Definisi Singkat
David Graeber, seorang antropolog, memperkenalkan konsep ‘Bullshit Jobs‘ sebagai pekerjaan yang tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak perlu, atau bahkan merugikan. Pekerjaan semacam ini, menurut Graeber, seringkali diciptakan hanya untuk membuat seseorang tampak sibuk.
Dalam bukunya, Bullshit Jobs: A Theory, Graeber mengklasifikasikan bullshit jobs menjadi lima tipe:
Graeber berargumen bahwa pekerjaan-pekerjaan ini tidak hanya tidak produktif, tetapi juga merusak motivasi dan kesejahteraan pekerja, serta merugikan ekonomi secara keseluruhan.
Apakah ini terjadi di birokrasi kita?
Jika kita membaca berbagai ulasan dan analisis terhadap fenomena Bullshit Jobs yang diusung oleh David Graeber, banyak yang menggambarkan dan mengaitkan berbagai tipe-tipe Bullshit Jobs tersebut kepada pekerjaan-pekerjaan di birokrasi pemerintahan.
Apakah mengaitkan Bullshit Jobs kepada pekerjaan birokrasi pemerintahan
merupakan sebuah penghinaan terhadap profesi tersebut?
Bukankah profesi pekerjaan pada birokrasi pemerintahan merupakan pekerjaan
yang penting dan memiliki tujuan yang mulia?
Tentu kita harus melihat lebih dalam lagi mengapa pekerjaan birokrat dikait-kaitkan dengan Bullshit Jobs sebelum bisa merasa tersinggung dan kemudian membantahnya.
Pertama kita harus melihat latar belakang dari munculnya teori terhadap fenomena Bullshit Jobs yang diusung oleh David Graeber.
Dalam bukunya, Graeber secara spesifik menyebutkan bahwa birokrat level rendah dalam pemerintahan masuk ke kategori flunkies dan duct-tapers.
Jadi dalam buku tersebut diutarakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang membuat orang lain terlihat penting, dan pekerjaan-pekerjaan yang tercipta untuk menyelesaikan problem yang seharusnya diselesaikan oleh pihak lain, dianggap sangat melekat dengan karakteristik birokrat pemerintahan terutama pada level bawah.
Kenyataannya apakah benar seperti itu? Jika dilihat pada kondisi faktual dalam birokrasi pemerintahan di negara kita, karakteristik pekerjaan pertama dapat dilihat dari aktivitas birokrasi pemerintahan yang seringkali menyertakan kegiatan seremonial yang berlebihan yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaanya.
Penuh dengan Seremoni dan Koordinasi
Kegiatan seremonial tersebut seringkali justru membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak daripada waktu dan tenaga yang dikerahkan untuk acara inti kegiatan. Hal ini dikarenakan pada acara seremonial tersebut para birokrat level atas akan hadir dan memerlukan berbagai rangkaian protokol yang rumit dan rigid.
Untuk menjamin kegiatan seremonial tersebut berjalan semestinya diperlukan orang-orang khusus yang dianggap mampu menjalankannya. Karena seringnya kegiatan seremonial tersebut maka diperlukan jabatan khusus yang bertanggung jawab dalam pelaksanaanya. Padahal jika dilihat dari dampak dan manfaat dari kegiatan seremonial tersebut sangat minim.
Karakteristik pekerjaan yang kedua seringkali dapat kita lihat dari aktivitas pekerjaan yang ditambahkan kata “koordinasi”, baik itu aktivitas antar instansi atau antar unit dalam satu instansi.
Idealnya secara sederhana sebuah “koordinasi” adalah upaya dalam menjalankan suatu kegiatan secara bersama-sama karena membutuhkan sumbangsih berbagai ahli dan berada pada berbagai kewenangan.
Salah satu tokoh atau ahli yang terkenal dengan teori koordinasi adalah Thomas W. Malone dari Massachusetts Institute of Technology. Lewat risalahnya berjudul “What is Coordination Theory?” Malone menjelaskan bahwa koordinasi adalah pengaturan diri dari banyak aktor untuk mengejar tujuan bersama.
Namun sebaliknya, jika ada benefit yang jelas maka koordinasi menjadi salah satu alat untuk menciptakan berbagai kegiatan yang sifatnya duplikasi dalam rangka mengamankan anggaran.
Masing-masing instansi yang berkoordinasi tersebut akan berlomba-lomba menyusun kegiatan yang seringkali bukan bagian dari tugas pokok dan fungsinya atas nama anggaran. Terlibatnya anggaran dalam kegiatan tersebut tentunya akan mendorong para birokrat untuk berpartisipasi meskipun tidak sesuai dengan tuntutan jabatan yang diembannya.
Kemudian pertanyaan selanjutnya, apakah bullshit jobs yang didefinisikan Graeber khususnya pada birokrasi pemerintahan cuma terbatas pada tipe Flunkies dan Duct Tapers saja?
Jika kita coba lihat lebih dalam
tentu kita akan merasakan bahwa dalam birokrasi pemerintahan terdapat jenis Bullshit Jobs
yang lainnya, baik itu Box Tickers (pekerjaan yang seolah-olah bermakna)
dan Taskmasters (pekerjaan yang bertujuan untuk membuat
sebuah institusi terlihat terkelola dengan baik).
