Zaman senantiasa berkembang, roda kehidupan selalu berputar. Semakin maju sebuah peradaban sebuah bangsa, senantiasa menuntut perbaikan dalam berbagai aspek pembangunan. Pembangunan kesehatan yang dicirikan dengan pelayanan kesehatan, semakin membutuhkan inovasi dalam peningkatan pelayanannya. Pola birokrasi yang cenderung lambat dan rumit, sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan kebutuhan masyarakat. Pelayanan kesehatan dituntut lebih responsif, tidak bisa lagi masyarakat mendengar adanya keterlambatan pelayanan, hanya karena tidak tersedianya alat kesehatan atau obat.
Dalam beberapa diskusi dengan tenaga medis dan tenaga paramedis, selalu dikeluhkan keterbatasan sumber daya, baik alat kesehatan, obat maupun bahan medis habis pakai, serta kebutuhan lain dari fasilitas kesehatan. Bahkan dalam sebuah acara workshop, dikeluhkan adanya ketidakmampuan pihak pengelola fasilitas kesehatan untuk merenovasi Instalasi Gawat Darurat yang rusak parah karena tertimpa pohon.
Ketidakmampuan tersebut bukan karena tidak adanya dana atau SDM pelaksana, tetapi lebih disebabkan kegamangan terhadap proses pengadaan yang harus dilalui. Sebuah proses pembangunan harus diawali dengan proses pengadaan, dan celakanya, masih terbatas pemahaman pengelola fasilitas kesehatan tentang konsepsi pengadaan yang seutuhnya. Masih banyak yang beranggapan bahwa pengadaan haruslah melalui pelelangan, dan bahwa pelelangan membutuhkan waktu lama, dan lain sebagainya.
Regulasi yang Kurang Responsif
Pengadaan barang jasa sesungguhnya merupakan rangkaian tata kelola yang sistematis dalam rangka memperoleh barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sebuah organisasi. Pengertian tersebut dapat dilihat dalam pasal 1 angka 1 setiap regulasi pengadaan mulai dari Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sampai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan segenap perubahannya. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. “
Tata kelola pengadaan dalam regulasi pengadaan barang jasa pemerintah, masih dirasakan kurang responsif terhadap rumah sakit pemerintah dalam menjawab tantangan pelayanan yang semakin meningkat. Apalagi dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional yang semakin masif dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, maka hampir didapati bahwa semua Rumah Sakit Rujukan mengalami kenaikan jumlah pasien secara signifikan. Bahkan dalam pengalaman penulis di sebuah rumah sakit tipe B di sebuah kabupaten, dijumpai adanya pasien yang harus “parkir” dulu di fasilitas lain sebelum mendapatkan ruang di bangsal perawatan yang semestinya. Pasien tersebut harus menunggu sampai ada pasien lain yang pulang atau sampai ada ruang yang kosong dan bisa ditempati.
Peningkatan pasien secara otomatis akan berdampak pada peningkatan kebutuhan bahan baku pelayanan. Pola penganggaran dengan menggunakan mekanisme APBN atau APBD terbatas dalam waktu dan alokasi, dan hal ini menjadi salah satu hambatan dalam menjawab tantangan pelayanan tersebut.
Fleksibilitas Pola Badan Layanan Umum
Dalam keterbatasan tersebut, setiap rumah sakit pemerintah seyogyanya bersyukur, karena kerumitan seperti ini telah diantisipasi oleh segenap pemangku kepentingan. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 1 angka 23 disebutkan bahwa:
“Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.”
Pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan rumah sakit pemerintah, merupakan hal yang patut ditempuh dalam rangka menjawab kebutuhan peningkatan pelayanan kesehatan yang semakin dinamis. Entitas BLU merupakan sebuah pendekatan semi bisnis dengan mengedepankan fleksibilitas tata kelola keuangan.
Adapun BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.
Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Tetapi sebagai pengimbang, BLU dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan penganggarannya, serta dalam pertanggungjawabannya.
