Fasisme Israel Mengancam Dunia

by | Sep 29, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Sejarah Zionisme modern lahir dari aspirasi untuk keselamatan kolektif umat Yahudi di tengah Eropa yang anti-Semit di satu sisi, dan hasrat membangun rumah nasional yang aman di sisi lain.

Proyek ini dibingkai sebagai bentuk emansipasi
dari penindasan, sebuah “Never Again” terhadap logika fasisme, rasialisme, dan pembantaian yang berpuncak pada Holocaust. Sayangnya, jalan emansipasi tersebut perlahan bergeser menjadi rezim penaklukan yang menempatkan supremasi etnonasional Yahudi
di atas bangsa Palestina.

Lembaga hak asasi manusia internasional maupun Israel sendiri melihat fenomena ini bukan lagi diskriminasi biasa, melainkan sesuatu yang terstruktur dan sistemik.

Human Rights Watch, dalam laporan A Threshold Crossed (2021), menyimpulkan Israel telah melakukan kejahatan apartheid dan penganiayaan terhadap warga Palestina di seluruh wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Tengah.

B’Tselem, LSM Israel, dalam laporan di tahun yang sama juga menyatakan secara tegas kebrutalan yang dilakukan sehari-hari tersebut. Kedua lembaga menekankan bahwa sistem hukum, kebijakan tanah, dan pola kekerasan yang berlaku bukan sekadar efek samping perang, melainkan desain politik yang terencana untuk mempertahankan dominasi.

Fasisme Baru

Lalu, apakah tepat menyebut Israel sebagai “fasis”? Umberto Eco dalam esainya Ur-Fascism (1995) merinci gejala-gejala fasisme, mulai dari kultus tradisi, demonisasi perbedaan, hingga normalisasi keadaan darurat permanen.

Robert Paxton dalam The Anatomy of Fascism (2004) menekankan bahwa fasisme adalah proses politik. Ia berawal sebagai gerakan ultra-nasionalis, lalu mengakar dalam negara, dan akhirnya mengelola kekuasaan dengan kekerasan yang dilegitimasi hukum.

Jika kriteria ini diterapkan pada Israel kontemporer, beberapa indikatornya tampak jelas.

  • Pertama, “keamanan” diubah menjadi kultus permanen, sehingga darurat militer menjadi normalitas.
  • Kedua, Undang-Undang Negara-Bangsa (2018) menegaskan Israel sebagai “rumah nasional bangsa Yahudi” dan menurunkan status bahasa Arab, secara eksplisit menempatkan identitas Yahudi di atas identitas lain (Israel Democracy Institute, 2023).
  • Ketiga, elite politik kerap mendemonisasi Palestina sebagai ancaman eksistensial.
  • Keempat, retorika supremasis etnonasional meresap hingga ke dalam kebijakan resmi. Misalnya, dukungan negara terhadap perluasan pemukiman di Tepi Barat yang terus berlangsung meskipun dianggap ilegal oleh hukum internasional.

Perang Gaza sejak Oktober 2023 adalah contoh paling gamblang bagaimana logika fasisme beroperasi dalam praktik negara. Di sana, pembedaan antara kombatan dan sipil makin kabur, blokade bantuan dijadikan instrumen perang, dan kelaparan dipakai sebagai senjata.

Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024 memerintahkan Israel mengambil langkah mencegah tindakan yang bisa dikategorikan sebagai genosida (ICJ, 2024).

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) bahkan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, menilai ada alasan kuat bahwa mereka menggunakan kelaparan sebagai metode perang (ICC Pre-Trial Chamber, 2024).

Di lapangan, data yang dikumpulkan PBB semakin menegaskan situasi itu. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan puluhan ribu korban jiwa dan jutaan pengungsi berulang kali akibat operasi militer Israel di Gaza (OCHA, 2025).

WHO juga menyatakan ratusan orang, termasuk anak-anak, meninggal akibat malnutrisi, sementara sistem pangan runtuh total.

Karenanya, ketika “keamanan” dijadikan alibi untuk penghancuran rumah sakit, suplai air, dan distribusi pangan, yang terjadi bukanlah sekadar perang, melainkan hukuman kolektif yang secara sahih dapat disebut sebagai praktik fasis.

Normalisasi Kekerasan di Tepi Barat

Jika Gaza menunjukkan wajah fasisme dalam bentuk penghancuran total, Tepi Barat memperlihatkan wajahnya dalam bentuk “penjajahan merayap”. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich pada Maret 2023 terang-terangan menyatakan desa Palestina Huwara “harus dihapuskan”.

Pernyataan ini bahkan dikecam pemerintah AS sebagai hasutan genosida (Reuters, 2023). Pernyataan itu diikuti peningkatan signifikan kekerasan pemukim terhadap warga Palestina. Human Rights Watch mendokumentasikan ratusan insiden, termasuk penyerangan, perampasan, dan pengusiran paksa dengan perlindungan atau bahkan keterlibatan militer Israel.

Lebih lanjut, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, tokoh ultranasionalis, berkali-kali mendorong perubahan status quo di kompleks Al-Aqsa. Provokasinya dipandang oleh banyak pengamat keamanan Israel sendiri sebagai ancaman serius bagi stabilitas negara.

Pada 2025, beberapa negara Barat, termasuk Inggris, Kanada, dan Australia, bahkan menjatuhkan sanksi personal terhadap Ben-Gvir dan Smotrich atas peran mereka dalam mendorong kekerasan pemukim. Ini menegaskan bahwa politik Israel sendiri kini dipimpin oleh figur yang terbuka menyuarakan supremasi dan diskriminasi.

