Fenomena Jualan Rasa Iba: Gepeng, Pejabat, Hingga Anak Muda

by Sumbo Tinarbuko ♥ Associate Writer | Feb 15, 2022 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Apa komentar Anda jika sedang terjebak lampu merah di beberapa persimpangan jalan raya? Dalam catatan saya, sedikitnya ada empat hal besar yang mengemuka di sini. Pertama, jalanan terasa panas karena minimnya pohon perindang yang ditanam di tempat itu. Kedua, senantiasa mengalami gangguan sesak napas akibat polusi asap knalpot kendaraan bermotor.

Ketiga, carut marutnya pemasangan reklame luar ruang yang cenderung menawarkan kekerasan simbolik dan berujung pada sampah visual. Keempat, semakin banyak gelandangan, pengemis, dan pengamen yang memaksakan kehendaknya dengan menjual mimik memelas dilengkapi kostum compang camping kumal.

Menjadi Gelandangan dan Pengemis

Terkait dengan banyaknya warga masyarakat yang memilih profesi sebagai gelandangan dan pengemis (gepeng), hal ini merupakan indikasi bentuk kegagalan pemerintah di dalam menjamin rakyatnya untuk memperoleh penghidupan yang layak.

Fenomena tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Di sudut lain, banyaknya warga masyarakat yang terjun memilih hidup di jalanan ditengarai akibat mereka kurang tekun mengasah nalar rasa dan nalar pikir yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia untuk mengisi hidup dan kehidupannya secara terhormat.

Sudah menjadi mitos manakala seseorang memilih peran di dalam kehidupannya sebagai gepeng, maka ia dengan serta merta disebut sebagai golongan kridha lumahing asta (KLA). Kridha: bekerja, lumahing asta: menengadahkan tangan.

Artinya, kelompok KLA adalah sekumpulan orang yang mempertahankan dirinya sebagai tunakarya dengan melakukan aktivitas jalan pintas guna mempertahankan hidupnya menjadi pengemis atau peminta-minta.

Pendeknya, mereka adalah produsen yang memproduksi rasa iba menjadi komoditas iba dan dijualnya di berbagai ruang publik.

Proposal Hutang

Kesuksesan golongan penjual rasa iba ini ternyata menjadi inspirasi dan dicopy paste kelompok masyarakat lain yang diyakini memiliki kasta lebih tinggi. Para peniru itu banyak di antaranya mengenakan baju pejabat publik, pemerintah, dan anggota dewan.

Kelompok orang terhormat ini senantiasa mengajukan proposal kepada negara donor untuk mendapatkan sejumlah dana talangan. Janjinya, uang hasil utang tersebut akan digunakan untuk membiayai program kerja pemerintah dalam bentuk kebijakan publik. Janjinya lagi, kebijakan publik tersebut akan didedikasikan demi kemaslahatan masyarakat.

Karena saking seringnya membuat proposal hutang untuk mendapatkan uang yang akan digunakan sebagai dana operasional penyelenggaraan negara, maka bangsa ini dalam kehidupan sehari-harinya terlilit benang hutang yang semakin lama kian menjerat leher rakyat kebanyakan.

Bagi pejabat publik yang menandatangani MoU nota hutang seakan menjadi pahlawan bangsa yang mampu memberikan dana segar bagi pelaksanaan program pemerintah. Sedangkan untuk rakyat, fenomena penandatanganan MoU itu dikonotasikan sebagai bentuk penjajahan baru atas kemerdekaan untuk hidup dan berkehidupan secara bebas tanpa campur tangan negara asing.

Kebijakan pemerintah yang menyandarkan roda kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan anggaran hutang dari negara asing, dalam konteks ini dapat diketegorikan sebagai aktivitas penjual rasa iba.

Golongan Telat Berpikir

Hal yang sama juga dilakukan kawula muda dari golongan menengah ke atas yang sejak lahir sudah bergelimangan harta benda karena diuntungkan menjadi anak dari keluarga berkemakmuran lahir dan batin. Mereka terbiasa konsumtif dengan mengandalkan uang saku atau jatah transfer bulanan dari orang tuanya untuk membiayai kehidupannya yang glamor, wangi, dan modern.