Kategorisasi Barang/jasa
Sejalan dengan fleksibilitas yang dimiliki Badan Layanan Umum dalam pengelolaan keuangan, termasuk dalam pengadaan barang jasanya, maka perlu sinkronisasi dengan tata kelola pengadaan yang telah dikenal baik dalam praktek bisnis. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 dijelaskan bahwa:
“Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.” (pasal 20 ayat 1).
Penjelasan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: “BLU dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan yang berlaku umum bagi pengadaan barang/jasa pemerintah bila terdapat alasan efektivitas dan/atau efisiensi.”
Berdasarkan ketentuan dan penjelasan tersebut, ada baiknya dalam pengadaan di rumah sakit yang sudah menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLU, memperhatikan Supply Positioning Model dari berbagai barang jasa yang dibutuhkan BLU Rumah Sakit. Barang dan jasa di lingkungan BLU harus dapat dikategorikan mengikuti kuadran dalam Supply Positioning Model tersebut. Adapun penjelasan singkat masing-masing kuadran tersebut adalah:
- Kritis (Critical)
Barang dan jasa yang termasuk dalam kategori ini, adalah barang dan jasa yang memiliki risiko atau dampak yang besar bagi rumah sakit, dan nilai belanja dari barang dan jasa ini juga tinggi. Pemenuhan terhadap barang dan jasa ini menjadi prioritas utama, karena akan mempengaruhi kinerja rumah sakit dan kualitas pelayanan. Contoh dari barang dan jasa kategori kritis adalah perbaikan alat rontgen yang rusak di rumah sakit tipe B. Beberapa pelayanan poli dan IGD membutuhkan fasilitas rontgen, untuk penegakan diagnosis, sehingga ketika alat rontgen yang ada mengalami kerusakan dan membutuhkan biaya yang tinggi, maka kebutuhan ini masuk kepada kategori kritis.
- Bottleneck
Barang dan jasa yang termasuk dalam kategori ini, adalah barang dan jasa yang memiliki risiko atau dampak yang besar bagi rumah sakit, walaupun nilai belanja dari barang dan jasa ini tidak begitu besar. Pemenuhan terhadap barang dan jasa ini menjadi perhatian khusus, karena juga mempengaruhi kinerja rumah sakit dan kualitas pelayanan. Contoh barang dan jasa yang termasuk dalam kategori bottleneck adalah penanganan limbah medis. Nilai dari jasa penanganan limbah medis, sebetulnya sudah relatif terjangkau, akan tetapi penanganan jasa ini perlu menjadi perhatian serius, karena ketiadaan penanganan limbah medis akan menjadi isu yang sangat besar yang akan mengganggu kredibilitas rumah sakit.
- Pengungkit (Leverage)
Kategori barang dan jasa pegungkit adalah barang dan jasa, yang dibutuhkan rumah sakit dalam jumlah relatif besar dari sisi nilainya, akan tetapi risiko atau dampak rendah terhadap pelayanan. Bahan medis habis pakai, dengan banyak penyedia/distributor, merupakan contoh barang dan jasa kategori pengungkit. Bahan medis habis pakai semisal kasa pembalut dan alkohol, dibutuhkan dalam jumlah besar, tetapi dengan banyaknya penyedia/distributor di lapangan, maka kebutuhan terhadap barang ini menjadi cukup mudah disediakan.
- Rutin
Kategori barang dan jasa rutin adalah barang dan jasa, yang dibutuhkan rumah sakit dalam jumlah relatif kecil dari sisi nilainya, dengan risiko atau dampak yang rendah terhadap pelayanan. Contoh barang dan jasa kategori rutin, adalah alat tulis kantor dan kebutuhan barang cetakan untuk keperluan rumah sakit.