Bahaya Global dari Fasisme Israel

Normalisasi fasisme Israel merusak tatanan hukum internasional. Jika sebuah negara yang mengklaim diri demokratis bisa melakukan apartheid, hukuman kolektif, hingga genosida tanpa konsekuensi serius, maka negara lain akan merasa bebas menirunya.

Hal ini tentunya akan melemahkan PBB, Mahkamah Internasional, dan seluruh perangkat hukum internasional yang seharusnya mencegah kebrutalan.

Selain itu, konflik Israel-Palestina telah menjadi sumber radikalisasi global. Narasi “perang melawan teror” yang dipakai Israel untuk menjustifikasi penghancuran Gaza bisa menjadi preseden buruk. Rezim lain dapat memakai narasi serupa untuk membungkam oposisi domestik, dengan mengatasnamakan “keamanan nasional”.

Lebih lanjut, fasisme Israel mengikis solidaritas kemanusiaan universal. Ketika negara-negara kuat menoleransi kebijakan Israel, dunia Selatan melihat ini sebagai bukti standar ganda.

Kepercayaan terhadap norma internasional runtuh, dan logika kolonial bahwa ada bangsa yang dianggap layak hidup bermartabat, sementara yang lain tidak, dapat bangkit kembali. Jika hal ini dibiarkan, dunia akan kembali menjadi hutan belantara, di mana hukum tunduk pada pihak yang memiliki kekuatan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebagai bangsa yang pernah dijajah, Indonesia memiliki sensitivitas historis terhadap penindasan. Tragedi Palestina seharusnya bukan hanya kita baca sebagai isu luar negeri, melainkan juga sebagai pelajaran bagaimana sebuah bangsa bisa tergelincir dari idealisme kebebasan menuju praktik penaklukan.

Oleh karenanya, setidaknya ada tiga pelajaran penting bagi Indonesia.

1. Pertama, menolak supremasi etnonasional dalam segala bentuknya.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah perisai moral bangsa. Israel menunjukkan bahwa ketika satu identitas (Yahudi) ditempatkan di atas identitas lain, struktur negara berubah menjadi eksklusif dan diskriminatif.

Bagi Indonesia, jika kita tergoda untuk mengedepankan satu etnis atau agama sebagai “lebih asli” atau “lebih berhak”, maka kita sedang membuka pintu menuju konflik horizontal dan penindasan yang serupa.

Menjaga kebinekaan bukan berarti melemahkan nasionalisme, melainkan justru memperkuatnya. Nasionalisme Indonesia lahir dari kesadaran bahwa keberagaman adalah fondasi persatuan, bukan ancaman.

2. Kedua, mewaspadai bahaya normalisasi kekerasan.

Israel memperlihatkan bagaimana kekerasan yang semula dianggap darurat akhirnya menjadi kebijakan rutin negara. Penembakan, blokade, dan pengusiran dipraktikkan sebagai “cara biasa” menjaga stabilitas.

Indonesia harus berhati-hati: begitu aparat atau elite politik menjustifikasi kekerasan atas nama keamanan atau stabilitas, demokrasi bisa terkikis perlahan. Karenanya, jangan pernah membiarkan kekerasan menjadi bahasa politik yang sahih.

Demokrasi hanya bisa tumbuh jika hukum ditegakkan secara adil, aparat diawasi, dan ruang publik dijaga agar tidak didominasi oleh ketakutan.

3. Ketiga, meneguhkan solidaritas internasional sebagai refleksi jati diri bangsa.

Dukungan Indonesia terhadap Palestina bukanlah basa-basi diplomasi, melainkan amanat konstitusi untuk menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia. Solidaritas ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga investasi bagi kredibilitas Indonesia di mata dunia.

Ketika kita konsisten membela Palestina, kita sejatinya sedang membela
prinsip yang sama yang dahulu membuat dunia mendukung kemerdekaan Indonesia, yaitu hak setiap bangsa untuk merdeka dan hidup bermartabat. Tentunya, solidaritas tersebut
sebaiknya tidak berhenti di panggung diplomasi internasional; ia harus
menjiwai kebijakan dalam negeri.

Artinya, jika kita menolak kolonialisme di Palestina, maka kita juga harus menolak segala bentuk ketidakadilan, diskriminasi, dan eksploitasi di rumah kita sendiri, baik terhadap kelompok, masyarakat, maupun rakyat kecil yang kerap tertindas oleh kebijakan pembangunan yang timpang.

Penutup: “Never Again” Seharusnya Universal

Paradoks terbesar Israel adalah bagaimana semangat emansipasi dari fasisme justru tergelincir menjadi praktik fasisme atas bangsa lain. Dari trauma menjadi dominasi, dari janji “Never Again” menjadi “Never Again for us, but not for them.”

Bagi Indonesia, tragedi ini harus menguatkan kita untuk menjaga diri agar nasionalisme tidak berubah menjadi etnonasionalisme eksklusif. Agar keamanan tidak menjadi dalih untuk represi, dan agar solidaritas internasional tidak padam.

Menolak fasisme Israel berarti menjaga martabat kemanusiaan universal, sekaligus mengingatkan kita bahwa keadilan dan kemerdekaan bukanlah milik satu bangsa saja, melainkan hak asasi seluruh umat manusia.

2
0
Agus Sulistiyo ◆ Professional Writer

Agus Sulistiyo ◆ Professional Writer

Author

adalah seorang analis kinerja organisasi di salah satu Instansi Pusat. Saat ini ia tengah memperdalam pengetahuan dan keahliannya sebagai kandidat Doktor Administrasi Bisnis di Abu Dhabi University, UAE, dengan dukungan beasiswa LPDP.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post