Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah. Cerah sekali. Namun kemudian udara terasa sejuk saat aku melangkah memasuki RS Fatmawati.

Kenapa datang pagi-pagi sekali? Dulu sewaktu ayahku masih hidup, beliau biasa berangkat ke RS Fatmawati dengan angkot jam dua pagi dari rumah kami di Pondok Aren untuk memastikan antrian yang tidak terlalu panjang di Cilandak nanti, itupun beliau biasa tiba di rumah kembali di siang hari.

Jadilah seperti tertanam di pikiranku kalau ke rumah sakit ya harus pagi-pagi. Akupun berangkat pagi-pagi walau tidak sepagi mendiang ayahku dulu, karena sekarang sistem antrian sudah online, suatu peningkatan dari sisi pelayanan publik. 

Kunjungan ini bukan kunjungan biasa. Aku datang untuk berkonsultasi dengan salah satu dari 17 dokter spesialis ortopedi yang ada di rumah sakit ini.

Ya, 17 dokter dengan sub-spesialisasi yang berbeda-beda,
mulai dari tulang belakang, lutut, kaki hingga tangan. Sebuah gambaran betapa kompleksnya ilmu kedokteran, betapa tubuh manusia membutuhkan perhatian yang sangat terspesialisasi.

Di ruang tunggu, aku merenung. Bayangkan, untuk satu masalah tulang saja, ada belasan ahli dengan keahlian berbeda. Mereka belajar bertahun-tahun, fokus pada satu bagian tubuh, demi memberikan perawatan terbaik.

Rumitnya Pekerjaan Dokter Spesialis

Aku membayangkan betapa rumitnya operasi tulang belakang, betapa telitinya penanganan cedera tangan seorang atlet, betapa sabarnya dokter yang menangani pengapuran lutut seorang lansia.

Bersama dengan ratusan orang yang dengan sabar menunggu giliran untuk dipanggil ke poliklinik, aku melihat banyak sekali kondisi pasien yang berbeda-beda. Ada yang sepertiku, kelihatannya sehat-sehat saja dari luar, ada yang menggunakan kruk aksila, kruk siku, walker, ada yang menggunakan kursi roda, hingga ada yang menggunakan hospital bed.

Ada pasien yang patah tulang, hingga di tiap jari kakinya menyembul keluar besi untuk menyambung tulangnya, ada juga yang pada kakinya seperti robot karena penuh dengan besi support untuk kakinya yang patah. Betapa menantang pekerjaan spesialis ortopedi pikirku.

Kebijakan Delayering

Tiba-tiba, pikiranku melayang pada kebijakan delayering yang beberapa tahun ini ramai dibicarakan. Sebuah kebijakan yang terdengar seperti mimpi buruk bagi sebagian orang. Sekilas terdengar bagus, menghapus jabatan struktural dan menggantinya dengan para fungsional demi memangkas alur birokrasi.

Namun, tetiba muncul satu pertanyaan yang cukup menggangguku, bagaimana mungkin seorang fungsional, diharapkan untuk mengerjakan semua hal? Dari A sampai Z, tanpa spesialisasi, ditambah lagi beban pekerjaan struktural yang sebelumnya bukan tanggung jawab mereka.

Delayering ini menghapuskan sebagian besar jabatan struktural yang ada di pemerintahan, digantikan dengan para fungsional yang diharapkan dapat menggantikan peran para struktural sebelumnya.

Kenyataannya, aku melihat delayering ini belum sepenuhnya siap dijalankan. Ada organisasi yang hanya “berganti baju” alias membuat fungsional para pejabat strukturalnya sehingga proses bisnis berjalan seperti biasanya.

Ada juga yang sangat idealis sehingga “memaksakan” para fungsional yang mungkin telah terlalu lama menjadi fungsional (baca: sibuk dengan dirinya sendiri) untuk memimpin sebuah tim yang mungkin tidak begitu optimal. Pada akhirnya benakku bertanya-tanya, “Apa perlu delayering ini tetap dilakukan?”

Aku rasa pada hampir semua organisasi ketika akan memutuskan siapa yang akan promosi menduduki posisi setingkat lebih tinggi, akan dilakukan semacam assessment. Itupun siapa yang akan mengikuti assessment sudah dipilih secara matang, sehingga siapapun yang mendapatkan promosi adalah best of the best dari seluruh kandidat yang ada.

Dalam transisi menuju delayering ini, ketua tim diampu oleh fungsional tanpa mekanisme assessment sama sekali, hanya berbekal “asumsi” asalkan fungsional utama atau madya atau bahkan muda sekalipun. Siapa yang dapat menjamin ketua tim itu dapat memenuhi ekspektasi pimpinan dan memimpin dengan baik?

Aku membayangkan seorang dokter spesialis tulang belakang,
yang bertahun-tahun fokus pada seluk-beluk tulang belakang, tiba-tiba harus menangani
patah tulang kaki, mengurus administrasi rumah sakit, dan membuat laporan keuangan.
Pasti akan sangat merepotkan, bukan?
Di saat ilmu kedokteran semakin terspesialisasi, kebijakan di bidang birokrasi ini
justru memaksakan generalisasi.

