
Meskipun Indonesia telah mencapai kemerdekaan selama 80 tahun, birokrasi sebagai mesin negara masih terperangkap dalam warisan feodalisme kolonial yang mengakar kuat. Sebuah paradoks yang mendalam menyelimuti perjalanan bangsa Indonesia.
Setelah hampir delapan dekade meraih kemerdekaan,
seharusnya aparatur negara berfungsi sebagai mesin penggerak utama untuk kemajuan dan pelayanan publik, namun kenyataannya masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalu,
yakni feodalisme kolonial.
Fenomena ini bukan sekadar warisan budaya yang akan pudar seiring berjalannya waktu, melainkan merupakan elemen struktural dan politik yang teramat kuat, yang secara aktif dipertahankan dan dimanfaatkan kembali oleh berbagai rezim kekuasaan.
Praktik-praktik yang menekankan loyalitas pribadi di atas kompetensi, hubungan kerja yang mengabaikan meritokrasi, serta budaya sungkan yang membungkam akuntabilitas, terus berlanjut seolah tak terpengaruh oleh arus modernisasi dan reformasi.
Fenomena ini bukanlah sekadar sisa budaya, melainkan sebuah struktur yang secara sengaja dibentuk oleh strategi kolonial Belanda terdahulu dan kemudian dilestarikan oleh rezim-rezim pasca-kemerdekaan sebagai instrumen untuk mendapatkan kontrol politik. Praktik yang mengutamakan loyalitas personal di atas kompetensi.
Padahal, birokrasi seharusnya menjadi mesin penggerak kemajuan dan pelindung hak-hak warga. Ia seharusnya bekerja dengan prinsip meritokrasi, yaitu mereka yang terbaik mendapatkan posisi terbaik, dan rakyat mendapat pelayanan terbaik.
Sejarah Panjang Feodalisme
Akar dari feodalisme ini dapat ditelusuri kembali jauh mundur kebelakang pada masa kerajaan pra-kolonial, di mana sistem sosial-politik berpusat pada kekuasaan personal raja (Gusti) atas rakyatnya (kawula). Administrasi publik pada dasarnya adalah perpanjangan dari rumah tangga istana, dengan loyalitas pejabat ditujukan secara pribadi kepada raja, bukan kepada negara.
Sistem ini, yang ditopang oleh prinsip kekuasaan, kekerabatan, dan pengkultusan pemimpin, tidak lenyap setelah kemerdekaan, melainkan bertransformasi menjadi “neo-feodalisme”.
Dalam bentuk modern ini, substansi hubungan feodal, seperti loyalitas personal dan kepatuhan hierarkis, tetap bertahan dalam wadah birokrasi negara modern. Pemerintah kolonial Belanda memainkan peran penting dalam melembagakan feodalisme ini.
Alih-alih membongkar struktur sosial yang ada, mereka justru mengadopsi strategi kooptasi dengan merekrut kaum bangsawan Jawa, atau priyayi, sebagai pegawai negeri (ambtenaren).
Langkah ini sangat strategis karena kaum priyayi sudah memiliki status sosial yang tinggi dan dihormati masyarakat, sehingga memudahkan Belanda untuk menjalankan programnya, memungut pajak, dan menjaga ketertiban.
Akibatnya, loyalitas kaum priyayi bergeser dari raja lokal ke pemerintah kolonial, dan keberhasilan mereka diukur dari kemampuan memuaskan atasan Belanda, bukan melayani rakyat.
Proses ini menempa etos paternalistik dan otoriter yang kuat, di mana atasan adalah segalanya dan bawahan harus patuh tanpa syarat. Belanda secara efektif menciptakan sistem hibrida: cangkang birokrasi modern dengan inti feodal yang mengutamakan loyalitas personal.
Pasca-Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan, negara Indonesia yang baru lahir mewarisi struktur dan budaya birokrasi kolonial ini secara utuh, tanpa pernah ada revolusi fundamental. Rezim Orde Baru di bawah Soeharto kemudian menyempurnakan penggunaan birokrasi sebagai alat kontrol politik yang efektif.
Birokrasi menjadi instrumen kekuasaan untuk menekan perbedaan pendapat dan memastikan kelanggengan rezim, di mana karier seorang pegawai negeri bergantung sepenuhnya pada loyalitas politik, bukan kompetensi profesional.
Masih segar diingatan kita bahwa para aparatur sipil diarahkan untuk memilih partai dari golongan tertentu yang dengan kasat mata bisa dilihat sangat beririsan dengan penguasa saat itu dan dilain sisi mempersekusi orang-orang yang berbeda pilihan, pola-pola yang masih langgeng hingga saat ini.
Relasi Timbal Balik dan Hesitensi Interpersonal
Malfungsi birokrasi ini ditopang oleh dua mekanisme kultural utama. Pertama adalah relasi timbal-balik, sebuah sistem relasi informal di mana seorang Atasan (pejabat tinggi atau politisi) memberikan perlindungan dan kemajuan karier kepada bawahan sebagai imbal hasil atas loyalitas mutlak.