Bagi kawula muda tersebut di atas, dunia pendidikan yang mensyaratkan penguasaan ilmu pengetahuan, seni, teknologi, dan agama dianggapnya sebagai dunia hiburan yang tidak pantas untuk ditekuni secara serius.

Sebaliknya dunia gemerlap, dunia borjuis, dunia khayal, dan dunia pesta pora dengan aroma seks dan narkoba menjadi sebuah keharusan untuk dihayati, dikuasai agar tidak dianggap udik dan ketinggalan zaman.

Maka yang terjadi kemudian, perkembangan budaya populer yang merupakan panglima perang kapitalisme mendapatkan lahan subur untuk menyemaikan keuntungan finansial dan material yang sebesar-besarnya dalam putaran waktu sesingkat-singkatnya.

Ideologi dengan Banyak Pendukung

Anak muda tipe penjual rasa iba ini adalah golongan yang telat berpikir untuk menemukenali jatidirinya. Mereka terbiasa memecahkan masalah dengan jawaban-jawaban yang instan dan seragam berdasarkan kunci jawaban.

Mereka tidak pernah mampu membuat pertanyaan, apalagi mempertanyakan segala sesuatu yang tidak selaras nalar rasa dan nalar pikir. Mereka miskin imajinasi, bagaikan robot diberi seutas nyawa yang diprogram seragam.

Ironisnya, tipologi anak muda, eksekutif muda, pejabat publik, anggota dewan, dan pejabat pemerintah yang secara konotasi digolongkan kelompok KLA jumlahnya meningkat tajam. Pertanyaannya kemudian, kenapa ideologi penjual rasa iba memiliki banyak pendukung?

Ditengarai, bangsa ini sedang mengalami gerhana total. Mata, hati, dan telinga pemerintah, pejabat publik, dan anggota dewan yang notabene tergolong kawula muda lebih banyak dikendalikan nafsu perut. Keseimbangan nalar rasa dan nalar pikir seakan di-delete nafsu perut kelaparan yang setiap saat minta diisi agar terasa kenyang.

Segera Diatasi, Bersama-sama

Jika fenomena jualan rasa iba ini tidak segera diatasi dan dicarikan jalan keluar, maka benar apa kata Deddy Mizwar, pemenang aktor film terbaik, bahwa kiamat sudah dekat. Untuk itu mari kita bersama-sama berbuat, dan berbuat bersama-sama.

Kita segera berbuat sesuatu agar stigma sebagai bangsa konsumen berubah menjadi bangsa produsen, yang semula dicap generasi instan bergeser generasi yang mengedepankan proses kreatif. Hal itu perlu segera dilakukan secara sistematis dan terencana agar semuanya baik adanya.

0
0
Sumbo Tinarbuko ♥ Associate Writer

Pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dikenal juga sebagai ‘Doktor Pemulung Sampah Visual’. Selain menjadi dosen dan motivator, juga aktif menjadi penulis buku dan artikel semiotika komunikasi visual, seni visual, dan budaya visual, desain grafis, desain komunikasi visual, dan desain iklan di berbagai jurnal, katalog pameran, website, weblog, koran lokal, dan surat kabar nasional. Beberapa di antara buah pikirnya dituliskan di https://sumbo.wordpress.com

Sumbo Tinarbuko ♥ Associate Writer

Sumbo Tinarbuko ♥ Associate Writer

Author

Pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dikenal juga sebagai ‘Doktor Pemulung Sampah Visual’. Selain menjadi dosen dan motivator, juga aktif menjadi penulis buku dan artikel semiotika komunikasi visual, seni visual, dan budaya visual, desain grafis, desain komunikasi visual, dan desain iklan di berbagai jurnal, katalog pameran, website, weblog, koran lokal, dan surat kabar nasional. Beberapa di antara buah pikirnya dituliskan di https://sumbo.wordpress.com

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post