Keunggulan Absolut dalam Spesialisasi

Aku teringat percakapan dengan seorang teman, seorang fungsional muda yang sedang berjuang dengan kebijakan ini. “Kami seperti dipaksa menjadi Superman,” katanya, “Padahal, kami hanya manusia biasa, dengan keahlian terbatas.”

Temanku mengeluhkan saat ini dia terbebani menjadi seorang fungsional, pekerjaannya jadi semakin berat. Dia harus memimpin sebuah tim, hal yang sudah bertahun-tahun tidak dilakukannya karena dia lebih memilih menjadi fungsional yang fokus terhadap pengembangan keahlian dirinya sendiri.

Dia mengeluhkan harus mengerjakan pekerjaan pejabat struktural sementara dia juga dituntut untuk terus mengembangkan kompetensi tanpa didukung secara optimal oleh organisasi.

Aku jadi teringat pada teori yang disampaikan oleh Adam Smith (1937) yang menjelaskan terkait keunggulan absolut. Suatu negara menurutnya akan memiliki keunggulan absolut ketika negara tersebut melakukan spesialisasi dalam memproduksi suatu komoditas dengan negara lain.

Jika aku mencoba mengingat temanku yang memiliki pabrik konveksi, dia menceritakan di pabriknya terdapat berbagai macam spesialisasi, mulai dari pemotongan, penjahitan, pemasangan kancing, pemasangan resleting, hingga ke pengepakan yang dikerjakan oleh orang-orang yang berbeda.

Semua itu dilakukan demi efisiensi dan kecepatan, hal yang tidak mungkin dapat dicapai jika semua itu dikerjakan oleh satu orang dari awal hingga akhir. Kenapa ya hal yang sudah terbukti selama ratusan tahun seolah-olah kita abaikan?

Pelayanan Terbaik dan Kekhawatiran

Hari semakin siang, dan namaku dipanggil. Aku beranjak, meninggalkan lamunan tentang ironi delayering. Di ruang konsultasi, seorang dokter spesialis ortopedi menyambutku dengan senyum ramah. Ia fokus pada masalahku, memberikan penjelasan rinci, dan menyusun rencana perawatan yang komprehensif. Aku merasa lega, berada di tangan seorang ahli.

Namun, di balik kelegaan itu, ada secercah kekhawatiran.
Bagaimana jika kebijakan delayering ini terus berlanjut? Akankah masyarakat
yang berharap mendapatkan pelayanan publik terbaik seberuntung aku, di mana aku mendapatkan perawatan dari dokter yang benar-benar ahli di bidangnya.

Akankah masyarakat juga akan mendapatkan pelayanan publik terbaik dari ahlinya, ataukah mereka harus puas dengan para ASN “Superman” yang kelelahan dan kewalahan? Atau apakah kekhawatiran yang ada hanyalah kekhawatiran yang tidak beralasan saja?

Aku keluar dari RS Fatmawati, langit Jakarta sudah gelap karena sepertinya akan turun hujan. Aku menatap gedung rumah sakit itu, sebuah simbol kemajuan ilmu kedokteran, sebuah harapan bagi pasien-pasien dengan masalah tulang dan masalah kesehatan lainnya.

Aku kemudian membayangkan apa yang terjadi di balik tembok-tembok gedung pemerintahan. Ada sebuah ironi, sebuah kebijakan yang mengancam kualitas pelayanan publik.

Semoga, para pemangku kebijakan segera sadar, bahwa spesialisasi bukanlah penghalang, melainkan sebuah kebutuhan. Menyandingkan Manajemen dan Fungsional/Keahlian, adalah kunci layanan prima suatu organisasi.

Yah, semoga.

2
1
Rahmad Agung Wibowo ♥ Associate Writer

Rahmad Agung Wibowo ♥ Associate Writer

Author

Penulis adalah seorang ASN pada Kementerian Keuangan sejak 2007 dan saat ini menjabat sebagai Widyaiswara. Penulis pernah menempuh Diploma III dan Diploma IV pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan menyelesaikan studi Master of Public Policy dengan spesialisasi pada Policy Analysis dan Policy Communication pada Australian National University.

2 Comments

  1. Avatar

    Tmksh atas pencerahannya Pak. Sependapat pak, utk penunjukkan seorang fungsional sbg ketua tim kerja, hrsnya ada mekanisme yg mendasari, salah 1 nya, dgn memanfaatkan hasil assesment Pak…salam

    Reply
    • Avatar

      Terima kasih atas komentarnya Pak. Menurut saya ketua tim juga harus diperlakukan sebagaimana jabatan struktural lainnya, jadi harus ada assessment utk memastikan bahwa ketua tim yang dipilih adalah orang terbaik. Yang terjadi selama ini belum seperti itu, setidaknya pada instansi tempat saya bekerja

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post