalam suatu populasi mengkonsumsi lebih banyak dari ukuran yang adil atas sumber daya umum, atau membayar kurang dari ukuran yang adil atas biaya sumber daya umum”.
Artinya, untuk menikmati manfaat atas suatu materi dalam ukuran yang sama, yang tersedia bagi beberapa orang pada suatu komunitas, ada sebagian anggota kelompok yang membayar lebih besar daripada seharusnya. Sebagian lainnya, menikmati manfaat tanpa melakukan pekerjaan apapun atau membayar apapun. Kelompok yang kedua ini, disebut sebagai free rider.
Dalam kasus yang diceritakan oleh teman saya tadi, saya identifikasi minimal terdapat 9 orang yang masuk dalam kategori free rider. Orang-orang ini mendapatkan tambahan penghasilan berupa passive income sebagai layaknya bisnis modern dalam Multi Level Marketing (MLM).
Jual Beli Jabatan
Dalam analisis lebih lanjut, inefisiensi yang ‘luar biasa’ tersebut memicu adanya ‘jual beli jabatan’. Orang-orang di luar kelompok rela melakukan cara yang tidak halal untuk menduduki posisi tertentu, karena mendapati iming-iming benefit yang sangat menjanjikan. Yaitu, tak perlu banyak bekerja untuk mendapatkan honor atau keuntungan lainnya asalkan telah memiliki posisi atau jabatan yang ‘pas’.
Tak heran jika saat ini birokrasi pemerintahan semakin marak dengan adanya operasi tangkap tangan (OTT) oleh lembaga anti rasuah, Komisi Pencegahan Korupsi (KPK). Satu di antara beberapa klasifikasi operasi tangkap tangan ialah menangkap basah gratifikasi atau suap dengan motivasi untuk membeli jabatan.
Mitigasi Risiko Hadirnya Free Rider Effect
Lalu, bagaimana caranya memitigasi risiko hadirnya free rider effect yang berujung pada jual beli jabatan? Dalam kasus ini, sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Pasal 2 PP tersebut berbunyi “Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur dan bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan”.
Dalam ketentuan ini sangat ditekankan adanya soft control, khususnya peran pimpinan instansi dalam hal penegakan integritas dan nilai etika. Pemimpin hendaknya memberikan keteladanan pelaksanaan atas aturan perilaku (disebut juga dengan tone of the top). Salah satu bagian dari pelaksanaan integritas tersebut adalah mengarahkan penggunaan anggaran negara sesuai amanah yang diembannya, dengan profesional dan akuntabel.
Selain itu, free rider effect juga bisa ditekan dengan aktivitas reviu yang dilakukan oleh APIP. Reviu merupakan salah satu bagian dari rangkaian aktivitas pengawasan intern. Dalam Pasal 48 huruf (2) PP 60 Tahun 2008 disebutkan bahwa aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) melakukan pengawasan intern melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan lainnya.
Fenomena free rider effect dan inefisiensi anggaran pemerintah seharusnya bisa dimitigasi risikonya ketika APIP melakukan kegiatan reviu atas Rencana Kerja Anggaran (RKA), sebuah dokumen rencana penganggaran. Dokumen ini menjadi cikal bakal sebelum lebih lanjut disahkan menjadi dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA/DPA).
Yang ketiga, mitigasi risiko terjadinya free rider effect juga dapat dihindari dengan audit kinerja. Sebagai salah satu syarat dalam pencapaian internal audit capability model (IACM) pada level 3, institusi audit internal juga harus melakukan bentuk pengawasan berupa audit kinerja. Audit kinerja ini dilakukan terhadap pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Di dalamnya dipertimbangkan aspek kehematan, efisiensi dan efektivitas.
Epilog
SPIP menawarkan solusi yang konstruktif dalam kaitannya dengan jual beli jabatan sebagai free rider effect dengan pembenahan mulai dari hulu hingga ke hilir. Namun demikian, untuk tujuan yang mulia itu tentunya diperlukan komitmen bersama.
BERSAMA, PASTI BISA.
Kepala Bagian Tata Usaha di Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan
0 Comments