Perlu Pembagian Tanggungjawab Pengadaan
Dengan fleksibilitas pola pengelolaan keuangan BLU, maka diharapkan rumah sakit mampu untuk melakukan kajian dan memetakan kategori barang dan jasa, menggunakan Supply Positioning Model tersebut. Pembagian kategori barang dan jasa tersebut akan semakin memudahkan pengelola BLU untuk menentukan rentang kendali dan tanggung jawab yang harus diambil oleh masing-masing pihak dalam rumah sakit. Alternatif yang muncul dari pembagian kategori barang jasa tersebut akan memunculkan pembagian tugas sebagai berikut:
Barang dengan kategorisasi kritis menjadi tanggungjawab di level Direktur, adapun barang bottleneck adalah tanggungjawab Wakil Direktur, sedangkan barang pengungkit diserahkan Kepala Bidang, dan barang tutin dapat dipenuhi secara langsung oleh Kepala Seksi/Kasubbag.
Dengan pembagian tugas sebagaimana alternatif tersebut maka distribusi pekerjaan menjadi lebih terukur dan diharapkan proses bisnis dalam rumah sakit menjadi lebih dinamis. Sebaliknya, apabila tanggung jawab pengadaan hanya terpusat kepada pihak-pihak tertentu saja, maka ketergantungan kepada personil bisa menghambat tujuan awal dari pembentukan BLU, yaitu meningkatkan kualitas pelayanan.
Pola pengelolaan pengadaan barang dan jasa dalam BLU, dengan pemetaan kategori dan penanggung jawab, masih harus ditindak lanjuti dengan Prosedur Operasional Standar. Keseluruhan aturan tata kelola tadi, perlu dirumuskan menjadi payung hukum pengadaan barang dan jasa dalam BLU. Regulasi pengadaan BLU dapat menggunakan sebuah surat keputusan yang disahkan oleh pemegang kebijakan.
Masih terdapat tantangan yang besar sekaligus peluang perbaikan pengadaan yang luas, disebabkan mayoritas rumah sakit BLU yang saat ini ada, masih mengandalkan proses pengadaannya hanya kepada pengaturan jenjang nilai semata. Semangat fleksibilitas yang ada belum akan berhasil optimal, apabila pengaturan pengadaan yang ada di BLU malah kembali kepada peraturan pengadaan barang jasa pemerintah.
Keumuman pengaturan pengadaan barang jasa pemerintah akan sangat terbatas dalam mengikuti karakter RS BLU sebagai pelayanan kesehatan masyarakat. Peran segenap pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian Kesehatan, LKPP dan praktisi pengadaan di sektor kesehatan, perlu bersinergi untuk benar-benar mampu mewujudkan pengadaan barang jasa sebagai penyumbang dalam perbaikan pelayanan kesehatan di lingkungan BLU kesehatan.
Konsultan independen bidang pengadaan barang dan jasa. Sebelumnya pernah berkiprah di birokrasi sebagai PNS dan resign dari PNS setelah dipinang oleh sebuah consulting firm dari USA. Ditengah kesibukannya sebagai praktisi, narasumber, konsultan di beberapa KLDI dan aktif mendorong fleksibilitas pengadaan sektor BLU berbasis manajemen rantai pasok, serta pemberi keterangan ahli dalam perkara terkait pengadaan barang dan jasa.
Ass. Terimakasih byk ilmunya Bpk….cuma msh ada bbrp pertanyaan yg ingin saya ketahui..saya selaku kasubbag hukum pd rs. Tulungagung. ..dlm membuat aturan ..pimpinan blud rmh sakit berpedoman pada apa. .dlm menentukan jenjan nilai utk mengatur pbj nya..dan bgmn dg pbj konstruksi? Apakah jg mengacu pada aturan yg di buat pimp. Blud jika anggaran dr fungsional blud itu sendiri…terimakasih mhn petunjuk
Dalam menyusun aturan pengadaan barang jasa BLU, berpedoman kepada tata kelola terbaik pengadaan, karakteristik layanan kesehatan, dan juga regulasi yg menjadi payung hukumnya. Brainstorming menjadi tahapan krusial dlm pengalaman kami mendampingi beberapa BLU, karena banyak BLU yang ternyata terjebak kepada ketidakpahaman sumber yang memadai tentang BLU itu sendiri. Kami siap diskusi lebih lanjut, karena dalam tataran praktikal butuh pendalaman yang intensif.
Utk diskusi lebih lanjut bisa lewat pesan di fb kami atau email [email protected]