Sistem ini diperparah oleh mahalnya biaya politik,
di mana jabatan birokrasi sering dijadikan “mata uang” untuk membalas jasa tim sukses, yang pada akhirnya melegitimasi nepotisme dan merusak sistem merit itu sendiri.
Mekanisme kedua adalah budaya hesitansi interpersonal, yaitu perasaan segan atau sungkan untuk menolak permintaan atau mengkritik atasan. Budaya ini secara efektif melumpuhkan sistem pengawasan internal, karena bawahan tidak berani melaporkan kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan oleh pimpinannya.
Akibatnya, inovasi terhambat karena pegawai takut mengambil inisiatif, dan yang lebih berbahaya, korupsi merajalela karena pemimpin merasa tidak akan pernah ditantang. Fenomena ini diperparah dengan berbagai macam bentuk intimidasi terhadap kaum-kaum yang mencoba mendobrak status quo pada sebuah organisasi.
Relasi timbal-balik dan hesitansi interpersonal
bekerja dalam lingkaran setan: Relasi timbal-balik menempatkan individu
yang loyal namun tidak kompeten di posisi kekuasaan, sementara hesitansi interpersonal memastikan mereka tidak akan pernah ditantang oleh bawahan
yang lebih kompeten.
Konsekuensi nyata yang tak bisa dibendung dari budaya feodal ini adalah langgengnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sistemik serta pelayanan publik yang buruk. Ini bukan lagi sekadar penyimpangan individu, melainkan konsekuensi logis dari sistem yang mendistribusikan jabatan berdasarkan koneksi pribadi.
Rendahnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menjadi bukti nyata dari masalah ini. Dalam hal pelayanan publik, birokrasi yang bermental gusti akan memperlakukan masyarakat sebagai kawula, yang tercermin dalam layanan yang lambat, prosedur yang rumit, dan diskriminatif.
Kualitas pelayanan seperti ini sering kali bergantung pada “siapa yang Anda kenal”, bukan pada hak sebagai warga negara.
Upaya Reformasi Birokrasi yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade ternyata sebagian besar gagal mencapai tujuan yang diharapkan, terutama karena sifatnya yang cenderung formalistik dan dangkal.
Banyaknya inisiatif dari reformasi yang lebih menekankan pada perubahan aturan, prosedur, dan struktur administratif secara teknis, tetapi tidak menyentuh akar persoalan yang bersumber dari budaya organisasi dan dinamika politik yang mengakar kuat.
Alih-alih menghasilkan perbaikan nyata, proses reformasi sering kali terjebak dalam rutinitas administratif semata, seperti penyusunan dokumen, pelaporan, dan pemenuhan indikator kinerja yang bersifat simbolis.
Evaluasi yang dilakukan pun kerap hanya menjadi Latihan centang kotak (checklist exercise), yang hanya sekadar memastikan kepatuhan terhadap format atau standar tertentu, tanpa benar-benar mengukur transformasi perilaku, perubahan pola pikir, atau peningkatan integritas para pelaksana birokrasi.
Kegagalan Reformasi dan Perlawanan
Kegagalan ini tidak lepas dari lemahnya kemauan politik (political will) para elite, yang justru memperoleh keuntungan dari status quo melalui praktik relasi timbal-balik dan politik balas jasa yang sudah lama terbentuk.
Di sisi lain, terdapat resistensi budaya yang kuat di kalangan birokrat itu sendiri, yang merasa nyaman dengan pola kerja lama yang memberikan ruang bagi fleksibilitas informal, walaupun sering kali merugikan akuntabilitas publik.
Politisasi jabatan, yang menyebabkan pengisian posisi strategis lebih banyak ditentukan oleh kedekatan personal atau afiliasi politik ketimbang kompetensi, terus menggerus sistem merit dan mematikan motivasi bagi aparatur yang berprestasi.
Alhasil, reformasi birokrasi menjadi semacam agenda permanen yang banyak dibicarakan namun jarang benar-benar diwujudkan secara substantif, sehingga kepercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah untuk melakukan perubahan pun semakin terkikis.
Delapan dekade setelah meraih kemerdekaan, birokrasi Indonesia masih saja terbelenggu oleh feodalisme kolonial yang diwariskan entah itu oleh penjajah dan sengaja dilestarikan oleh rezim-rezim setelahnya.
Budaya loyalitas pribadi di atas kompetensi, pengabaian meritokrasi, dan hilangnya akuntabilitas menjadikan birokrasi bukan mesin penggerak kemajuan, melainkan alat kekuasaan.
Ini adalah pengkhianatan besar terhadap cita-cita kemerdekaan—dan jika tidak dirombak total, bangsa ini akan terus terjebak dalam rantai kebangaan semu masa lalu, tak dapat ditolong.
0 Comments