Ironisnya, tipe Goons (tidak bermanfaat dan manipulatif) juga tentu ada dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan, tentu saja terdapat berbagai pekerjaan yang menyandang lebih dari satu karakteristik sekaligus.
Bagaimana in bisa terjadi?
Graeber berpendapat bahwa Bullshit Jobs bukan sekadar masalah individu, melainkan produk dari sistem yang lebih besar: “bullshit society“. Ini adalah kondisi sosial-politik yang memungkinkan pekerjaan tidak bermakna terus bermunculan. Masalahnya bukan hanya keberadaan pekerjaan-pekerjaan ini, tetapi juga sistem yang menciptakannya.
Di birokrasi pemerintahan Indonesia, sejumlah faktor berkontribusi pada munculnya Bullshit Jobs. Birokrasi yang kaku, hierarki yang berlapis-lapis, dan prosedur yang rumit menciptakan banyak pekerjaan yang tidak perlu.
Struktur birokrasi yang terlalu berlapis menciptakan birokrasi yang lamban dan tidak efisien. Banyaknya persetujuan yang harus dilalui membuat proses kerja menjadi berbelit-belit dan melahirkan tugas-tugas administratif yang tidak perlu.
Peraturan yang tumpang tindih juga membebani pegawai dengan pekerjaan yang tidak produktif. Budaya organisasi yang kaku dan kurang mendukung inovasi membuat pegawai enggan mengambil inisiatif.
Apa Dampaknya?
Tanpa evaluasi kinerja yang jelas, sulit untuk mengukur kontribusi setiap individu dan mengidentifikasi tugas yang tidak produktif. Keputusan yang diambil secara tertutup semakin memperparah situasi, karena tidak ada transparansi dan akuntabilitas.
Jika birokrasi hanya fokus pada keuntungan finansial semata, maka semua pekerjaan akan terasa tidak bermakna dan merugikan masyarakat. Jika masalah sistemik ini dibiarkan berlarut, dampak negatifnya akan sangat signifikan.
Gagalnya Perubahan Mindset
Pemerintah Indonesia telah berupaya keras untuk mengurangi Bullshit Jobs melalui berbagai inisiatif seperti Reformasi Birokrasi, Penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Gerakan Revolusi Mental, dan lain-lain.
Namun, upaya-upaya ini belum sepenuhnya berhasil. Bahkan, dalam beberapa kasus, inisiatif-inisiatif tersebut justru menciptakan bullshit jobs baru. Ini terjadi karena implementasinya yang tidak konsisten atau tidak sesuai dengan tujuan awalnya.
Misalnya, penerapan electronic government yang tidak disertai dengan penyederhanaan prosedur justru bisa menciptakan pekerjaan baru yang tidak perlu yang bahkan juga justru menyulitkan masyarakat.
Salah satu kendala utama
dalam berbagai upaya tersebut adalah gagalnya perubahan mindset.
Banyak upaya perbaikan yang masih terjebak dalam paradigma lama, yaitu mengejar
kuantitas output daripada kualitas hasil.
Misalnya, dalam Reformasi Birokrasi, fokus seringkali tertuju pada produksi dokumen-dokumen administratif semata, bukan pada peningkatan kualitas outcome. Hal ini terjadi karena transfer pengetahuan dari para perumus kebijakan ke pelaksana di lapangan kurang efektif.
Sosialisasi reformasi seharusnya lebih menekankan pada tujuan akhir yang ingin dicapai, bukan hanya pada prosedur dan dokumen yang harus dilengkapi.
Alternatif Solusi yang Dapat Ditempuh
Salah satu solusi untuk meningkatkan efektivitas birokrasi adalah dengan memupuk budaya terbuka dan inovatif. Dengan mendorong kebebasan berpendapat dan diskusi yang konstruktif, kita dapat memunculkan ide-ide baru dan solusi yang lebih kreatif untuk mengatasi berbagai permasalahan.
Pimpinan organisasi perlu berperan aktif dalam menjelaskan tujuan dari setiap tugas dan memberikan ruang bagi bawahannya untuk memberikan masukan. Dengan demikian, para pegawai akan merasa lebih terlibat dan termotivasi untuk mencapai tujuan bersama.
Solusi selanjutnya adalah sebuah solusi yang bisa dikatakan sebagai Fundamental Solution yang hampir seluruh insan dalam birokrasi mengetahui dan setuju bahwa hal tersebut adalah hal yang wajib dipenuhi untuk menciptakan birokrasi yang lebih baik dan sempurna.
Solusi tersebut adalah penguatan nilai-nilai ideal yang dimiliki oleh seluruh birokrat. Penguatan nilai bahwa seorang birokrat adalah pelayan bagi masyarakat yang diharapkan mampu memberikan pelayanan terbaik kepada mereka bukan bekerja semata demi mendapatkan keuntungan finansial semata.
Penguatan nilai bahwa tidak menjalankan pelayanan dengan baik apalagi disertai dengan melanggar peraturan perundangan memiliki konsekuensi bagi masyarakat luas dan pribadi birokrat itu sendiri baik dari sisi profesionalisme, hukum, dan tentunya dari aspek keagamaan.
Peningkatan kompetensi profesi yang terencana, penegakan hukum dan kedisiplinan yang merata dan tidak pilih kasih, serta aktivitas diskusi dan pengingat nilai-nilai moral dan keagamaan, harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari organisasi birokrasi pemerintahan di Indonesia.
0 Comments